Fenomena mudik kaum urban, terkadang memantik perdebatan panjang. Selain mengundang keprihatinan, di mana mudiknya kaum urban ikut melibatkan negara dengan segala risiko, mudik itu juga melibatkan jumlah yang demikian massif yang justru memang menimbulkan tantangan tersendiri, di mana emosi dan segala perhatian tertumpah di sana.
Tak ada perhatian ekstra keras yang dilakukan pemerintah jelang hari-hari besar keagamaan, selain mengurus mudik kaum urban. Yang dari tahun ke tahun selalu menumbalkan korban jiwa demikian besar.
Alhasil, berbagai perbaikan, termasuk meminimalisir jatuh korban, terus diupayakan. Sarana dan infrastruktur pendukung jalan raya dan transportasi ditingkatkan demi menghadirkan kenyamanan. Negara hadir ketika segala risiko benar-benar tertangani dengan baik. Dan mudik, merupakan parameter, bagaimana negara bekerja, dan serius mengurus rakyat.
Ternyata, mudik bukan semata milik kaum urban. Mudik telah menjadi tradisi yang “melembaga” hampir semua masyarakat di Indonesia mengenal dengan kuat tradisi pulang kampung ini.
Pun demikian halnya dengan masyarakat pulau. Mudik merupakan sebuah kerinduan yang tak terkatakan bagi mereka yang menjalaninya. Mudik tidak hanya sebuah perjumpaan fisik, tetapi lebih dari itu adalah menggayuh makna dan kedalaman kerinduan ontologis, menemukan bilah maknawi keagamaan yang primordial.
Tentu, antara mudik kaum urban dan mudik masyarakat pulau memiliki konstruk persepsi yang berbeda, sekalipun mungkin saja memiliki silang singgung konsep yang sama.
Nah, pada titik ini, dan ini yang menjadi stand point coretan ini, bahwa mudik masyarakat pulau kurang memperoleh perhatian serius negara. Betapa tidak, proses mudik orang pulau, dilakukan apa adanya, dengan fasilitas seadanya, dukungan transportasi tak laik, bahkan siap mengancam nyawa. Tetapi bagi orang pulau, yang utama bisa “pulang kampung” walau dihantam ombak besar, dibelai angin sakal jahat, diselimuti hujan deras, dan ditemani alam pekat. Tak surut nyali untuk menginjak pasir pulau yang pernah menancapkan memori dan pengalaman sejak kecil.
Pada konteks ini, mudik masyarakat pulau kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan diabaikan. Pernahkah berbagai fasilitas, sarana, infrastruktur untuk mudik masyarakat pulau menjadi perhatian? Apakah tol laut nanti dapat memberi nyaman masyarakat pulau ketika pulang kampung? Apakah pwrnah terlintas, bagaimana mengatasi mudik masyarakat pulau yang rentan menumbalkan jiwa?
Syukur-syukur yang pulang kampung dengan kapal ferry, speed boat cepat. Bagaimana dengan mereka yang mudik dengan perahu kayu?
Sejauh ini, dan sejak lama, mudik masyarakat pulau jauh dari kesan perhatian serius kita bersama. Kita menganggap sebagai “tradisi” yang tidak berisiko.
Mudik orang pulau, adalah pulang yang menautkan rindu, cinta, cita-cita, serta spirit transendensi untuk mengistirahatkan keegoan setelah penat diterpa deru bising materialisme di kota. Mudik adalah perjalanan menuju kebersamaan, walau jiwa harus dikorbankan.