Oleh: Dr. Abdul Motalib Angkotasan, S.Pi, M.Si
Eksploitasi nikel di pulau kecil marak dilakukan di Indonesia. Tercatat ada puluhan izin usaha pertambangan Nikel yang dilakukan di Pulau Kecil. Salah satu di antaranya adalah aktivitas eksploitasi nikel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
Pulau ini memiliki luas daratan sebesar 2542 kilometer persegi. Merujuk Undang-undang nomor 27 Tahun 2027 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menyatakan bahwa pulau kecil merupakan pulau dengan luasan kurang dari 2000 km2. Artinya, Pulau Obi dikategorikan sebagai pulau kecil, dan semestinya tidak ada aktivitas pertambanga nikel di sana. Pasalnya Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya tertanggal 21 Maret 2024, menolak gugatan Judical Review (JR) terkait UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mana korporasi menuntut agar pulau kecil dapat dieksploitasi untuk pertambangan nikel.
Korporasi yang mengajukan gugatan JR tersebut adalah PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Induk perusahaan ini juga melaksanakan eksploitasi nikel di Pulau Obi. Putusan tersebut dikeluarkan MK pada Kamis (21/3/2024) sebagai tanggapan terhadap permohonan uji materiil UU PWP3K oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Sayangnya, keputusan ini belum direspon dengan serius oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Harusnya ada langkah tegas buat menghentikan aktivitas eksploitasi tambang di Pulau Obi.
Perlu diketahui bahwa eksploitasi tambang di Pulau Obi diduga menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Diduga terdapat empat dampak eksploitasi tambang di pulau Obi. Pertama, perubahan landscape daratan. Berdasarkan hasil pantauan menggunakan citra satelit dari google earth, terlihat dengan jelas bahwa proses perubahan landscape daratan terjadi di atas tahun 2018. Parahnya di tahun 2023, proses eksploitasi tambang telah mengepung kawasan perkampungan warga di Desa Kawasi.
Alhasil, ekosistem di daratan telah berubah, yang tadinya hijau ditumbuhi pepohonan kini gersang dan tandus. Tersisa hanyalah material tanah dan bangunan milik perusahaan. Kedua, terganggunya ruang hidup Masyarakat pesisir di sekitar tambang. Permukiman warga telah dikepung industrial tambang nikel di Obi. Konon kabarnya akan direlokasi, jika ini benar maka ketidakadilan sosial dan ekologi sedang terjadi sebagai dampak dari eksploitasi tambang nikel di Pulau Obi.
Ketiga, dugaan adanya kerusakan lingkungan pesisir dan laut. Dugaan ini berdasar pada realitas bahwa eksploitasi tambang di pulau kecil akan memicu tingginya nilai sedimen tersuspensi di perairan yang pada akhirnya berdampak pada kerusakan ekosistem terumbu karang. Meski demikian, benar tidaknya dugaan ini butuh riset langsung pada perairan sekitar area eksploitasi tambang di Pulau Obi.
Keempat, dugaan adanya konflik social antara warga lingkar tambang dengan korporasi. Kebenaran dugaan ini perlu dibuktikan dengan tinjauan lapangan. Namun berangkat dari berbagai fakta bahwa Masyarakat lingkar tambang selalu berkonflik dengan korporasi adalah sebuah kelaziman yang terjadi selama ini.
Untuk menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapi maka pemerintah dan stakeholder Maluku Utara harus mengambil langkah tegas sebagai upaya melindungi kehancuran ekologi, degradasi sosial dan budaya masyarakat Obi.
Empat langkah konkrit harus dilakukan oleh stakeholder Maluku Utara sebagai berikut.
Pertama, Pj Gubernur bersama DPRD melakukan tinjauan lapangan untuk menelaah secara detil problematika yang terjadi di Pulau Obi.
Kedua, Bupati Halmahera Selatan dan DPRD Kabupaten Halmahera Selatan harus menyoal aktivitas pertambangan di Pulau Obi.
Ketga, Perguruan tinggi mengutus duta riset ke Pulau Obi. Perguruan tinggi di Maluku Utara punya forum rektor yang dapat menjembatani kerja kerja riset dalam rangka mengawal proses pembangunan di daerah. Problematika tambang di Maluku Utara harus menjadi isyu sentral dan krusial di tengah dampak ekpsloitasi tambang yang menyeruak. Para akademisi dari berbagai bidang teristimewa para ahli social bduaya, ahli lingkungan dan ahli tambang harus diterjunkan ke Pulau Obi untuk melakukan kajian ilmiah dengan pendekatan metodologi yang tepat dalam mengungkap data dan fakta terkait pulau Obi saat ini serta proyeksinya di masa depan.
Keempat, masyarakat sipil yang terdiri dari LSM Lingkungan, Organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan harus mengambil bagian dan Gerakan menyelamtkan Pulau Obi. Jika diperlukan Gerakan turun ke jalan maka semua itu harus dilakukan demi menyelematkan Pulau Obi dari kehancuran ekologi dan degradasi social budaya.
Merujuk pada putusan MK dan amanat UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil yang melarang adanya aktivitas pertambangan di Pulau Kecil. Maka Gerakan Masyarakat sipil untuk turun tangan menyoal masalah tambang nikel di Pulau Obi niscaya di lakukan. Bergerak secara massif dari pusat sampai daerah dengan satu tuntutuan yang sama yakni pencabutan izin usaha pertambangan Nikel di Pulau Obi. Menuntut adanya ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang dilakukan, mewajibkan korporasi untuk melakukan restorasi ekosistem agar bisa Kembali seperti semula. Pasalnya perubahan landsace di pulau Obi sudah sangat mengkhawatirkan.
Semoga imbauan untuk membangun gerakan bersama seluruh elemen Masyarakat ini dapat dilakukan sebagai tanggung jawab moral bersama dalam upaya melindungi pulau-pulau kecil di Maluku Utara dari kehancuran ekologis di masa depan. Pasalnya, keberadaan Perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya nikel hanya menguntungkan segelintir elit dan menyengsarakan rakyat jelata. (*)
Penulis Adalah Dosen Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate