Tak Cuma Bangun, Butuh Perawatan untuk Keberlanjutan
Provinsi Maluku Utara dengan 805 pulau memiliki banyak desa di pulau kecil. Dari total desa, 898 ada di tepi laut sementara bukan di tepi laut ada 305 desa. Mayoritas desa di pesisir dan pulau, memikul beban ketersediaan energi listriknya.
Di pulau kecil yang memiliki penghuni belum semua tersedia listrik secara memadai dari Negara (PLN,red). Halmahera Selatan sebagai salah satu kabupaten dengan 300 pulau lebih, memiliki luas wilayah mencapai 40.263,72 km dengan 6 pulau besar yaitu Pulau Obi, Pulau bacan, Pulau Makian, Pulau Kayoa, Pulau Kasiruta, dan Pulau Mandioli.
Halmahera Selatan juga punya banyak pulau kecil. Salah satunya Gugusan Pulau Guraici dengan 17 pulau dan salah satunya Pulau Laigoma. Di pulau ini energi listriknya dari solar cell dan generator.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau solar cell di desa Laigoma Kecamatan Kayoa Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara, yang didanai melalui Anggaran Pendapatan da Belanja Daerah (APBD) dilaksanakan sejak akhir 2018. Proyek ini sempat mangkrak dan baru bisa dimanfaatkan masyarakat pada 2021 lalu.
Di desa ini juga ada bantuan solar cell menggunakan APBN dari Kementerian ESDM. Ada panel dan 4 mata lampu dipasang di masing masing rumah. “Melalui Kementerian ESDM juga telah dibagikan bantuan panel solar cell dan fasilitas pendukungnya ke setiap rumah. Bahkan sudah bisa dimanfaatkan masyarakat beberapa tahun sebelumnya,” jelas Amir Ibrahim BPD Desa Laigoma.
Untuk proyek panel solar cell dan fasilitas pendukungnya melalui dana APBD, dimanfaatkan kurang lebih 1,5 tahun. Kini telah alami kerusakan dan menunggu keputusan pemerintah desa menglokasikan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk perbaikan. Kerusakan PLTS ini ditengarai karena penggunaan berlebihan. Jka biaya perbaikannya besar maka berat juga menggunakan dana ADD. Pemerintah desa baru akan mengambil langkah perbaikan dalam waktu dekat.
“Kami tunggu kepala desa balik ke kampong dalam kegiatannya di luar daerah untuk bicarakan perbaikannya,

Torang (kami,red) dengar katanya kerusakan ini pada inverter yang jebol atau hangus. Berarti anggarannya juga akan besar,”ujar Amir Ibrahim BPD Desa Laigoma.
Kerusakan PLTS sendiri dalam beberapa referensi disebutkan bahwa, salah satu sebabnya karena fluktuasi atau perubahan tegangan. Cepat atau lambat hal ini memberikan dampak buruk pada listrik panel surya. Adanya tegangan yang terinduksi serta kebocoran arus, akan menimbulkan penurunan tegangan output yang dihasilkan panel surya.
Dia juga bilang, yang jadi persoalan saat ini dalam pengelolaan solar cell, setelah diadakan pemerintah daerah, tidak lagi dipikirkan keberlanjutan setelah diserahkan ke desa. “Terutama ketika terjadi kerusakan alat dan fasilitas pendukung. Pemeliharanya tidak berjalan. Perawatannya juga tidak dilakukan masyarakat. Mereka tidak tahu apa yang harus dia buat jika terjadi kerusakan. Memang sudah ada peringatan kepada masyarakat agar tidak menggunakan listrik solar cell dengan kapasitas berlebih. Tetapi hal ini sulit dikontrol. Kalau perlu mungkin pakai semacam meteran untuk mengontrol penggunaan setiap rumah,” imbuhnya.
Pihaknya sudah menyarankan ke pemerintah desa memikirkan keberlanjutannya dengan mengirimkan anak muda atau warga yang bisa mengikuti kursus pemeliharaan solar cell ini, agar nanti mereka jadi tenaga terampil khusus menangani jika ada kerusakan.
“Saya sudah sarankan ke pemerintah desa agar ada antisipasi misalnya melatih anak-anak kita. Tujuannya ketika bermasalah mereka bisa perbaiki. Tidak perlu menunggu ahli dari luar pulau terutama Ternate atau Jawa,” katanya. Sebagai Badan Perwakilan Desa (BPD) pihaknya akan kembali menyarankan ke pemerntah desa untuk melakukan langkah ini sekaligus menjawab masalah yang dihadapi.
Program PLTS Butuh Keberlanjutan
Tidak hanya di Laigoma. Beberapa pulau seperti Siko, Moari, Bacan, Kasiruta hingga ke Pulau Obi dibangun panel surya untuk menyediakan listrik bagi masyarakat dengan dana APBD.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dalam beberapa tahun ini menginisiasi program Halmahera Selatan Terang, dengan mendorong desa menyediakan listrik melalui solar cell. Pembiayaannya dari dana desa dan APBD.
Program Halmahera Selatan Terang yang mengandalkan energi matahari itu tidak berjalan mulus. Ketika beroperasi, muncul banyak masalah. Salah satunya kerusakan setelah satu atau dua tahun dioperasikan.
Kejadian ini merata di sejumlah desa di mana PLTS sudah diserahkan dan beroperasi. Banyak yang rusak dan sulit diperbaiki. Beberapa desa yang proyek solar cell nya alami kerusakan setelah dioperasikan itu yakni Desa Laigoma Pulau Laigoma, Desa Siko Pulau Siko, Desa Bokimiake Pulau Moari, Desa Marituso Pulau Kasiruta, dan Desa Wiring Pulau Tawabi.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan yang coba dikonformasi terkait keberlanjutan proyek solar cell ini enggan beri tanggapan. Didatangi langsung hingga dikirimi daftar pertanyaan melalui pesan WA juga tidak ditanggapi.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Halmahera Selatatan Tahrim Imam ditemui Sabtu (29/7/2023) di Bacan Kabupaten Halmahera Selatan enggan memberi tanggapan soal ini. Sejumlah pertanyaan seputar keberlanjutan program solar cell setelah beroperasi dan alami kerusakan, yang dikirim lewat ponsel 08132297xxxx Kamis (3/8/2023) dan Jumat (4/8/2023) juga tak ditanggapi.
Gufran Mahmud Anggota DPRD Halmahera Selatan yang concern mendorong program solar cell beberapa pulau menyatakan, prihatin program ini masuk ke desa alami banyak kendala terutama ketika beroperasi. “Keberlanjutannya perlu dipikirkan bersama,” katanya.

Dia contohkan, proyek PLTS di tiga pulau yakni Laigoma, Gafi dan Siko di gugusan kepulauan Guraici setelah beroperasi dan alami kerusakan sulit dilakukan perbaikan. Dalam penggunaanya juga banyak kendala. Misalnya karena kapasitas terbatas maka dilakukan pembatasan penggunaan hanya untuk penerangan. Hanya saja hal ini sulit dikontrol. Dia lalu menyarankan perlunya dibangun manajemen pengelolaan yang lebih baik ketika PLTS masuk ke desa. “Proyek PLTS di Pulau Siko masuk 2016 kemudian di Pulau Gafi 2017 dan di Pulau Laigoma akhir 2018. Tiga proyek ini menghabiskan anggaran APBD puluhan miliar. Sayang kalau kemudian rusak percuma. Karena itu saya sarankan perlu manajemen pengelolaan untuk keberlanjutannya,” sarannya.
Saat ini warga yang punya kemampuan ekonomi lebih, bisa menyediakan genzet berbahan bakar solar. Namun tidak dengan warga kurang mampu. Mereka tetap berharap solar cell salah satu sumber energi penting. “Meski pun ada genset tetapi energy surya ini sangat penting terutama di pulau seperti kami. Tidak butuh BBM dan bisa digunakan selamanya jika dirawat ,” kata Suparto Mahyadin warga Siko.
Desa Siko Pulau Siko yang berdekatan dengan pulau Laigoma mendapatkan proyek PLTS pada 2016 lalu dan menyala beberapa tahun, kemudian rusak satu tahun belakangan dan belum juga diperbaiki.
Keberadaan PLTS ini sangat penting karena genset atau generator tidak bisa dinyalakan 24 jam. Rata-rata warga desa bisa menikmati listrik 6 hingga 12 jam. Selebihnya rumah gelap hanya gunakan lampu teplok. “Di Pulau seperti Laigoma dan Siko ada juga genset tetapi tidak bisa dinyalakan full karena tingginya biaya beli BBM,” ujarnya.
Desa-desa pulau yang mayoritas warganya nelayan dan juga petani butuh listrik untuk bebagai kebutuhan. Tidak hanya untuk penerangan, tetapi juga membuat es balok untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan.
“Saat ini seluruh kebutuhan es untuk mengawetkan ikan diambil dari Ternate. Kita inginkan kalau bisa melalui listrik solar cell buat es membantu nelayan mengawetkan ikan,” kata Ade Thaib warga Laigoma.
Lalu apa yang harus dilakukan masyarakat penerima manfaat, maupun pemerintah yang menyalurkan program solar cell ini agar ada keberlanjutannya?

Sisilia Nurmala Dewi dari Indonesia Team Leader at 350.org, lembaga yang banyak mendorong isyu energy terbarukan menyatakan, transisi energi itu juga membuahkan transformasi dalam masyarakat. Perlu ada partisipasi warga sejak awal perencanaan, pemasangan, sampai akhirnya pengeloaan dan perawatan. Karena itu dia menyarankan baik Pemerintah maupun mereka yang menjadi penerima manfaat mesti menyiapkan komponen-komponen yang diperlukan. Salah satunya keberadaan institusi/struktur yang mengelola, dan peningkatan pengetahuan keterampilan dalam merawatnya.
“Pemerintah juga perlu mengalokasikan dana yang dibutuhkan dalam melakukan perawatan,”katanya.
Sementara bagaimana baiknya manajemen pengelolaanya sehingga proyek ini bermanafaat terutama dalam menjaga dan mengembangkan sumber energy ini, menurut dia, diperlukan struktur khusus yang mengelolanya. Terutama di tingkat desa, bisa dibentuk pengurus khusus. “Kita ambil contoh seperti yang dilakukan Dusun Kedungrong Kulonprogo pada PLTMH mereka. Pengelolaan bisa juga dilakukan lewat BUMDES seperti PLTH Muara Enggelam di Kalimantan Timur. “Selain itu, pengelolaan dapat juga dilakukan melalui koperasi yang ada di desa,” tambahnya.
Selain itu penting juga membangun rasa memiliki masyarakat atas fasilitas energi terbarukan ini. “Beberapa masyarakat menerapkan sistem iuran warga untuk memastikan ketersediaan dana perawatan, seperti yang dilakukan di Dusun Bondan di Cilacap Jawa Tengah yang saat ini memperoleh anugerah dari Provinsi Jawa Tengah sebagai Desa Mandiri Energi. Saat ini 350.org juga mulai mengumpulkan secara perlahan cerita- cerita dari masyarakat tentang energi terbarukan melalui media.
“Misalnya salah satu berita yang saya temukan. Tentang PLTS di Pulau Medang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Inisiatifnya datang dari anggota masyarakat. Mereka pun merasakan langsung manfaatnya. Namun belum teruji pengelolaannya. Sejauh yang saya tahu, di pulau-pulau kecil komponen solar panel perlu perawatan ekstra karena rentan korosi akibat terkena air laut,” tutupnya. (*)
Tulisan ini merupakan liputan fellowship program kerjasama 350.org bersama Kabarpulau.co.id dan Mongabay.co.id

CEO Kabar Pulau