Ajakan Kembali ke Alam hingga Lindungi Pulau dan Laut
Gendang dan tifa mengiringi soya-soya Kalaodi. Tarian itu sekaligus menjadi salam pembuka kepada tamu dan warga yang datang menyaksikan festival Buku se Dou Kalaodi Kota Tidore Kepulauan. Selain festival Kaaodi, dilanjutkan dengan Pekan Pelestarian Hutan Mangrove dan Ekowisata Pesisir Laut di Kayoa Halmahera Selatan. Acara ini adalah satu rangkaian dalam rangka ulang tahun ke- 38 WALHI di Maluku Utara Sabtu (17/11) pekan lalu.
Di buka dengan Festival Kalaodi di Tidore, acara itu begitu meriah. Para tamu yang hadir termasuk para pembicara selain menikmati suguhan tarian bernilai perang dan symbol perjuangan, mereka juga menikmati tarian dan nyanyian tentang kearifan dan ajakan kembali ke alam. Dalam festival ini warga Kalaodi turut menampilkan tarian soya-soya kalaodi, kabata marong nyanyian saat membersihkan kebun, kabata moro- moro nyanyian sambil menumbuk padi serta memamerkan berbagai hasil kerajinan dari bamboo dan batok kelapa hingga makanan tradisional dari hasil kebun.
Menurut Samsudin Ali Sekretaris Kampung Kalaodi. ada yang kurang dari festival ini, kegiatan paca goya atau “nyepi” nya orang Kalaodi yang dilakuka setiap tahun itu sudah lewat pelaksanaannya beberapa waktu lalu. Paca goya adalah penghargaan terhadap alam dan Tuhan atas rezki hasil kebun yang telah dipanen setahun lalu,” ujarnya.
Sementara makna yang dikandung dalam kata buku se dou atau Gunung dan Lembah. adalah cerita tentang bagaimana memperlakukan gunung dan lembah dalam mendukung hidup manusia secara berkelanjutan. Kampong di puncak Tidore diapit perbukitan hijau cengkih dan pala dengan udara sejuk itu, dibanjir warga dari berbagai penjuru Tidore, setidaknya ingin melihat dari dekat tradisi yang masih dijaga warga Kalaodi selama ini. Gemuruh tifa, moro-moro, dan kabata bergema memecah pagi di Kampung yang berada di atas ± 900 mdpl itu berbeda dari biasanya. “Buku se dou merupakan kegiatan adat dan budaya masyarakat Kalaodi yang berkaitan erat dengan ajakan menjaga alam,”kata Samsudin Ali.
Apa yang disampaikan ini setali tiga uang dengan kehidupan masyarakat Kalaodi yang bermukim di bawah bukit dan lereng hutan Lindung Tagafura. Hingga kini daerah itu tetap terjaga dan hutannya tetap lestari.
Semenatara untuk Pekan Lingkungan Hidup Pesisir Laut dan Ekowista Pulau-pulau Kecil itu, ingin mengirim pesan bagi semua pihak agar tidak mengabaikan sinergitas antara tradisi yang dibangun warga pulau kecil turun temurun dengan harmonisasi alam yang ditempatinya.
Kegiatan ini dihadiri juga Sultan Tidore H Husain Syah, Staf Ahli Menteri KKP Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut Dr Aryo Hanggono, Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati bersama Direktur Walhi Daerah seluruh Indonesia bersama Pemkot Tidore itu, merupakan sebuah pesta berbasis lingkungan yang dimulai dari seminar lingkungan hidup dan pulau- pulau kecil, Festival Kalaodi bahkan menanam 5 ribu pohon mangrove di Guruapin Kayoa Halmhera Selatan.
Dalam seminar nasional pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, Sultan Tidore bersama Direktur Walhi dan staf ahli Menteri DKP berbicara banyak hal tentang pengelolaan kelautan pesisir dan pulau- pulau kecil di Maluku Utara.
Direktur Walhi Maluku Utara, Ismet Soelaiman menjelaskan, kegiatan ini dalam `memperingati Hari Ulang Tahun Walhi ke-38 17 hingga 20 November lalu di Kalaodi – Tidore dan Kayoa Ini adalah sebuah rangkaian kegiatan menjaga dan melindungi laut pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk pelestarian budayanya. Pilihannya Kalaodi karena dijadidkan kampong ekologi pelindung kota Tidiore. Kalaodi dipercaya menjadi penjaga Tidore oleh sebagian masyarakat. Posisi kampung di pegunungan (± 900 mdpl) menjadikan Kalaodi dan tiga kampung lainnya sebagai pelindung bagi perkampungan lain dan pusat kota di pesisir. Apalagi warga Kalaodi sendiri masih menjalankan tradisi yang berisi ritual-ritual kecintaan terhadap alam. Pala, cengkih, kenari, kayu manis, durian, pinang dan bambu yang menjadi sumber mata pencaharian warga, selain tanaman bulanan seperti tomat, cabe, sayur-mayur, dan rempah-rempah, berdampingan dengan hutan alam yang ada di sekitar perkampungan.
Sementara Desa Guruapin – Kayoa untuk proses penanaman mangrove karena Kampung yang dikelilingi hutan mangrove itu saat ini sedang menghadapi ancaman. Sementara kegiatan ditutup dengan ekowisata berbasis komunitas di Guraici, Lelei – Kayoa itu karena potensi wisata pulau-pulau yang dijangkau dengan speed boat kurang lebih 3 jam itu begitu menawan.
“Sesuai tema kegiatan berkaitan dengan pesisir laut dan pulau-pulau kecil, Kayoa menjadi pilihan untuk pelestarian mangrove dan ekowisata berbasis komunitas. Kayoa merupakan gugusan pulau-pulau di Halmahera Selatan yang memiliki cerita mangrove sebagai pelindung bagi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Beberapa desa pesisir di Kayoa merupakan contoh kampung pesisir yang dikelilingi dan dilindungi berbagai jenis mangrove dan ekosisitem laut, sehingga hasil laut seperti ikan karang berlimpah.
“Kearifan lokal masyarakat Kalaodi dan Kayoa dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekologi dapat menjadi pembelajaran bagi pengelolaan lingkungan hidup di Maluku Utara sebagai provinsi kepulauan, maupun di berbagai wilayah kepulauan lainnya di Indonesia. Kalaodi adalah laboratorium bagaimana masyarakat lokal secara turun-terumun karena telah menjadi penjaga wilayah hutan dan pegunungan Tagafura yang melindungi perkampungan wilayah pesisir dari banjir dan bencana ekologi lainnya. Sementara Kayoa merupakan miniatur kampung pesisir yang melindungi dan dilindungi mangrove. “Pengetahuan lokal ini harusnya dijaga serta ditransformasikan, bukannya direduksi dan diganti dengan kawasan lindung/konservasi yang ditetapkan pemerintah dan pengelolaannya diserahkan kepada investasi,” jelas Ismet. Peran warga Kalaodi dan Kayoa dalam menjaga dan melindungi lingkungan hidup di sekitar mereka haruslah diapresiasi dan diberikan dukungan penuh oleh negara.(*)

CEO Kabar Pulau