Home / Etniq

Rabu, 15 Desember 2021 - 08:20 WIT

O Hongana Manyawa Penjaga Bumi Halmahera

Terdesak  Tambang  hingga Stigma Buruk  

Kelompok masyarakat adat O Hongana Manyawa atau sebutan lainnya, Suku  Tobelo Dalam,   Tobelo Forest atau  sebagian orang masih menyebut  Togutil yang mendiami hutan  Pulau Halmahera, kondisinya  sangat terancam akibat masifnya industri ekstraksi tambang.  

Tidak itu saja mereka juga menghadapi stereotype    public sebagai salah satu kelompok masyarakat yang jahat,  pembunuh  dan banyak stemple buruk lainnya.

Ketergantungan dengan hutan dan tidak berhubungan dengan dunia luar menambah stigma turun temurun di masyarakat   masyarakat ini    tuna budaya hingga berbagai  label tak manusiawi.

Sebagai kelompok masyarakat yang menjadikan hutan sebagai rumah kehidupan, investasi tambang besar-besaran di Halmahera Maluku Utara saat ini ikut menggusur sumber kehidupan mereka. Dari sungai yang tercemar, daerah buruan yang mengecil hingga perebutan  ruang kapling   hutan  dengan masyarakat  luar   menjadi masalah serius. Sayangnya  soal ini  belum menjadi konsen berbagai pihak.

Hal ini   mengemuka saat  pertemuan  Tim Komnas HAM RI bersama  peneliti, aktivisi LSM dan media  di kantor redaksi  Jala Malut Group   Kelurahan Toboko Kota Ternate  belum lama ini. Dalam obrolan bertajuk ‘Diskusi Pemetaan Ancaman dan Diskriminasi Terhadap Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam di Provinsi Maluku Utara berbagai hal terungkap.

Dari stigma publik  public tradisi  menjaga bumi dan  hutan hingga kekayaan budaya dan penghargaan terhadap orang luar atau yang biasa mereka sebut O Berera Manyawa.

Kehadiran Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM   ke Maluku Utara,  sebagai  tindak lanjut   laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara,  terkait dugaan diskriminasi  kelompok dalam sejumlah kasus pembunuhan yang diarahkan pada kelompok ini.     

AMAN dalam laporannya   beberapa waktu lalu ke Komnas HAM, menyebutkan bahwa kasus pembunuhan di hutan Halmahera Tengah   serta beberapa kasus sebelumnya di Halmahera Timur  mengarahkan  tudingan   pembunuhnya   masyarakat O hongana Manyawa. Hal ini bagi AMAN menunjukan diskriminasi kelompok baik oleh   masyarakat luar maupun negara.

O Hongana Manyawa adalah penjaga lebatnya hutan Halmahera

Tim  diketuai Nurjaman, Arief Rahman Thamrin dan  Nina Cahyo  tersebut  selain  meminta masukan  berbagai pihak  juga bertemu  polisi  dan pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara terkait kasus pembunuhan yang terjadi baru baru ini.

Sekadar diketahui, pembunuhan  di hutan Halmahera  20 Maret 2021 lalu, berawal  ketika  7   warga  masuk  hutan  Halmahera Tengah. Dari informasi yang berkembang mereka  akan mendulang emas di aliran Sungai Goanle, Patani Timur, Halmaera Tengah. Kawasan ini adalah bekas operasi perusahaan kayu yang ditengarai ada emasnya.     Umumnya  warga masuk hutan itu kalau bukan ambil kayu gaharu,   buah  pala hutan,  atau mendulang  emas. Termasuk saat ini yang lagi ramai mengkapling lahan hutan dan nanti dijual ke perusahaan tambang nikel. 

Dalam perjalanan ke hutan itu mereka diserang orang tak dikenal  hingga 3 orang meninggal dunia.     Mereka yang diserang itu adalah  H. Masani (55 tahun) warga  Desa Masure  meninggal Dunia, Yusuf Kader (40 tahun) meninggal dunia. Risno (40 tahun) juga meninggal dunia sementara Jahid Hamid (40 tahun) Martawan Abdullah  (45 tahun) Anto Latani (45 tahun) warga Desa Batu Dua bersama  Kopda Zen Tehuayo (35 tahun), anggota Koramil 1512/02 Kecamatan Patani lolos dari kejadian maut tersebut.

Hingga kini pihak kepolisian belum mampu membuka tabir di balik peristiwa  tersebut, apakah dilakukan kelompok O Hongana Manyawa  atau  pihak lain.

Stigma ini juga muncul karena   meninggalnya warga di hutan itu diserang menggunakan panah dan  parang,  di mana alat ini biasa digunakan  masyarakat  adat O  Hongana Manyawa dalam berburu.

Dalam diskusi itu Nurjaman  bilang, pihaknya mengumpulkan informasi, data, dan fakta lebih dulu serta mendatangi Polres Halmahera Tengah untuk memastikan kesimpulan polisi soal pembunuhan di hutan Halmahera itu.

“Apakah betul polisi melakukan proses pemeriksaan sesuai prosedur, apakah betul ada keterangan saksi  itu apa saja. Ada keterangan bukti  itu apa saja. Ada petunjuk, petunjuk apa itu dan saksi ahli menerangkan apa” kata Nurjaman

Apabila polisi menyebut tersangka adalah orang Togutil, tanpa merunut prosedur, maka sematan atas dugaan pembunuhan itu terdapat unsur  diskriminasi. Orang Togutil yang disebut jahat, kasar dan suka membunuh merupakan stigma yang  merupakan bagian dari konsep diskriminasi ras, dan itu sangat berbahaya.  

Karena itu Komnas HAM meminta dalam penetapan tersangka perlu dilandasi prinsip-prinsip HAM, apalagi berkaitan dengan konsep masyarakat adat. Ia lantas meminta polisi berhati-hati menetapkan status tersangka, terutama dalam memberikan keterangan yang tanpa disadari memberi framing hingga melahirkan stigma.  Hal ini akan berdampak pada masyarakat adat. “Basis prinsipnya adalah masyarakat adat itu harus dihormati, konstitusi sudah mengatur dan pemerintah harus memiliki keberpihakan kepada mereka,” tegasnya.

Industri tambang mulai masuk dan mendesak daerah jelajah warga O Hongana Manyawa makin mengecil foto M Ichi

Syafrudin Abdurahman Peneliti  Suku O Hongana  Manyawa yang juga Dosen Program Studi Antropologi Universitas Khairun Ternate  memaparkan bahwa,  anggapan  dan stigma atas kejadian pembunuhan yang diarahkan kepada kelompok O Hongana Manyawa ini tak berdasar. Pengalamannya  bertahun tahun  hidup  meneliti mereka,   sangat  tahu tradisi dan kehidupan yang mereka  jalankan.  

Baca Juga  Jumlah Pulau di Malut Masih Diperdebatkan

Soal sebutan  Togutil misalnya  mereka  di dalam hutan tidak paham kalau mereka disebut Togutil. Yang mereka tahu   orang yang tinggal di hutan atau biasa menyebut dirinya O Hongana Manyawa

Ada tiga kategori kelompok. Masih nomaden,   sudah menetap  dan  menetap sementara. Menetap  sementara  kata Syafrudin  karena mereka tiggal di suatu  kawasan, satu atau dua tahun.  Jika ada kejadian luar biasa   kematian  atau  wabah penyakit kemudian mereka berpindah. Sementara yang hidup nomaden biasanya  hidup satu dua bulan di satu titik  atau kawasan hutan kemudian pindah.

Kelompok ini juga selalu menerima stereotipe jelek, jahat pembunuh  hingga dianggap tuna budaya atau orang tidak berbudaya.

Padahal katanya, semua manusia yang hidup itu pasti berbudaya. Stigma lainnya  missal orang   jarang mandi temperamen dan semua hal buruk.    

Soal stigma sebagai pembunuh kata dia sebenarnya   mereka membunuh itu  karena kejadian luar biasa dan  sesama mereka. Bukan dengan orang luar karena ada hal  yang cukup  serius dilanggar. 

Berkaca pada  kasus pembunuhan tahun 2013 lalu jika  orang O Hongana Manyawa  yang lakukan maka ketika ada petugas masuk mencari pelaku,  pasti tidak ada orang di kawasan itu akan lari.  Ternyata saat petugas datang  ada  yang minta rokok  dan lain sebagainya. Mereka malah  bingung dengan kejadian  tersebut.   “Membunuh itu karena ada kejadian luar biasa. Misalnya karena  merampas  pasangan  atau istri   orang atau melanggar janji serta adat dan tradisi. Saling bunuh juga  antar kelompok mereka sendiri  bukan dengan orang luar,” cecar Syafrudin.

Di komunintas ini sering kali ada persaingan  sehingga saling serang salah satunya rebutan perempuan  atau pelanggaran adat  antar  kelompok.

Dalam hala alat saling serang yang digunakan berbeda dengan  orang luar.   Mereka membuat panah dengan   satu mata panah dan dua mata panah.

Dalam kasus Bokum dan Nuhu yang   dipenjara karena kasus pembunuhan di Waci  sampai sekarang sulit dibuktikan secara pasti mereka pembunuhnya atau bukan.  

“Orang luar (O Berera Manyawa) mencurigai  mereka. Mereka  juga mewaspadai  orang luar. Secara interaksi sosial sebenarnya ada tekanan,”kata Syafrudin.

Berburu di hutan adalah cara kelompok masyarakat O Hongana Manyawa memenuhi kebutuhan hidupnya foto Opan Jacky

Soal   sebaran  O Hongana Manyawa  ada di tiga  daerah  Halmahera Tengah,  Halmahera Timur dan Tidore Kepulauan. Dari tiga  lokasi sebaran  terbesar ada di Halmahera Timur  dengan 14 titik kawasan, Halteng 6 kawasan dan Kota Tidore Kepulauan 1 kawasan  di kawasan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata.   Mereka   pecahan  kelompok  Akejira di Halmahera Tengah.   

Tambang Bentuk Penjinakan  

Saiful Majid dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang melakukan  penelitian khusus kelompok O Hongana Manyawa selama 4 tahun  bilang,   membicarakan   bentuk  aslinya, untuk kelompok O Hongana Manyawa  banyak  dilakukan politik penjinakan.  Penjinakan   itu karena adanya  industri pertambangan.   Itu    yang nampak. Soal tambang ini nanti  ujung ujungnya negara berbenturan  dengan orang  O Hongana Manyawa.

“Saya selalu  perangi stigma yang disematkan pada kelompok O Hongana  Manyawa  sebagai pembunuh itu tidak benar.  Di antara mereka   saling membunuh dan saling menyerang jka  ada  tradisi  yang dilanggar.  Mereka juga membunuh karena merampas  atau magora  istri orang lain.  Hal ini bisa terjadi karena  sebaran  mereka di Halmahera itu perempuannya  sangat sedkit.  Dari 21 kelompok atau mata rumah,  terbanyak  di Halmahera Timur dengan 14 mata rumah.   Halteng   6 mata rumah   dan  1 mata rumah  di  Payahe  Kota Tidore Kepulauan.  

“Tempat tempat mereka  saya sudah telusuri kecuali di kawasan Dote Weda  tidak bisa sampai ke sana karena  istri penunjuk jalan  saya,  dirampas  orang Dote.   Banyak contoh orang luar mencari hasil kayu gaharu dan bertemu mereka  juga tetapi tidak ada tindakan apa pun. Di Patani ada pala hutan  dan saat mereka mencari pala tidak di apa apakan.   Contoh kasus lainya  karyawan pengebor eksplorasi tambang di perusahaan Weda Bay Nikel bertemu mereka tidak pernah dibunuh.    Bahkan  dajak  bicara bahkan tidur di camp perusahaan. Artinya mereka membunuh   jika  ada tradisi yang dilanggar,”katanya.

Begitu juga jika mereka membunuh ada identitasnya dan jujur mengakui   karena   membunuh sebagai bagian  dari kehormatan diri.

Masyarakat adat Tobelo Dalam di hutan Halmahera memanfaatkan daun woka livestonia Sp menjadi alat makan dan masak foto Opan Jacky

Setiap  membunuh  ada kode fisiknya. Ada ikatan rambut (konde).  “Penunjuk jalan saya saat riset  bernama Alekan   miliki  6 konde di kepala. Itu artinya sudah membunuh enam orang  di dalam hutan. Dia mengakui  siapa saja dan dimana saja dia bunuh antar sesame kelompok mereka.

Jika ada kasus  terjadi  melibatkan  O Hongana Manyawa itu karena ada sebabnya. Misalnya masalah adat, perempuan  atau merampas barang milik mereka.     Karena itulah stigma O Hongana Manyawa sebagai  orang  jahat  dan pembunuh itu harus dihilangkan.   

Baca Juga  FKIP Unkhair dan Warga Buat Peta Jalur Evakuasi Bencana Tsunami

Penjaga Bumi Halmahera yang  Tersisih

Salah satu hal yang tidak bisa dipungkiri dengan semakin tersisihnya kelompok O  Hongana Manyawa dari ruang hidupnya adalah  maraknya industri tambang.

Saiful bilang salah satu bentuk politik penjinakan yang dilakukan  itu karena masalah tambang yang kemudian menjadikan ruang hidup  mereka di belantara Halmahera semakin sempit.  Mereka tersisih akibat ulah dua  perusahaan besar.  Yakni PT  Weda Bay Nikel   yang saat ini sahamnya dibeli PT Indonesia Weda bay Industrial Park (IWIP)  dan PT Tekindo. Dari 6 titik rumah atau kelompk O Hongana Manyawa Halmahera Tengah ruang hidupnya   semakin terdesak.  Mereka adalah  kelompok Mein dan Ake Sangaji terkurung  PT Tekindo sebuah perusahaan nikel. Terbaru ada lagi perusahaan nikel asal Rusia PT Position  yang juga memiliki  izin konsesi di daerah Ake Sangaji, akan semakin menghabiskan ruang hidup O Hongana Manyawa   Ake Sangaji.   

Sementara PT Weda Bay   masuk  ke kawasan hidup kelompok Ohongana Manyawa Tofublewen, Kao Rahae,   Ake Jira  satu dan Ake Jira  Dua. Karena sudah dieksploitasi kawasan hidup mereka,  ada beberapa  orang saat ini direkrut masuk sebagai Satpam perusahaan.  Dua perusahaan  tambang nikel ini  sudah  mengurung kawasan hidup  dan ikut merusak  badan sungai   yang sebenarnya mengancam  kehidupan  O Hongana Manyawa.

“Hidup kelompok ini tidak bisa jauh dari sungai.  Saat PT Tekindo beroperasi telah menghancurkan  sungai sungai yang menjadi tempat hidup mereka.  

Banyak izin perusahaan yang  masuk dan akan beroperasi di  Halmahera Tengah. Hal ini  akan membuat mereka makin tersisih,” kataya.

Kelompok ini bisa hidup  memperoleh  makanan tergantung hutan.   Sementara hutan makin mengecil akhirnya ada yang harus meminta makan ke perusahaan jika makanannya habis.  

“Lima bulan lalu saya di hutan, bertemu saudara saudara di hutan dan  mereka menyampaikan  bahwa  ada orang yang suruh mereka  mencari babi dan jual ke PT IWIP. Mereka   lalu bertemu. Itu artiya orang luar juga berebut  makanan mereka,” jelas Saiful.  

Aktivitas Tambang di Halmahera Tengah foto M KIchi

Intinya kata Saiful  meski tersisih oleh perusahaan mereka tidak pernah membunuh orang perusahaan.  

Dia bilang  saat ini menangkap hewan buruan  juga  makin  sulit. Padahal  makan daging adalah kebiasaan mereka  disbanding ikan dan sayur. Karena itu ketika hutan tempat perburuan makin sempit    mereka semakin tersisih.  

Dia juga bilang  O Hongana Manyawa menjaga bumi dan hutan Halmahera itu nyata. Dalam mengelola hutan saja membagi hutan untuk industri (Kongana),   hutan lindung (Hongana)  dan hutan  yang disakralkan  (raja maamoko).   

Dalam  pandangan  Ohongana Manyawa  hutan itu rumah.  Karena itu merawat hutan  sama dengan merawat rumah. Di situ sumber makanan,   air dan tempat melanjutkan kehidupan turun temurun.

Dalam kosmologi orang Ohongana Manyawa penghargaan  mereka terhadap hutan sungai dan bambu begitu tinggi.   Hutan   sebagai rumah kehidupan  menjadi  tempat mencari makanan.  Hutan juga jadi tempat hidup dan mati mereka. Karena itu dalam pembagian hutan   ada untuk urusan hidup dan mati, ada hutan  untuk pangan  atau industri, ada hutan lindung dan hutan disakralkan. Hutan yang disakralkan itu  menurut Saiful  karena di hutan   itu   menjadi tempat roh para leluhur  bersemayam.  Di hutan itulah  ketika mereka meninggal ditempatkan mayatnya.  Hutan yang disakralkan itu  juga tidak bisa dimasuki.

Sementara  sungai menjadi  tempat  menjalani hidup. Orang O Hongana Manyawa  mengatur tempat tinggal,  tetap sementara atau nomaden, selalu memilih  daerah dekat sungai karena  menjadi sumber  air untuk kebutuhan. Sungai juga menjadi tempat  penting  proses melahirkan turunan ayau bersalin.

Kosmologi O Hongana Manyawa juga sangat menghargai hutan bambu   symbol alat   kehidupan. Bambu adalah bahan penting  alat makan, masak  dan papan. Bambu juga berfungsi untuk membagun rumah.  Karena itu  O Hongana Manyawa begitu menghargai bambu air.

“Ketika ekstraksi tambang masuk tiga sumber kehidupan    mereka ini  ikut dirusak, hutan digusur sungai dirusak, bambu juga tergusur  yang sama artinya membunuh kehidupan mereka secara tidak langsung,” imbuhnya.  

O Hongana Manyawa juga tidak mengenal kepala suku atau kepala adat. Yang ada adalah orang yang dituakan atau dihormati dikenal dengan dimono. Karena  tidak ada  ketua adat rasa memiliki hutan mereka lemah. Ketika masuk orang luar atau korporasi menggusur, mereka tidak berlawan dan lebih memilih berpindah atau menghindar.  

Saat ini hutan tidak hanya tergerus koroprasi tetapi aktivitas orang luar mengkapling  tanah hutan   wilayah jelajah  O Hongana Manyawa juga massive. Setelah dikapling  lalu dijual ke perusahaan tambang. Praktek orang luar    terjadi di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. (*)  

Share :

Baca Juga

Etniq

Punahnya Sumber Daya Genetik Pangan Orang Tobaru

Etniq

Tradisi Orang Tobaru Tanam Padi Lokal

Etniq

Sopik, Cara Orang Makean Tahane Jadikan Laut Sumber Keadilan

Etniq

Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat

Etniq

Perempuan Tobaru Kembangkan Pangan Lokal

Etniq

Hutan Orang Tobaru Terus Menyusut

Etniq

Orang Tobaru dan Tradisi Menanam

Etniq

Hilangnya Ruang Hidup Warga Adat Sawai Gemaf