Desa Gamtala Jailolo Kabupaten Halmahera Barat Maluku Utara terbilang bersih. Di kiri kanan jalan juga asri, membuat desa ini benar benar menarik untuk dikunjungi. Menyusuri jalan utama desa ini terlihat rumah-rumah memiliki halaman luas diisi beragam tanaman buah seperti rambutan, manggis, jeruk bahkan durian. Tak ketinggalan ragam pangan local seperti pisang ikut disisipkan. Desa ini dikelilingi oleh hutan mangrove. Gamtala menjadi satu desa di Halmahera Barat yang ditetapkan sebagai satu dari 17 desa wisata di daerah ini sejak 2015 lalu. Potensi mangrovenya menjadi salah satu destinasi wisata penting di Halmahera Barat. Selain mangrove ada sumber mata air dan dijadikan obyek wisata menarik.
Untuk mencapai lokasi wisata ini, mudah saja. Sangat dekat dari pusat kota Jailolo. Menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat, pengunjung sampai ke lokasi ini hanya butuh waktu 15 menit. Lokasi wisata Gamtala ini memiliki hutan mangrove dengan tiga mata air yakni panas, hangat dan dingin. Sumber mata air itu melintasi kawasan hutan mangrove yang bertemu di satu titik dan membentuk sungai menuju pantai yang dikenal dengan Sungai Banyo Sau.
Selain itu, di perbatasan desa Gamtala dan Lako Ake Lamo ada benteng tinggalan zaman penjajah. Benteng bernama Saboega yang dibangun bangsa Belanda itu dikelilingi hutan mangrove. Benteng ini menjadi satu kesatuan dalam program susur mangrove di kawasan wisata hutan mangrove Gamtala.
Tidak itu saja masyarakat setempat turut menawarkan pesona budaya tari tarian, makan adat di rumah adat Sasadu untuk menggabungkan potensi alam dan budaya warga setempat jika dinginkan pengunjung yang ingin menyaksikan.
Saat ini setiap waktu liburan warga datang dari berbagai penjuru Halmahera Barat. Mereka tidak sekadar mandi dan berendam di air panas. Mereka juga ikut menyusuri kawasan hutan mangrove yang lebat sambil berswa foto di atas jembatan kayu yang panjangnya hamper satu kilometer itu.
Untuk menyusuri benteng, dari Gamtala bisa menggunakan body perahu bermesin tempel membutuhkan waktu 1,5 jam dari Gamtala melewati sungai Banyo Sau.
Saat menyusuri kawasan mangrove Gamtala melihat dari dekat begitu pentingnya potensi desa ini dilindungi. Sumber mata air Banyo Sau berada hanya kurang lebih 50 meter dari Desa Gamtala. Di bagian Barat desa tepatnya di ujung kampung sumber mata air ini telah dibuatkan sebuah kolam besar berukuran sekira 50×75. Kolam besar itu merupakan mata air yang telah dilindungi. Warga setempat menyebutnya dengan Balen Lasa atau tempat mandi dengan penanda pohon langsat.
Selain menjadi tempat wisata, di kolam besar ini jadi tempat bersandarnya perahu warga. Perahu perahu bermesin tempel ini selain dipakai mencari ikan juga sebagai alat transportasi ketika pengunjung mau pakai untuk susur mangrove dan benteng. Tiap perahu bisa disewa Rp250 ribu.
Tak jauh dari kolam besar itu ada dua sumber mata air yakni hangat dan panas. Dengan demikian secara keseluruhan ada tiga sumber mata air bertemu di satu sungai namanya Banyo Sau. Sungai Banyo Sau ini mengalir dan akan bertemu sungai besar Lako Akelamo yang selanjutnya menuju muara sungai.
“Dulu ketika akses transportasi keluar masih tertutup, alur sungai ini dimanfaatkan warga untuk akses ke Ternate dan kampung lainnya dengan memanfatkan perahu. Ketika warga mau menjual hasil kebun berupa kopra maupun pangan local mereka manfaatkan sungai ini masuk ke luar desa.
Setelah tahun 2000 an ketika akses jalan sudah bagus pilihan transportasi yang disediakan dari dan ke Ternate sudah beragam. Saat ini tersisa warga memanfaatkan sungai ini untuk turun melaut atau mengunjungi sanak family di kampung pesisir di kecamatan Sahu Halmahera Barat.
Lalu bagaimana dengan mangrovenya? Ternyata wilayahnya cukup luas mencapai 10 ribu hektar. Ini jika dihitung sampai ke kawasan pesisir pantai.
Di dekat kawasan yang telah ditata menjadi area susur mangrove, terlihat beberapa jenis pohon mangrove berdiri menjulang. Tidak itu saja di tepi sungai yang lebarnya tak sampai 5 meter terlihat pohon nipah menghiasi sepanjang sungai.
Kaya Beragam Jenis Mangrove
Potensi mangrove sendiri sesuai hasil identifikasi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Uiversitas Khairun Ternate bersama Mapala Pecinta Alam Pesisir FPIK yang dikerjasamakan dengan Pemerintah Desa Gamtala, menemukan ada beberapa jenis mangrove tumbuh di kawasan wisata ini. Ada Alanthus ilicifolius L dengan nama local rawi, jeruju hitam, daruyu dan darulu. Sonneratia caseolaris atau nama lokalnya posi-posi. Nypa fruticans. orang Maluku Utara mengenalnya dengan bobo, Avicennia alba Bl nama lokalnya fika fika atau api api. Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera sexangular, Rhizopra apiculaata atau pohon soki. Xyilocarpus granatum Koen atau nama localnya Kabi Mageso, Aerostichum speciosum Wild nama lokalnya Nyiud atau piai lasa. Ada juga Pandanus tectorius atau orang Maluku Utara mengenalnya dengan buro buro. Ragam jenis mangrove di atas menghiasi sebagian besar kawasan mangrove di Gamtala mulai dari yang telah dikelola menjadi asset wisata hingga yang belum dikelola
“Dulu sebelum ditetapkan menjadi desa wisata kawasan mangrove ini banyak dirambah. Hutan mangrove ini dieksploitasi untuk berbagai kepentingan terutama untuk bisnis kayu bakar maupun kebutuhan rumah tangga lainnya,” ,” jelas Nelson Liot Sekretaris Pokdarwis Banyo Sau.
Nelson akui eksploitasi mangrove memang massal terjadi. Namun sejak adanya penetapan Gamtala sebagai desa wisata, perlahan lahan eksploitasi mangrove mulai dikurangi. DIakui perambahan masing sering terjadi. Penebangan mangrove dan perusakan sering terjadi. Hanya saja karena upaya persuasive dan sosialisasi tetap dilakukan guna memberikan penyadaran tentang betapa pentingnya hutan mangrove bagi kelangsungan hidup manusia. Selain itu kata dia, terpenting adalah upaya perlindungan menjaga mangrove sebagai tempat hidup berbagai biota serta bertelurnya ikan. Dia bilang perambahan hutan mangrove ini butuh intervensi dari pemerintah membantu menekan perambahan ke kawasan hutan mangrove dengan imbauan mengginakan papan larangan.
“Kita sangat butuh peran pemerintah memasang berbagai papan pengumuman larangan menebang mangrove di kawasan hutan dan pesisir yang telah dilindungi. Dengan begitu bisa membantu menekan adanya aktivitas warga di luar desa Gamtala,” jelas Nelson.
Apalagi tema yang diusung Desa Gamtala ini adalah wisata jasa lingkungan, budaya dan edukasi, maka asset mangrove ini harus dijaga dan dilindungi. Kawasan wisata ini nanti bisa menjadi tempat belajar siswa jika ingin mempelajari mangrove dan seluk beluknya. Mereka bisa datang ke sini mengamati mangrove dan berbagai bioata di dalamnya seperti jenis burung.
Untuk upaya perlindungan, warga meminta ada intervensi pemerintah terutama pihak dinas kehutanan membuat plang larangan jangan sampai ada lagi perambahan maupun alih fungsi. Jika terjadi demikian nanti dampaknya dirasakan masyarakat. “Kami tidak mau ada penebangan atau alihfungsi lahan mangrove. Karena kami sadar hutan mangrove menjadi benteng perlindungan bagi desa terutama jika ada bencana tsunami. Mangrove yang mengelilingi desa ini adalah benteng dan hal itu sudah disadari masyarakat ,” kata Ketua Pokdarwis Gamtala Kramel Sowo.
Memang katanya pihak desa tetap melakukan pencegahan agar tidak terjadi penebangan dan terjadi alih fungsi. Hanya saja kadang kala ada orang tidak bertanggung jawab masih melakukan hal-hal yang bersifat merusak. Hal ini dibutuhkan ada intervensi pemerintah. Tujuannya perlindungan itu mengikat semua masyarakat. Saat ini masih ditemukan ada perambahan bukan hanya masyarakat desa Gamtala tetepi juga dari desa sekitarnya. Adanya intervensi dari pemerintah itu akan memberikan warning kepada semua pihak.
“Kita alami kesulitan jika perambahnya dari luar desa Gamtala. Untuk masyarakat desa Gamtala karena ada sosialisasi manfaat hutan mangrove terus menerus membuat mereka mulai sadar ,” imbuhnya.
Regulasi Pengelolaan Mangrove dan Pesisir
Halmahera Barat adalah satu-satunya Kabupaten di Maluku Utara yang telah menginisiasi lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Barat Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terintegras dan Berkelanjutan.
Daerah ini memiliki desa di wilayah pesisir dan pedalaman. Berbeda dengan kabupaten lainnya di Maluku Utara. Rata rata memiliki desa di daerah pesisir. Halmahera Selatan misalnya memiliki desa pesisir dan pulau terbanyak namum sejauh ini belum memiliki regulasi daerah yang mengatur pesisir dan pulau- pulau kecil. Halmahera Barat yang pertama kali menggolkan Perda Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Untuk Provinsi Maluku Utara nanti 2018 lalu baru dihasilkan Perda Rencana Zonasi Wilayah Peisisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K), Perda nomor 2 tahun 2018.
Adanya Perda ini maka sejak 8 tahun lalu, sudah dilakukan gerakan perlindungan mangrove dan terumbu karang di kabupaten Halmahera Barat. Halmahera Barat memiliki wilayah pesisir dan luas lautan mencapai 11.636,42 km.
Berdasarkan naskah dokumen Perda Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terintegras dan Berkelanjutan menjelaskan mengingat pentingnya ekosistim wilayah pesisir, kemudian dicanangkan Perikanan dan Kelautan sebagai salah satu program unggulan, sekaligus menjamin pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir yang lestari. Sementara di wilayah pesisir Halmahera Barat juga sedang menghadapi degradasi lingkungan.
Ancaman kerusakan ini berasal dari kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan, baik untuk kepentingan ekonomi maupun akibat kekurang pahaman. Akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi di wilayah pesisir atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang tidak dukung peraturan itu sering menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir. Sementara kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dan berbasis masyarakat relative kurang, menjadi penghalang dalam pembangunan kawasan pesisir dan keberhasilan program unggulan perikanan dan kelautan Halmahera Barat. Karena itu pula maka diinisiasi hingga lahirnya Perda No 2/2012 tersebut. Hasil dari Perda ini hutan mangrove yang ada di Halmahera Barat tidak hanya diberi perlindungan khusus tetapi turut dimanfaatkan menjadi kawasan wisata. Hutan mangrove Gamtala menjadi cotothnya. Saat ini di kawasaan hutan mengrove ini telah dikembangkan berbagai sarana prasarana untuk mendukung pemanfaatan jasa lingkungan dari hutan mangrove yang ada.
Untuk pengembangan asset wisata sebagai desa yang telah ditetapkan menjadi desa wisata, saat ini pemerintah Kabupaten Halmahera Barat telah membantu membangun sejumlah sarana penting. Ada puluhan gazebo, membangun jembatan kayu yang berfungsi untuk susur mangrove, hingga membangun sarana diketiga mata air Gamtala. Sarana sarana ini diharapkan ikut membantu pemanfaatan kawasan mangrove ini menjadi icon wisata di Halmahera Barat.
Penetapan kawasan hutan mangrove Gamtala sekaligus sebagai desa wisata ini berdasarkan potensi yang dimiliki. Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Barat dengan beberapa pertimbangan menetapkan kawasan ini menjadi wilayah ekowisata yang menggabungkan menjadi tempat Pendidikan serta wisata budaya yang biasa disebut dengan ekoeduwisata .
Kepala Dinas Pariwasata kabupaten Halmahera Barat Feny Kiat bilang, untuk kawasan mangrove merupakan wilayah instansi kehutanan karena berhubungan dengan masalah konservasi. Namun demikian setelah ditetapkan menjadi kawasan wisata, pihaknya juga punya kepentingan untuk mengembangkannya menjadi asset wisata. Karena itu pihaknya mengembangkan kawasan wisata ini dengan focus pada ekowisata dan Pendidikan. Harapannya baik sekolah dari tingkat SD hingga SMA dapat memanfaatkan kawasan wisata ini menjadi tempat belajarterutama ketika melakukan praktek atau belajar tentang mangrove dan ekosistemnya.
“Jadi dari lokasi wisata ini tidak hanya dilakukan susur mangrove dan menikmati alamnya tetapi juga menjadi tempat belajar untuk mempelajari mangrove secara lebih mendalam di lapangan,” jelas Feni.
Saat ini berbagai fasilitas wisata telah dibangun dan Sebagian besar sudah selesai. Harapannya keberadaan fasilitas pendukung wisata ini, mampu mendongkrak pengunjung untuk datang menikmati hutan mangrove ini dengan beberapa asset yang ada di dalamnya. Sebenarnya tempat wisata ini adalah upaya menciptakan ruang baru bagi pariwisata dan pendidikan. Jadi temopat ini akan menjadi ruang belajar baru tidak hanya di ruang kelas tetapi juga di alam untuk lebih mengenal alam dan lingkungannya. Hal seperti ini akan lebih menginspirasi. Untuk menyiapkan masyarakat yang ada di kawasan wisata ini dengan membentik kelompok Pokdarwis. Mereka yang mengelola dan mengembangkan tempat wisasta ini dibantu Dinas Pariwisata. I
ni bagian dari komitmen mengembangkan pariwisata berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Mereka tidak dilepas begitu saja tetapi ada pendampingan dan pembinaan untuk mengelola kawasan wisata ini. Masyarakat punya kemampuan terbatas untuk manajemen pengelolaan pariwisata. Karena itu butuh didampingi dinas pariwisata. Pokdarwis ini diberi penguatan dan penigkatan kapasitas dengan pelatihan dan workshop salah satu misalnya dilatih menjadi pemandu wisata alam serta pelatihan tata kelola dan manajemen pariwisata serta home stay. Untuk penguatan potensi budaya yakni keragaman budaya masyarakat Sahu. Nanti kita buat model wisata yang terintegrasi antara alam hutan mangrove budaya dan benteng sebagai sebuah asset sejarah penting. Selain dengan masyarakat ada juga komunitas anak muda. Sistem pengelolaanya oleh desa dan nanti ada bagi hasil dengan kabupaten.(*)
CEO Kabar Pulau