Nelayan motor ikan/huhati (pole and line,red) di Ternate dan Tidore, protes kebijakan pemerintah pusat melalui Kemnterian Perikanan dan Kelautan yang membuka lagi ruang, beroperasinya alat tangkap cantang maupun trawl.
Protes ini disampaikan langsung para nelayan saat seminar nasional yang digelar Ikatan Alumni Perikanan dan Kelautan (IKAPERIK) Universitas Khairun Ternate di Sahid Bela Hotel Sabtu (23/1/20) lalu.
Thamrin salah satu Nelayan dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kelurahan Dufa dufa Kota Ternate mengatakan, pemerintah telah melakukan sosialisasi Permen 59/2020 yang mengatur tentang jalur tangkap dan alat penangkapan. Hal ini sebenarnya sangat dirisaukan nelayan di Maluku Utara.
“Nelayan lokal menggunakan alat tangkap huhate ada juga yang menggunakan purse seine atau pajeko. Sesuai Permen mengakomodir trawl dan cantrang.Alat tangkap ini akan mengancam alat tangkap tradisional seperti motor ikan karena kalah bersaing. Padahal kebijakan Menteri DKP sebelumnya melarang penggunaan alat ini,” katanya.
Senada dengan itu Irwan Umar nelayan Tidore di hadapan Dirjen menyatakan menolak pemberlakukan Permen ini. “Sebagai nelayan dan penguasaha perikanan yang menggunakan poll and line saya menolak. Karena secara otomatis mematikan usaha alat tangkap yang ada sekarang ini,” katanya.
Dia bilang dulu produksi ikan Maluku Utara melimpah, dengan alat tangkap poll and line. Di tahun 90 an memancing tidak jauh hanya seputar pulau Ternate dan Tidore. Apalagi hadirnya trawl dan cantrang yang menangkap ikan turun ke wilayah operasi nelayan tradisional hingga 4 mil laut. Sudah pasti memastikan nelayan tradisional,” katanya. Saat ini saja nelayan termasuk dirinya memancing naik sampai 70 100 mil laut.
Dia bilang kini proses memancingnya sudah sangat jauh bahkan bisa sampai ratusan mil yang tentu membutuhkan bahan bakar dan biaya yang tidak sedikit. Jika diizinkan cantrang dan trawl beroperasi akan bertarung antar alat tangkap dan akan semakin menyusahkan nelayan tradisonal.
Karena persoalan ini jika tidak dipikirkan pemerintah secara baik akan menyusahkan nelayan tradisional sepertinya.
“Kami minta pemerintah menghentikan cantrang dan trawl karena mengancam nelayan kecil terutama kita di Maluku Utara,” pintanya . Dia turut meminta pemeritah tidak mengubah–ubah aturan yang sebenarya sangat menyusahkan nelayan itu.
Suara nelayan Maluku Utara ini mendapat tanggapan Dirjen Perikanan Tangkap Dr Ir Muhammad Zaini yang juga hadir secara online dalam seminar itu. Menurut dia sebenarnya pemberian izin- izin kepada alat tangkap besar terutama Cantrang itu tujuannya bukan untuk menjarah atau mengurangi jatah nelayan nelayan kecil termasuk di laut Ternate dan Maluku Utara. “Kalau pemerintah daerahnya tidak mengizinkan kapal kapal penangkap besar terutama cantrang dan trawl itu tidak mungkin ada cantrang di daerah peisir Maluku Utara. KKP juga tidak mengizinkan cantrang beroperasi ke laut seperti Maluku Utara.
Menurutnya, DKP mengizinkan cantrang itu beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 di laut Jawa.
Begitu juga dengan kapal penangkap besar, diakui Dirjen ada dilema. Pasalnya sumberdaya alam perikanan Indonesia melimpah dari perairan lepas pantai sampai ke laut lepas. Tetapi berbanding terbalik dengan hasil ekspor ikan. Indonesia kalah dengan Negara lain termasuk tetangga seperti Filipina. Ini menyangkut penyiapan alat tangkap.
“Kalau dibatasi pengoperasiannya kapal dengan ukuran sampai 150 GT akibatnya di laut lepas Zona Economy Eksklusive (ZEE) kapal ikan Indonesia tidak ada. Di laut pasifik kapal- kapal ikan besar itu hanya milik China, Taiwan bahkan Filipina dan Korea. Sementara Indonesia tidak ada sama sekali. Karena itu tidak punya kapal akhirnya Indonesia tidak mampu memanfaatkan sumberdaya laut yang ada.
“Jadi walaupun lautnya luas produksi kita rendah karena alat tangkap tidak memadai. Dia bilang bahwa semua laut lepas di dunia ada kapal- kapal China. Sudah begitu mereka bekerja sama dengan beberapa Negara.Jadi produksi ikannya sangat besar,” katanya.
Karena itu Dirjen berharap pengertian dari semua pihak terutama nelayan. “Terpenting kita atur agar kapal kapal besar tidak merusak dan tidak mengganggu wilayah wilayah penangkapan nelayan kecil. Ini yang mesti dijaga bersama,” katanya.
Sekadar diketahui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2020 itu mengatur tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas. Permen ini dianggap menjadi ancaman baru nelayan Maluku Utara. Terutama berlaku bagi nelayan pole and line atau huhate untuk cakalang dan nelayan dengn alat tangkap jenis purse seine atau pajeko untuk pelagis kecil. (*)
CEO Kabar Pulau