KPK: 82 Persen Cakada Dibantu Sponsor
Pada 9 Desember ini, Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Maluku Utara salah satu yang akan menggelar Pilkada Bupati dan Wali Kota itu. Ada enam kabupaten dan dua kota. Yakni Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Halmahera Barat, Kepulauan Sula, Kabupaten Pulau Taliabu, Kota Ternate dan Kota Tidore.
Bisnis ekstraktif skala besar seperti pertambangan, sawit dan bisnis kayu ada di daerah-daerah yang menggelar Pilkada di Maluku Utara saat ini. Lalu apakah para calon yang maju dalam Pilkada berafiliasi dengan bisnis ekstraktif ini. Apakah Oligarki juga membayangi Pilkada di Maluku Utara?
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara Yudi Rasjid dihubungi Kabarpulau.co.id Minggu (5/12) memastikan, di Pilkada Maluku Utara peran oligarki sangat kuat bermain. Dia bilang di moment Pilkada maupun politik elektoral lainnya pasti terselip berbagai kepentingan oligarki. Entah sebagai penyandang dana ataupun apa saja untuk memuluskan izin-izin mereka. Sumber Daya Alam Maluku Utara dalam beberapa tahun belakangan menjadi incaran para investor yang berinvestasi ke Maluku Utara. Baik di sektor kehutanan, pertambangan maupun perkebunan. Ini bisa dilihat dari data Penanaman Modal Asing (PMA) di Maluku Utara yang naik dalam dua tahun terakhir.
“Harapan kita harusnya lingkungan hidup di Maluku Utara bisa lebih baik ke depan. Namun fakta yang terjadi sebaliknya. Dari 8 kabupaten/kota yang melaksanakan Pilkada tahun ini, tidak ada satupun kandidat menyinggung persoalan lingkungan di daerahnya,”katanya. Jika ada, itu pun hanya sebatas visi dan misi kandidat yang implemnetasinya sama sekali tidak ada.
Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kali pelaksanaan Pilkada di Maluku Utara. Di Ternate misalnya reklamasi masih terus berlanjut, di kabupaten lain hutan dan lahan dialihfungsikan untuk pertambangan dan perkebunan monokultur masih saja terjadi.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Hendra Kasim menjelaskan, Pemilihan Kepala Daerah di wilayah dengan potensi sumber daya alam melimpah seperti Maluku Utara selalu menyisakan cerita pilu.
Pemilihan dengan biaya yang fantastis, mulai dari lobi partai hingga akomodasi kampanye. Ini bisa dibuktikan dengan riset KPK terkaut biaya yang dibutuhkan calon Kepala Daerah mulai dari 5 miliar hingga 65 miliar.
Hendra yang juga Direktur Perkumpulan Demokrasi Konstitusional (PANDECTA) ini mengatakan, biaya yang begitu besar sudah tentu hanya dimiliki pengusaha. Akhirnya terjadi “dwi fungsi” baru yakni penguasa dan pengusaha. Sebagaimana riset KPK, pada Pilkada 2015 biaya Pilkada dibantu pihak ketiga sebesar 82,6%, 2018 sebesar 70,3% dan untuk Pemilihan 2020 sebesar 82,3%.
Ini angka yang fantastis. Pada posisi ini oligarki bekerja, kekuasaan digadaikan kepada pengusaha. Dalam berbagai riset akademik menunjukan praktik ini melahirkan korupsi politik. “Korupsi jenis ini lebih berbahaya daripada korupsi konvensional yang kita tau selama ini, karena langsung menyerang jantung kekuasaan dan kebijakan diambil alih,” ujar Hendra
Bagaimana dengan Maluku Utara? Sebagai daerah dengan potensi sumber daya alam melimpah, sudah bisa dipastikan kekuatan oligarki bermain-main di balik proses pemilihan yang tampak di depan publik. “Kita tahu bersama bagaimana para calon bupati wali kota di bumi para raja ini butuh biaya tidak sedikit. Di situlah oligarki mengambil alih peran kekuasaan. Pada kondisi seperti ini, pemilihan tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, sebab balas budi biaya pemilihan adalah karpet merah bagi oligarki dengan modus investasi.
Ketua AMAN Maut Munadi Kilkoda menyatakan, Pilkada di Maluku dan bermainnya Oligarki Itu sudah pasti. Walaupun sebenarnya dari aspek kewenangan di sektor pertambangan tidak lagi melekat pada pemerintah kab/kota. Hanya saja kata dia relasi itu akan tetap dibangun karena ada kepentingan yang lebih besar yang ingin dikuasai para pemilik modal. Apalagi kabupaten/kota yang potensi SDA nya melimpah.
“Saya berkeyakinan mereka mendapat dukungan finansial dari pemilik modal baik yang sudah ada maupun yang akan berinvestasi. Jadi, kalau kompromi antara elit politik dgn pemilik modal ini sudah dibangun. Ke depan Cakada yang terpilih tidak mungkin tegas pada kepentingan daerah atau lingkungan.
“Padahal kondisi wilayah kita yang daya dukung makin menurun dan ancaman bencana yang menghantui setiap waktu terus menerus terjadi. Isu lingkungan ini harusnya menjadi agenda penting. Saya berharap Cakada yang terpilih nanti adalah mereka yang bisa diajak kerjasama membicarakan keselamatan warga Maluku Utara dari aspek lingkungan hidup,” harapnya. Dia bilang banyak PR dalam urusan ini harus mereka jawab dalam bentuk kebijakan.
Wawan Wardiana, Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat diskusi online Kamis (26/11/2020) digelar Katadata Indonesia bertitel Hutan di Tengah Pilkada mengatakan, KPK sudah survei terkait proses pilkada pada 2015, 2017 dan 2018. KPK mewawancarai calon kepala daerah yang kalah dalam pilkada di provinsi, maupun kabupaten kota.
Dari hasil survei KPK itu menunjukkan, 82,3% calon menyatakan karena dana relatif kecil dibandingkan biaya, mereka dibantu donatur atau sponsor. Bantuan mereka tidak terbatas kepada masa kampanye, jauh sebelum kampanye.
Terkait dana sponsor atau donator, KPK lalu menanyakan soal benturan kepentingan guna mengetahui kemungkinan imbalan jasa andai memenangkan pilkada. Hasil survei KPK 2015 menyatakan, 56% pendonor meminta imbal jasa atau bantuan setelah terpilih. Tahun 2017, naik jadi 71% dan 2018 menjadi 76%.
“Mereka itu berharap bantuan saat setelah jadi kepala daerah. Itu dinyatakan eksplisit baik lisan maupun tertulis. Harapannya, banyak. Ujung-ujungnya mereka ingin dipermudah dalam perizinan,”jelas Wawan.
Ketika ditanyakan apakah akan mengabulkan permintaan dari pendonor atau sponsor, 83% menyatakan akan memenuhi permintaan pendonor.
Untuk kehutanan, sebenarnya sejak 2010, KPK sudah lakukan kajian guna pencegahan, seperti mulai perencanaan kehutanan. KPK juga merekomendasikan, ada peta tunggal untuk kawasan hutan.
Saat kajian itu, banyak tumpang tindih kawasan. Dari aspek perizinan, saat kajian, untuk mendapatkan izin ini ternyata tidak mudah. Dengan banyak perizinan dan persyaratan harus dipenuhi, dan banyak keberatan dalam memenuhi persyaratan hingga terjadi upaya suap.
“Kalau ditanya di lapangan, ternyata mereka harus mengeluarkan Rp600 juta-Rp22 miliar per tahun untuk mendapatkan izin konsesi.”
Kondisi inilah, yang membuat layanan jadi tidak baik. Bahkan muncul upaya pemerasan dan suap di setiap tahapan dalam perizinan termasuk kebijakan-kebijakan yang diberikan.
Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Kamis (26/111) lalu dalam diskusi online Katadata Indonesia bertitel Hutan di Tengah Pilkada mengatakan, Pilkada 2020 sangat spesial. Bukan hanya terlaksana pada masa pandemi, pemimpin daerah terpilih merupakan generasi pertama yang menjalankan atau mengimplementasikan UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi itu.
“Ini tantangan baru bagi masa depan lingkungan hidup. Daerah-daerah yang akan pilkada itu memiliki kekhasan ekologis dan berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia,” katanya.
Dia bilang secara keseluruhan daerah yang gelar pilkada ini memiliki hutan alam sekitar 60,05 juta hektar atau setara 67,72% dari hutan alam di Indonesia.
Semestinya, kata Teguh, Pilkada serentak ini bisa jadi momentum politik untuk mempengaruhi perlindungan hutan tersisa dan pencapaian komitmen iklim Indonesia sektor kehutanan. Bisa juga jadi peluang bagi pemerintah daerah memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut.
Pilkada, seharusnya bisa menghasilkan pemimpin daerah yang jadikan hutan alam dan ekosistem sebagai aset pembawa peluang, bukan pembawa risiko.
Madani menilai, pesta demokrasi ini pertarungan antara menyelamatkan hutan atau menggunduli hutan. Jadi, bukan hanya rutinitas demokrasi.
“Ini satu titik penting harus disikapi karena menyangkut masa depan hutan Indonesia. Walaupun pilkada hanya diikuti sembilan provinsi, tetapi melingkupi lebih dari setengah luas hutan alam tersisa di Indonesia,” katanya.
Pilkada, katanya juga bisa jadi momentum positif penguatan perlindungan hutan dan iklim. Tak bisa dipungkiri, ada sisi ancaman terkait penggundulan hutan. Tentu sangat mengkhawatirkan jika proses pilkada tidak mengusung konten dan komitmen perlindungan hutan dan masa depan lingkungan hidup.
Dia bilang, kehilangan hutan bukan sekadar pohon atau tumbuh-tumbuhan juga ancaman bencana. Bencana banjir, longsor dan kebakaran hutan dan lahan bakal meningkat seiring luas hutan berkurang.
Untuk itu, meminimalkan risiko bencana, selain mencegah deforestasi dan degradasi hutan, penting bagi kepala daerah terpilih.
Terkait Undang-undang Cipta kerja Omnibus law Pilkada serentak ini, kata Teguh, melihat ketentuan dalam UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja, ada beberapa kewenangan pemerintah daerah terkait pengelolaan sumber daya alam ditarik ke pusat. Setidaknya, ada lima kewenangan pemerintah daerah terhapus oleh UU Cipta Kerja. Pertama, kewenangan terkait penataan ruang kawasan strategis termasuk penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis.
Kedua, kewenangan menetapkan kebijakan amdal dan UKL-UPL. Ketiga, kewenangan menetapkan jenis usaha dan atau kegiatan wajib dilengkapi UKL-UPL.
Keempat, kewenangan membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu komisi ini. Kelima, kewenangan pemberian perizinan berusaha untuk pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi.
Meskipun begitu, kata Teguh Pemda masih memiliki kewenangan perencanaan ruang di wilayah dalam bentuk RTRW provinsi dan kabupaten. RTRW daerah bisa disesuaikan memberi jalan bagi kepentingan proyek strategis nasional atau kalau ada perubahan kebijakan nasional yang strategis.
“Kewenangan pemerintah provinsi paling signifikan dalam konteks perlindungan dan pengelolaan hutan, ekosistem gambut, dan lingkungan hidup. Antara lain, pengajuan usulan perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui mekanisme revisi tata ruang, perlindungan dan pengelolaan hutan alam di APL dalam RTRW provinsi, pemberian perizinan berusaha yang dapat mengubah tutupan hutan, misal, perkebunan dan pertambangan. (*)
CEO Kabar Pulau