Resolusi Melawan ‘Perampasan Ruang’
Kampong/Kampung, adalah sebuah negara kecil. Di sana sebenarnya otonomi dan kemandirian bersemayam. Otonomi dan kemandirian itu terletak dalam empat tata Empat tata itu adalah tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi. Artinya ketika empat tata ini diatur akan melahirkan otonomi dan kemandiran bagi warga dan kampung di mana warga hidup.
Ketika ada tata kuasa warga atas sumberdaya alam yang dimilikinya, berarti bisa hadir tata kelola yang dijalankan warga sebagai pemilik sah. Jika tata kelola dimiliki akan berhubungan dengan tata produksi dan ketika tata produksi diproses akan dipikirkan tata konsumsi. Baik untuk kehidupan hari ini maupun untuk anak cucu di masa depan.
Ini sebuah harapan ideal, ketika ingin melihat kampong/ kampung/negeri otonom dan mandiri. Sayangnya, harapan itu kini menghadapi jalan terjal dengan pandangan yang nanar. Ruang hidup dan kekayaan sumberdaya alam kampong tidak lagi menjadi milik warga. Serbuan industry ekstraksi, perkebunan monokultur serta izin usaha kehutanan kini massive di berbagai pulau di Maluku Utara. Ruang-ruang hidup orang kampong dan warga tempatan maulai tergusur. Ada kampung yang dipindahkan, ada warga yang setiap hari menelan debu tambang. Ada air sungai yang tercemar, laut yang terkontaminasi kerukan tambang, sampai rentannya warga terserang ispa. Belum lagi ruang hidup dan perkebunan yang tersapu, tempat tempat keramat dan sacral tertimbun. Semua contoh itu nyata di depan mata.
Warga Kampong kini menjadi terasing di tengah bunyi alat berat yang lalu lalang dan bikin bising. “Torang suatu saat akan pindah sendiri tidak perlu dipindahkan perusahaan. Kami akan pindah sendiri karena kebun-kebun yang sudah habis dan kampung yang dikelilingi tambang setiap saat harus mandi debu,” begitu Om Nemo warga Lelilef Halmahera tengah berujar akhir Desember 2020 lalu. Persoalan ini membuat ternyata membuat semua orang diam tak berkutik, tersandra oleh kesejahteraan semu yang dibawa industri tambang.
Belum lagi regulasi yang dibuat negara untuk mendukung eksploitasi sumberdaya alam begitu kuatnya. Ada Undang- undang Omnibuslaw atau Undang-undang Cipta Kerja yang memberi ruang sebesar besarnya bagi industri makin leluasa dan mengabaikan urusan lingkungan dan hak hak orang lokal. Ada juga revisi undang–undang Minerba yang memberi kewenangan pusat mengambil alih seluruh perizinan pertambangan.
Soal adanya Undang undang Ciptakerja menjadi regulasi dengan banyak reklasasi untuk isu lingkungannnya baik menyangkut dokumen Amdal dalam ruang partisipasi public. Tidak itu saja dalam hal tat ruang Undang-undang ini juga banyak relaksasinya bahkan memunculkan kriminalisasi bagi warga tempatan ketika sebuah industry ekstraksi masuk.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) sebagai perwalian lingkungan di Indonesia memandang Undang-undang ini membuat partisipasi public menjadi terbatas. Baik dalam dokumen AMDAL maupun partisipasinya membuat sebuah dokumen.
“Undang–undang ini banyak relaksasi terutama dalam pembuatan dokumen AMDAL. Ruang partispiasi publik menjadi sangat terbatas. NGO mengakses dokumen juga terbatas. Tugas WALHI sebagai Wali Lingkungan menyuarakan masalah ekosistem dan kerusakan sumberdaya alam juga hilang,” jelas Ketua Dewan Nasional WALHI Reynaldo G Sembiring dalam Seminar Mempertegas Otonomi Kampung Resolusi Rakyat Terhadap Oligarki Industri Berbasis Kawasan di Hotel Sahid Rabu (23/3/2022). Tidak itu saja banyak kehadiran Undang–undang yang dilakukan relaksasasi terutama menyangkut proyek strategis nasional. Ada kejahatan pidana berat diubah menjadi kejahatan pidana administrasi. Saat ini politik percepatan investasi menyingkirkan ruang hidup masyarakat tempatan. Salah satu contoh dalam Undang udang WP3K direklasasi untuk proyek strategis nasional dan masyarakat di mana lokasi berada tidak bisa melakukan penolakan.
Jika ada proyek strategis nasional maka tata ruang bisa dijalankan oleh pemerintahan pusat. Bahkan untuk kawasan konservasi atau lingkungan warga bisa diubah.
Lantas apa yang mesti dilakukan kelompok masyarakat sipil di dalam memperjuangkan ruang hidup orang kampung tetap terjaga dari praktek perampasan ruang dengan menggunakan Undang undang yang bermasalah dalam metodologi pembuatannya ini?
Menurut Dodo begitu ia biasa disapa, perlunya mengawal keputusan MK terhadap undang –undang Cipta Kerja dimana MK telah memutus permohonan uji formil dan materiil undang undang Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hasilya dari 12 permohonan hanya 1 permohonan yang dikabulkan baik uji formil dan atau materil. Undang – undang ini sesuai keputusan MK dianggap inkonstitusiolan bersyarat dan harus diperbaiki dalam dua tahun. Selain itu untuk masyarakat yang berada di tingkat tapak perlu terus dilakukan pengorganisasian atau diorganisir. Selain itu kelompok masyarakat sipil perlu dan tak ragu ragu melakukan koreksi masalah masalah yang ada di dalam undang undang ini. Ke empat apapun situasi normativenya pastikan berpegang pada prinsip- prinsip tentang lingkungan hidup.
Di akhir penyampaiakan Dodo begitu ia biasa disapa mengingatkan kader WALHI agar menjadikan lembaga ini sebagai forum mengambil sikap dan rumah gerakan. Perlu memperkuat basis rakyat dan memperkuat wilayah kelola rakyat. Yang kedua perlu memastikan kampanye harus dimasifkan terutama soal isu pesisir laut (pela). Kolaborasi untuk melakukan perlawanan terhadap masuknya investasi dan merampas ruang ruang hidup warga. Dengan begitu keadilan ekologi yang menjadi basis perjuangan WALHI akan terwujud.
Doktor Aziz Hasyim ekonom lingkungan dari universitas Khairun Ternate yang memaparkan kritikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, dalam konteks pertumbuhan ekonomi secara global 80 persen masyarakat hanya menghasilkan 20 persen PDRB Sementara 20 persen warga menghasilkan 80 persen PDRB. Ini menandakan bahwa akumulasi ekonomi hanya dikuasai segelintir orang. Sementara rakyaat kebanyakan sangat sedikit penguasaan ekonominya. Ini menunjukan ada disparitas penguasaan asset dan sumber ekonomi. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya alam (SDA) juga terakumulasi hanya kepada sebagian orang.
Di tengah massivenya industry ekstraktif di Maluku Utara, ikut mereduksi ruang masyarakat tempatan. Padahal dalam konteks ekonomi hijau SDA memiliki keterbatasan. Karena itu jika dieksploitasi berlebihan akan memberikan feedback yang buruk terhadap manusia dan lingkungan yang ditempati. Karena itu dia mengusulkan pentingnya membangun ekonomi berbasis kampung. Perlunya desain pembangunan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan adaptif terhadap kondisi masyarakat.
Warga saat ini kata Asis, dihadapakan dalam dua hal yakni dihimpit oleh regulasi dan dihadapkan pada adanya pergeseran basis meteralisme masyarakat.
Kedua, untuk mewujudkan cita cita perjuangan terutama menyelamatkan ruang hidup masyarakat dari serbuan industry ekstraktif maka perlu ada upaya bersama merumuskan Rencana Tindak Lanjut (RTL) atas perjuangan yang telah dilakukan. Termasuk upaya memetakan langkah yang telah dilakukan.(*) Bersambung

CEO Kabar Pulau