Ajukan JR UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Pada 2022, warga Pulau Wawonii menggugat Perda RTRW Kabupaten Konawe yang mengatur alokasi ruang untuk pertambangan ke Mahkamah Agung dan menang. Atas kemenangan itu Perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) anak perusahaan PT Harita yang beroperasi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara mengajukam judicial review.
Padahal sejak awal operasi tambang ini pun mendapat penolakan warga. GKP mengajukan judicial review untuk UU No.27/2007 soal Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU No.27/2007, pulau kecil memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2, termasuk Kabupaten Konawe Kepulauan masuk kategori pulau kecil yang dikecualikan kegiatan pertambangan.
GKP menggugat Pasal 37 huruf K, yang menyebutkan, dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan dari PT GKP yang dalam permohonannya, meminta kawasan pesisir boleh dijadikan wilayah tambang.
Sidang putusan perkara nomor 35/PUU-XXI/2023 itu dilaksanakan di kantor MK, Jakarta Pusat, Kamis (21/3/2024) dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
“Menolak permohonan Pemohon untuk semuanya,” kata Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan itu.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK memperbolehkan perusahaan tambang memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau kecil dijadikan wilayah tambang. PT Gema adalah pemegang izin usaha pertambangan di wilayah Pulau Wawonii dengan dua izin.
Dalam permohonannya, pemohon menggugat pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berikut pasalnya:
Pasal 23 ayat (2)
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut.
a. Konservasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Penelitian dan pengembangan.
d. Budi daya laut.
e. Pariwisata.
f. Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari.
g. Pertanian organik.
h. Peternakan dan/atau.
i. Pertahanan dan keamanan negara.
Pasal 35 huruf k
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
(k). melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya. ‘tidak sebagai larangan terhadap kegiatan lain selain yang diprioritaskan, termasuk larangan kegiatan pertambangan, berikut sarana, dan prasarananya’.
Pemohon meminta agar Pasal 23 ayat 2: ‘tidak sebagai larangan terhadap kegiatan lain selain yang diprioritaskan, termasuk larangan kegiatan pertambangan, berikut sarana, dan prasarananya’. Adapun Pasal 35 huruf k, pemohon meminta agar
‘tidak sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat’
Dalam hal itu, MK menimbang, apabila perusahaan tambang melakukan praktik penambangan, berpotensi memperparah kerusakan ekosistem sumber daya, mulai ketergantungan masyarakat kepulauan terhadap keanekaragaman tumbuhan atau flona hingga berpotensi menghilangkan potensi ekowisata yang dapat memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan masyarakat.
Perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Bahwa kewajiban negara dalam ekonomi, sosial, dan budaya ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bahwa kewajiban negara juga ditegaskan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum. Kewajiban ini kemudian diturunkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai instrumen hukum. Instrumen mana tidak hanya berfungsi untuk penindakan, tapi juga untuk mencegah, melindungi, dan menghormati yang merujuk pada prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Berdasarkan aspek kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan secara sosiologis kegiatan penambangan dapat merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Terbukti kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terjadi hingga saat ini, telah merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat. (*)
CEO Kabar Pulau