Merekam Masalah Infrastruktur hingga Layanan Dasar
Kamis (24/8/2023) lalu saya berkesempatan mengunjungi Pulau Mayau di Kecamatan Batang Dua. Pulau ini secara adminstratif berada di wilayah pemerintahan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara.
Di kecamatan ini ada dua pulau yakni Mayau dan Tifure dengan 6 kelurahan. Di Pulau Mayau ada 4 kelurahan.Sementara di Tifure ada dua kelurahan. Dua pulau ini berdekatan dari Mayau ke Tifure butuh waktu tiga jam dengan long boat, Keduanya berada terluar dari wilayah Kota Ternate.
Sekadar diketahui di Kota Ternate punya 8 pulau yakni Ternate, Hiri, Maka, Mano, Gura Mangofa, Moti, Mayau dan Tifure. Mayau dan Tifure berbatasan langsung dengan Sulawesi Utara. Tiga pulau tak berpenghuni sementara lima berpenghuni. Di Mayau jika warga ingin ke Ternate atau ke Bitung Sulawesi Utara hamper sama jarak tempuhnya. Dari Ternate ke Mayau atau sebaliknya berjarak kurang lebih 121,8 kilometer dengan lama perjalanan menggunakan kapal sabuk nusantara 105, 12 jam.
Berdasarkan lama perjalanan bersama kapal yang saya tumpangi, kapal lepas sauh pukul 19.10 WIT dari Pelabuhan Ahmad Yani Ternate dan Tiba di Kelurahan Bido Mayau pukul 06.00 WIT. Sampai di sini butuh waktu agak lama penumpang dan berang bisa turun ke darat. Pasalnya di di Pulau ini kita tidak akan menemukan dermaga atau jembatan yang representative menjadi tempat sandar kapal dan menurunkan penumpang. Hingga kini belum ada pembangunan pelabuhan yang layak karena alasan cuaca ekstrim setiap waktu mengancam laut dan pesisir pantai Pulau Mayau.
Tak hanya dermaga dan pelabuhan berbagai sarana pendukung di pulau terluar ini terbilang minim. Warga tersandera keterisolasian wilayah. Jalan rusak, tidak ada dermaga kapal bersandar, sarana komunikasi terbatas, kesulitan air bersih, hingga pelayanan pemerintahan, kesehatan, pendididikan dan lainnya. Semua masalah ini menjadi teman hidup warga setiap saat. “Masalah ini sudah biasa dan seperti dinikmati warga setiap saat,” komentar Henoks tokoh masyarakat Kelurahan Bido Kecamatan Batang Dua
Bagi warga di sana (Mayau dan Tifure,red) setiap pergi dan pulang dari Ternate sudah biasa dalam perjalanan dihadang angin dan gelombang besar.
Saat naik ke kapal saja menunggu waktu berangkat tak menentu. Pengalaman berangkat dari Ternate ke Mayau, waktu keberangkatan kapal juga berubah- ubah. Semulai dikabarkan pukul 15.00—WIT. Kemudian berubah pukul 17.00 WIT dan akhirnya baru berangkat pukul 19.00 WIT.
Saat tiba dan turun di pelabuhan juga selalu terancam bisa jatuh ke laut. Ini karena penumpang dan barang turun lagi ke atas body perahu bermesin gantung, selanjutnya diantar ke daratan.
Di Mayau hingga saat ini tidak ada dermaga tempat bersandar kapal. Karena itu seluruh penumpang dan barang harus diturunkan ke atas body perahu, selanjutnya diantar ke tepi pantai. Begitu juga ketika berangkat penumpang harus berbasah basah naik ke atas perahu agar bisa diantar ke kapal. “Pernah ada barang dan penumpang jatuh ke laut saat aktivitas bongkar muat bertepatan dengan gelombang,” kata Andreas salah satu warga Bido.
Saat saya mengunjungi Mayau akhir Agustus lalu, bertiup angin selatan cukup kencang. Karena itu kapal tidak bisa merapat dan lego sauh di Kelurahan Mayau Ibu Kota Kecamatan. Seluruh penumpang dan barang turun di Kelurahan Bido bagian utara pulau Mayau yang berjarak kurang lebih 9 kilometer.Karena itu juga penumpang dari 4 kelurahan di pulau ini turun di Bido nanti melanjutkan perjalanan ke kelurahan masing masing. Saat tiba, laut Bido sangat teduh. Berbeda dengan di Mayau sudah sebulan lebih angin selatan bertiup dan gelombang besar datang tak kenal kompromi.
Saat kapal lego sauh sekira pukul 06.00 WIT. Belum ada body perahu mendekat. Nanti setelah agak siang satu dua perahu bermesin datang menawarkan jasa angkutan mengantar sampai tepi pantai. Sementara di darat juga sudah menunggu motor maupun kendaraan roda tiga dan mobil pick up yang bisa digunakan mengantar penumpang dan barang sampai ke rumah.
Ketika ada aktivitas naik turun barang dan penumpang, warga terlihat sangat kesulitan. Saat itu bisa dibayangkan betapa pentingnya sebuah dermaga yang representative bisa dimanfaatkan masyarakat ketika naik dan turun kapal melakukan perjalanan dari dan ke Ternate maupun Bitung Sulawesi Utara.
Memang di Mayau ada sebuah dermaga kecil tetapi itu juga tidak bisa dimanfaatkan kala kondisi angin selatan bertiup kencang disertai gelombang tinggi.
Yang ada saat ini di kawasan Keramat berjarak kurang lebih 3 kilometer dari Kelurahan Bido, ada pelabuhan kapal fery. Namun sepekan lalu belum ada armada fery yang masuk ke Mayau karena gelombang tinggi dan angin kencang. “Jadwal fery juga tidak menentu kadang sebulan sekali tetapi semua tergantung cuaca serta penumpang dan barang,” jelas Andres warga Bido.
Sementara untuk pelabuhan atau dermaga tempat bersandar kapal barang dan penumpang, rencana segera dibangun. Sesuai informasi yang dihimpun dari warga, menyebutkan bahwa pemerintah telah membebaskan lahan di kawasan Karamat untuk pembangunan pelabuhan. “Kabarnya proyek ini dibiayai oleh Kementerian Perhubungan RI,” ujar Delfri Peo tokoh pemuda Bido. Meski sudah diadakan pembebasan lahan tetapi menurutnya belum tahu kapan pelabuhan tersebut akan dibangun.
Itu baru satu persoalan infrastruktur yang terekam ketika menginjakkan kaki ke pulau ini. Untuk pembangunan dermaga sebagai salah satu kebutuhan mendesak, juga terkendala kondisi cuaca yang selalu berubah –ubah. Mayau menjadi sasaran cuaca ekstrim. Pulau ini jika berlangsung angin utara terpaksa kapal berlabuh di Mayau karena laut sekitar kelurahan Bido seperti mendidih dihantam gelombang. Sementara jika berlangsung angin selatan daerah pesisir kelurahan Mayau tidak bisa kapal bersandar akibat angin dan tingginya gelombang. Angin selatan telah berlangsung sejak akhir Juli dan normal di awal Oktober. Sementara angin Utara akan bertiup dari Oktober hingga Januari sehingga kapal penumpang yang masuk ke pulau Mayau bersandar di Kelurahan Mayau.
”Kapal masuk ke pulau Mayau ini berpindah pindah tergantung arah angin bertiup karena selalu ada gelombang besar. Praktis hanya tiga bulan yang benar benar teduh yakni Februari hinga April,” kata Andreas.
Pulau ini sebenarnya memiliki kekayaan berlimpah. Dari hasil perkebunan seperti kelapa,cengkih dan pala, Jika Anda ke Mayau bisa menyaksikan dari pesisir hingga ke puncak gunung, pohon kelapa, pala dan cengkih menghiasi pulau dengan luas 78,60 kilometer persegi tersebut. Pulau kaya berbagai hasil bumi ini tidak sejalan dengan infrastruktur yang ada di sini.
Begitu juga lautnya. Berbagai jenis bahkan berton ton ikan ditangkap dari laut sekitar Mayau dan Tifure. Sebut saja, pelagis kecil dan besar serta jenis demersal. Banyak kapal penangkap berseliweran di laut sekitar Mayau. .Dari hasil lautnya bisa disaksikan berpuluh kapal nelayan asal Sulawesi Utara yang lego sauh dan mengambil hasil nelayan Pulau Mayau dan Tifure
“Hampir semua hasil nelayan dijual ke kapal penampung dari Bitung yang setiap saat ada di laut Bido dan Mayau,” kata Vasten Dalo nelayan asal Kelurahan Bido. Kalau menunggu kapal ikan penampung dari Ternate bisa bisa ikan rusak karena mereka tidak berada di Mayau. Dengan kegiatan ini otomatis keuntungan dari pajak yang dihasilkan dari bidang perikanan masuk ke Sulawesi Utara. (*) (bersambung)
CEO Kabar Pulau