Terdesak Tambang hingga Stigma Buruk
Kelompok masyarakat adat O Hongana Manyawa atau sebutan lainnya, Suku Tobelo Dalam, Tobelo Forest atau sebagian orang masih menyebut Togutil yang mendiami hutan Pulau Halmahera, kondisinya sangat terancam akibat masifnya industri ekstraksi tambang.
Tidak itu saja mereka juga menghadapi stereotype public sebagai salah satu kelompok masyarakat yang jahat, pembunuh dan banyak stemple buruk lainnya.
Ketergantungan dengan hutan dan tidak berhubungan dengan dunia luar menambah stigma turun temurun di masyarakat masyarakat ini tuna budaya hingga berbagai label tak manusiawi.
Sebagai kelompok masyarakat yang menjadikan hutan sebagai rumah kehidupan, investasi tambang besar-besaran di Halmahera Maluku Utara saat ini ikut menggusur sumber kehidupan mereka. Dari sungai yang tercemar, daerah buruan yang mengecil hingga perebutan ruang kapling hutan dengan masyarakat luar menjadi masalah serius. Sayangnya soal ini belum menjadi konsen berbagai pihak.
Hal ini mengemuka saat pertemuan Tim Komnas HAM RI bersama peneliti, aktivisi LSM dan media di kantor redaksi Jala Malut Group Kelurahan Toboko Kota Ternate belum lama ini. Dalam obrolan bertajuk ‘Diskusi Pemetaan Ancaman dan Diskriminasi Terhadap Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam di Provinsi Maluku Utara berbagai hal terungkap.
Dari stigma publik public tradisi menjaga bumi dan hutan hingga kekayaan budaya dan penghargaan terhadap orang luar atau yang biasa mereka sebut O Berera Manyawa.
Kehadiran Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM ke Maluku Utara, sebagai tindak lanjut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, terkait dugaan diskriminasi kelompok dalam sejumlah kasus pembunuhan yang diarahkan pada kelompok ini.
AMAN dalam laporannya beberapa waktu lalu ke Komnas HAM, menyebutkan bahwa kasus pembunuhan di hutan Halmahera Tengah serta beberapa kasus sebelumnya di Halmahera Timur mengarahkan tudingan pembunuhnya masyarakat O hongana Manyawa. Hal ini bagi AMAN menunjukan diskriminasi kelompok baik oleh masyarakat luar maupun negara.
Tim diketuai Nurjaman, Arief Rahman Thamrin dan Nina Cahyo tersebut selain meminta masukan berbagai pihak juga bertemu polisi dan pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara terkait kasus pembunuhan yang terjadi baru baru ini.
Sekadar diketahui, pembunuhan di hutan Halmahera 20 Maret 2021 lalu, berawal ketika 7 warga masuk hutan Halmahera Tengah. Dari informasi yang berkembang mereka akan mendulang emas di aliran Sungai Goanle, Patani Timur, Halmaera Tengah. Kawasan ini adalah bekas operasi perusahaan kayu yang ditengarai ada emasnya. Umumnya warga masuk hutan itu kalau bukan ambil kayu gaharu, buah pala hutan, atau mendulang emas. Termasuk saat ini yang lagi ramai mengkapling lahan hutan dan nanti dijual ke perusahaan tambang nikel.
Dalam perjalanan ke hutan itu mereka diserang orang tak dikenal hingga 3 orang meninggal dunia. Mereka yang diserang itu adalah H. Masani (55 tahun) warga Desa Masure meninggal Dunia, Yusuf Kader (40 tahun) meninggal dunia. Risno (40 tahun) juga meninggal dunia sementara Jahid Hamid (40 tahun) Martawan Abdullah (45 tahun) Anto Latani (45 tahun) warga Desa Batu Dua bersama Kopda Zen Tehuayo (35 tahun), anggota Koramil 1512/02 Kecamatan Patani lolos dari kejadian maut tersebut.
Hingga kini pihak kepolisian belum mampu membuka tabir di balik peristiwa tersebut, apakah dilakukan kelompok O Hongana Manyawa atau pihak lain.
Stigma ini juga muncul karena meninggalnya warga di hutan itu diserang menggunakan panah dan parang, di mana alat ini biasa digunakan masyarakat adat O Hongana Manyawa dalam berburu.
Dalam diskusi itu Nurjaman bilang, pihaknya mengumpulkan informasi, data, dan fakta lebih dulu serta mendatangi Polres Halmahera Tengah untuk memastikan kesimpulan polisi soal pembunuhan di hutan Halmahera itu.
“Apakah betul polisi melakukan proses pemeriksaan sesuai prosedur, apakah betul ada keterangan saksi itu apa saja. Ada keterangan bukti itu apa saja. Ada petunjuk, petunjuk apa itu dan saksi ahli menerangkan apa” kata Nurjaman
Apabila polisi menyebut tersangka adalah orang Togutil, tanpa merunut prosedur, maka sematan atas dugaan pembunuhan itu terdapat unsur diskriminasi. Orang Togutil yang disebut jahat, kasar dan suka membunuh merupakan stigma yang merupakan bagian dari konsep diskriminasi ras, dan itu sangat berbahaya.
Karena itu Komnas HAM meminta dalam penetapan tersangka perlu dilandasi prinsip-prinsip HAM, apalagi berkaitan dengan konsep masyarakat adat. Ia lantas meminta polisi berhati-hati menetapkan status tersangka, terutama dalam memberikan keterangan yang tanpa disadari memberi framing hingga melahirkan stigma. Hal ini akan berdampak pada masyarakat adat. “Basis prinsipnya adalah masyarakat adat itu harus dihormati, konstitusi sudah mengatur dan pemerintah harus memiliki keberpihakan kepada mereka,” tegasnya.
Syafrudin Abdurahman Peneliti Suku O Hongana Manyawa yang juga Dosen Program Studi Antropologi Universitas Khairun Ternate memaparkan bahwa, anggapan dan stigma atas kejadian pembunuhan yang diarahkan kepada kelompok O Hongana Manyawa ini tak berdasar. Pengalamannya bertahun tahun hidup meneliti mereka, sangat tahu tradisi dan kehidupan yang mereka jalankan.
Soal sebutan Togutil misalnya mereka di dalam hutan tidak paham kalau mereka disebut Togutil. Yang mereka tahu orang yang tinggal di hutan atau biasa menyebut dirinya O Hongana Manyawa.
Ada tiga kategori kelompok. Masih nomaden, sudah menetap dan menetap sementara. Menetap sementara kata Syafrudin karena mereka tiggal di suatu kawasan, satu atau dua tahun. Jika ada kejadian luar biasa kematian atau wabah penyakit kemudian mereka berpindah. Sementara yang hidup nomaden biasanya hidup satu dua bulan di satu titik atau kawasan hutan kemudian pindah.
Kelompok ini juga selalu menerima stereotipe jelek, jahat pembunuh hingga dianggap tuna budaya atau orang tidak berbudaya.
Padahal katanya, semua manusia yang hidup itu pasti berbudaya. Stigma lainnya missal orang jarang mandi temperamen dan semua hal buruk.
Soal stigma sebagai pembunuh kata dia sebenarnya mereka membunuh itu karena kejadian luar biasa dan sesama mereka. Bukan dengan orang luar karena ada hal yang cukup serius dilanggar.
Berkaca pada kasus pembunuhan tahun 2013 lalu jika orang O Hongana Manyawa yang lakukan maka ketika ada petugas masuk mencari pelaku, pasti tidak ada orang di kawasan itu akan lari. Ternyata saat petugas datang ada yang minta rokok dan lain sebagainya. Mereka malah bingung dengan kejadian tersebut. “Membunuh itu karena ada kejadian luar biasa. Misalnya karena merampas pasangan atau istri orang atau melanggar janji serta adat dan tradisi. Saling bunuh juga antar kelompok mereka sendiri bukan dengan orang luar,” cecar Syafrudin.
Di komunintas ini sering kali ada persaingan sehingga saling serang salah satunya rebutan perempuan atau pelanggaran adat antar kelompok.
Dalam hala alat saling serang yang digunakan berbeda dengan orang luar. Mereka membuat panah dengan satu mata panah dan dua mata panah.
Dalam kasus Bokum dan Nuhu yang dipenjara karena kasus pembunuhan di Waci sampai sekarang sulit dibuktikan secara pasti mereka pembunuhnya atau bukan.
“Orang luar (O Berera Manyawa) mencurigai mereka. Mereka juga mewaspadai orang luar. Secara interaksi sosial sebenarnya ada tekanan,”kata Syafrudin.
Soal sebaran O Hongana Manyawa ada di tiga daerah Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Tidore Kepulauan. Dari tiga lokasi sebaran terbesar ada di Halmahera Timur dengan 14 titik kawasan, Halteng 6 kawasan dan Kota Tidore Kepulauan 1 kawasan di kawasan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata. Mereka pecahan kelompok Akejira di Halmahera Tengah.
Tambang Bentuk Penjinakan
Saiful Majid dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang melakukan penelitian khusus kelompok O Hongana Manyawa selama 4 tahun bilang, membicarakan bentuk aslinya, untuk kelompok O Hongana Manyawa banyak dilakukan politik penjinakan. Penjinakan itu karena adanya industri pertambangan. Itu yang nampak. Soal tambang ini nanti ujung ujungnya negara berbenturan dengan orang O Hongana Manyawa.
“Saya selalu perangi stigma yang disematkan pada kelompok O Hongana Manyawa sebagai pembunuh itu tidak benar. Di antara mereka saling membunuh dan saling menyerang jka ada tradisi yang dilanggar. Mereka juga membunuh karena merampas atau magora istri orang lain. Hal ini bisa terjadi karena sebaran mereka di Halmahera itu perempuannya sangat sedkit. Dari 21 kelompok atau mata rumah, terbanyak di Halmahera Timur dengan 14 mata rumah. Halteng 6 mata rumah dan 1 mata rumah di Payahe Kota Tidore Kepulauan.
“Tempat tempat mereka saya sudah telusuri kecuali di kawasan Dote Weda tidak bisa sampai ke sana karena istri penunjuk jalan saya, dirampas orang Dote. Banyak contoh orang luar mencari hasil kayu gaharu dan bertemu mereka juga tetapi tidak ada tindakan apa pun. Di Patani ada pala hutan dan saat mereka mencari pala tidak di apa apakan. Contoh kasus lainya karyawan pengebor eksplorasi tambang di perusahaan Weda Bay Nikel bertemu mereka tidak pernah dibunuh. Bahkan dajak bicara bahkan tidur di camp perusahaan. Artinya mereka membunuh jika ada tradisi yang dilanggar,”katanya.
Begitu juga jika mereka membunuh ada identitasnya dan jujur mengakui karena membunuh sebagai bagian dari kehormatan diri.
Setiap membunuh ada kode fisiknya. Ada ikatan rambut (konde). “Penunjuk jalan saya saat riset bernama Alekan miliki 6 konde di kepala. Itu artinya sudah membunuh enam orang di dalam hutan. Dia mengakui siapa saja dan dimana saja dia bunuh antar sesame kelompok mereka.
Jika ada kasus terjadi melibatkan O Hongana Manyawa itu karena ada sebabnya. Misalnya masalah adat, perempuan atau merampas barang milik mereka. Karena itulah stigma O Hongana Manyawa sebagai orang jahat dan pembunuh itu harus dihilangkan.
Penjaga Bumi Halmahera yang Tersisih
Salah satu hal yang tidak bisa dipungkiri dengan semakin tersisihnya kelompok O Hongana Manyawa dari ruang hidupnya adalah maraknya industri tambang.
Saiful bilang salah satu bentuk politik penjinakan yang dilakukan itu karena masalah tambang yang kemudian menjadikan ruang hidup mereka di belantara Halmahera semakin sempit. Mereka tersisih akibat ulah dua perusahaan besar. Yakni PT Weda Bay Nikel yang saat ini sahamnya dibeli PT Indonesia Weda bay Industrial Park (IWIP) dan PT Tekindo. Dari 6 titik rumah atau kelompk O Hongana Manyawa Halmahera Tengah ruang hidupnya semakin terdesak. Mereka adalah kelompok Mein dan Ake Sangaji terkurung PT Tekindo sebuah perusahaan nikel. Terbaru ada lagi perusahaan nikel asal Rusia PT Position yang juga memiliki izin konsesi di daerah Ake Sangaji, akan semakin menghabiskan ruang hidup O Hongana Manyawa Ake Sangaji.
Sementara PT Weda Bay masuk ke kawasan hidup kelompok Ohongana Manyawa Tofublewen, Kao Rahae, Ake Jira satu dan Ake Jira Dua. Karena sudah dieksploitasi kawasan hidup mereka, ada beberapa orang saat ini direkrut masuk sebagai Satpam perusahaan. Dua perusahaan tambang nikel ini sudah mengurung kawasan hidup dan ikut merusak badan sungai yang sebenarnya mengancam kehidupan O Hongana Manyawa.
“Hidup kelompok ini tidak bisa jauh dari sungai. Saat PT Tekindo beroperasi telah menghancurkan sungai sungai yang menjadi tempat hidup mereka.
Banyak izin perusahaan yang masuk dan akan beroperasi di Halmahera Tengah. Hal ini akan membuat mereka makin tersisih,” kataya.
Kelompok ini bisa hidup memperoleh makanan tergantung hutan. Sementara hutan makin mengecil akhirnya ada yang harus meminta makan ke perusahaan jika makanannya habis.
“Lima bulan lalu saya di hutan, bertemu saudara saudara di hutan dan mereka menyampaikan bahwa ada orang yang suruh mereka mencari babi dan jual ke PT IWIP. Mereka lalu bertemu. Itu artiya orang luar juga berebut makanan mereka,” jelas Saiful.
Intinya kata Saiful meski tersisih oleh perusahaan mereka tidak pernah membunuh orang perusahaan.
Dia bilang saat ini menangkap hewan buruan juga makin sulit. Padahal makan daging adalah kebiasaan mereka disbanding ikan dan sayur. Karena itu ketika hutan tempat perburuan makin sempit mereka semakin tersisih.
Dia juga bilang O Hongana Manyawa menjaga bumi dan hutan Halmahera itu nyata. Dalam mengelola hutan saja membagi hutan untuk industri (Kongana), hutan lindung (Hongana) dan hutan yang disakralkan (raja maamoko).
Dalam pandangan Ohongana Manyawa hutan itu rumah. Karena itu merawat hutan sama dengan merawat rumah. Di situ sumber makanan, air dan tempat melanjutkan kehidupan turun temurun.
Dalam kosmologi orang Ohongana Manyawa penghargaan mereka terhadap hutan sungai dan bambu begitu tinggi. Hutan sebagai rumah kehidupan menjadi tempat mencari makanan. Hutan juga jadi tempat hidup dan mati mereka. Karena itu dalam pembagian hutan ada untuk urusan hidup dan mati, ada hutan untuk pangan atau industri, ada hutan lindung dan hutan disakralkan. Hutan yang disakralkan itu menurut Saiful karena di hutan itu menjadi tempat roh para leluhur bersemayam. Di hutan itulah ketika mereka meninggal ditempatkan mayatnya. Hutan yang disakralkan itu juga tidak bisa dimasuki.
Sementara sungai menjadi tempat menjalani hidup. Orang O Hongana Manyawa mengatur tempat tinggal, tetap sementara atau nomaden, selalu memilih daerah dekat sungai karena menjadi sumber air untuk kebutuhan. Sungai juga menjadi tempat penting proses melahirkan turunan ayau bersalin.
Kosmologi O Hongana Manyawa juga sangat menghargai hutan bambu symbol alat kehidupan. Bambu adalah bahan penting alat makan, masak dan papan. Bambu juga berfungsi untuk membagun rumah. Karena itu O Hongana Manyawa begitu menghargai bambu air.
“Ketika ekstraksi tambang masuk tiga sumber kehidupan mereka ini ikut dirusak, hutan digusur sungai dirusak, bambu juga tergusur yang sama artinya membunuh kehidupan mereka secara tidak langsung,” imbuhnya.
O Hongana Manyawa juga tidak mengenal kepala suku atau kepala adat. Yang ada adalah orang yang dituakan atau dihormati dikenal dengan dimono. Karena tidak ada ketua adat rasa memiliki hutan mereka lemah. Ketika masuk orang luar atau korporasi menggusur, mereka tidak berlawan dan lebih memilih berpindah atau menghindar.
Saat ini hutan tidak hanya tergerus koroprasi tetapi aktivitas orang luar mengkapling tanah hutan wilayah jelajah O Hongana Manyawa juga massive. Setelah dikapling lalu dijual ke perusahaan tambang. Praktek orang luar terjadi di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. (*)
CEO Kabar Pulau