Bantu Suami Menjaring Ikan dan Menanam Rumput Laut
Fajar baru menyingsing di ufuk Timur Pulau Kolorai. Pulau kecil berpasir putih seluas 8 hektar dengan laut tosqoea subuh itu disapu angin timur yang dinginya menusuk hingga ke tulang- tulang. Sepagi itu, dalam suasana gelap dan dingin, ada seorang perempuan berusia sekitar 38 tahun, tetap bangun pagi membantu suaminya turun ke laut menangkap ikan.
Pagi di akhir Oktober 2018, meski baru sekira pukul 05.00 WIT, Nurhayati Bahdar atau Yati biasa disapa, tak mau berlama- lama tidur. Dinginnya laut dan udara pagi dianggap sudah biasa. Bersama suaminya Bahdar (50) turun ke laut, mencari ikan untuk dijual jika ada hasil lebih dan sebagian untuk dimakan.
Hari itu tak lama memang, Nurhayati bersama suaminya turun ke laut menjaring ikan pelagis yang setiap saat ada di sekitar laut Kolorai dan Dodola. Hanya butuh waktu kurang lebih 3,5 jam ikan yang biasa bermain setiap pagi di atas laut yang tidak terlalu dalam di bagian utara Kolorai itu berhasil masuk jaring mereka. Memang, dalam beberapa kali melempar jaring tidak ada hasilnya. Namun lumayan mereka dapatkan hasilnya setelah memasang jaring keempat kalinya. Mereka mendapatkan ikan setengah ember besar. Ikan jenis barakuda yang masih kecil. Warga Kolorai menyebutnya ikan suo.
Ketika matahari mulai meninggi dan waktu menunjukan sekira pukul 8.30 WIT pasangan suami istri yang telah dikaruniai dua anak ini pulang. Wajah sumringah, tidak ada rasa lelah. Yati bergegas melemparkan sauh ke laut tanda perahu telah sandar. Perahu fiber bermesin 25 PK (power horse) saat sandar di pantai yang tak jauh dari tambatan perahu desa Kolorai itu, langsung dikerubuti warga yang akan membeli ikan. Ikan yang didapat laris terjual Rp200 ribu. Sekira tiga jam mereka sudah mendapatkan uang sebanyak itu dan ikan makan siang hari itu.
“Seperti inilah pekerjaan kami membantu suami bersama turun ke laut karena bagian dari mencari uang. Jika ada hasilnya menjadi uang belanja sehari-hari. Sudah jadi kebiasaan ibu-ibu di sini (Kolorai,red) jika mau mendapatkan uang cepat ikut membantu suami menjaring ikan atau mengail,” ujar Yati usai ikannya laris terjual.
Apa yang dilakoni perempuan Kolorai seperti Nurhayati ini, adalah bagian dari cara hidup yang sudah berlangsung turun temurun. Cara ini dilakukan karena hidup di pulau sekecil Kolorai dengan keterbatasan sumberdaya dan pekerjaan hanya sebagai nelayan, memaksa mereka harus gesit dan lincah melihat peluang.
Pekerjaan ini hampir setiap saat dilakoni. Tak sekadar membantu suami mencari nafkah. Lebih dari itu menjadi sebuah pekerjaan yang bermanfaat juga bagi mereka. “Torang nikmati karena karena torang juga dapa doi (uang,red) ,” ujarnya lagi. Yati adalah satu diantara banyak perempuan di pulau Kolorai Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, yang selalu membantu suami turun ke laut mencari ikan.
Lain pula cerita Maryani Muhammad. Perempuan yang satu-satunya mengolah ikan asin sebagai mata pencaharian utamanya itu mengaku juga melakukan hal yang sama yakni turun ke laut membantu suaminya menjaring ikan jika stok ikan untuk bahan ikan asin habis.
Di temui di Minggu siang di akhir Oktober akhir 2018 lalu, Maryani tidur- tiduran di bawah pohon ketapang tepi pantai di depan rumahnya. Dia mengaku, siang itu sedang menuggu suaminya turun menjaring ikan tak jauh dari pulau Kolorai. Perahu milik suaminya yang menjaring ikan, juga masih kelihatan dari tempat Maryani beristrahat. Hari itu Maryani mengaku tak mengolah ikan asin karena sedang kehabisan bahan baku. “ Sudah beberapa hari ini torang (kami,red) belum bikin ikan asin karena kehabisan stok. Sementara menunggu suami saya pulang menjaring ikan. Jika ada hasil akan dibuat ikan asin” katanya.
Maryani menjadi satu- satunya warga Kolorai yang masih tetap mengolah ikan asin. Saat ini sebagian besar pengrajin ikan asin telah beralih usaha. Kalaupun masih bertahan sebagian besar membuat kelompok pengrajin ikan asin.
Maryani dan suaminya Muhammad memilih tak ikut membuat kelompok .”Kami usahakan sendiri saja, Saya selalu membantu suami untuk membuat ikan asin. Buatan saya dan suami masih diminati. Nyatanya setiap ada tamu atau berbagai kepentingan buah tangan, pemerintah desa selalu mengambil ikan asin buatan kami,” katanya. Aktivitas Maryani juga nyaris sama dengan perempuan umumnya di Kolorai. Pasalnya tidak hanya membuat ikan asin tetapi turun langsung menjaring atau mengail ikan bersama suaminya.
Keseharian perempuan- perempuan di Kolorai terbilang tangguh. Menjalani hidup di tengah keberbatasan sumberdaya di darat maka jalan hidup yang ditempuh adalah menggantungkan seluruh harapan itu dari laut.
Mereka tidak hanya mencari ikan, tetapi juga menggerakan usaha lainya di bidang perikanan yang memiliki nilai tambah lebih untuk pendapatan. Contoh paling konkrit adalah pulau Kolorai dulunya adalah sebuah pulai penghasil rumput laut terkenal di Maluku Utara. Rumput laut dari pulau ini tidak hanya dijual di tingkat local Morotai dan Maluku Utara tetapi melalui beberapa pengusaha Manado Sulawesi Utara, berton-ton rumput laut dijual ke Sulut.
Cerita sukses tentang rumput laut di pulau ini memang mengalami pasang surut. Warga Pulau ini mengalami masa jaya produksi rumput laut sekitar 1999 sampai 2003. Sebelum konflik horizontal menghantam sejumlah wilayah di Maluku Utara, rumput laut Kolorai menjadi sumber pendapatan utama warga setempat. Seiring waktu karena serangan penyakit ice-ice yang luar biasa mereka tak bisa lagi mengandalkan rumput laut sebagai sumber pendapatan. Tidak itu saja warga pulau ini benar-benar tidak lagi mengusahakan rumput laut dalam beberapa tahun terakhir.
Ketika kabarpulau menyambangi pulau ini akhir Oktber 2018 lalu, warga desa ini kembali mencoba dengan membuat percontohan menamam kembali rumput laut. Mereka sedang giat-giatnya menanam rumput laut di kawasan laut antara Kolorai dan Dodola. Dibantu Balai Latihan Masyarakat (BLM) Ambon yang memiliki wilayah kerja sampai ke Maluku Utara, mereka mencoba kembali menanam rumput laut. Dalam kegiatan ini lagi-lagi perempuan menjadi tulang punggung. Puluhan perempuan menyiapkan media tanam, mengikat bibit sampai ikut turun ke laut. Dibantu beberapa suami, mereka menyelam menurunkan ke dalam laut bibit-bibit itu.
Upaya awal ini diharapkan mengulang kembali cerita sukses pengelolaan rumput laut di pulau ini. Pasalnya kisah tentang rumput laut waktu itu meninggalkan bukti berupa rumah-rumah beton yang berdiri kokoh hingga kini. Rumput laut telah mengubah hidup mereka waktu itu. “Masa jaya rumput lautlah membuat rumah- rumah warga Kolorai ini bagus. Waktu itu berton-ton rumput laut di Kolorai di jual ke luar termasuk ke Manado dan beberapa kota lainnya di Indonesia Timur,” ujar Nurhayati.
Di akhir tahun 1999 menjadi salah satu orang yang ikut mengusahakan rumput laut di Kolorai. Tidak itu saja dari hasil rumput lain menopang hidup mereka termasuk ikut membangun sebuah rumah beton yang mereka tinggali saat ini. Cerita tentang rumput laut dan perempuan sebagai penggeraknya saat ini masih hidup. Ini terlihat dari kerja-kerja mereka yang cekatan dan telaten ketika mengikat dan menempatkan bibit rumput laut. 72 kilogram bibit rumput laut yang dijadikan media percontohan itu selesai tidak cukup sejam.” Ini aktivitas kami jadi kami sudah lincah,” kata Amina salah satu perempuan saat bersama rekan-rekannya mengikatkan bibit dan beton yang menjadi pemberatnya. (*)
CEO Kabar Pulau