Home / Kabar Malut / LAUT dan Pesisir / Lingkungan Hidup

Selasa, 30 Januari 2024 - 06:58 WIT

Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil Tak Berdasar Saintifik

Aktivitas penambangan oleh ANTAM di  Pulau Pakal tak jauh dari  Pulau-Belemsili Teluk Buli Halmahera Timur. foto Adlun Fikri

Aktivitas penambangan oleh ANTAM di Pulau Pakal tak jauh dari Pulau-Belemsili Teluk Buli Halmahera Timur. foto Adlun Fikri

Ini Masukan Masyarakat Sipil untuk Capres dan Cawapres  

Center of Maritim Reform for Humanity atau Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengingatkan semua pihak terutama para calon presiden dan wakil presiden  agar perlu memiliki ikhtiar yang kuat terhadap perbaikan bangsa terutama terkait isyu lingkungan hidup dan pertanahan dalam konteks pengelolaan perikanan dan sumberdaya agraria di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil di Indonesia.

Ikhtiar Perbaikan Bangsa ini merupakan Pandangan Kebangsaan Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan yang disampaikan kepada Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pemilihan Umum 2024 nanti.

Pernyataan ini juga sebagai upaya mendorong  pengelolaan sumber daya perikanan dengan mengacu pada hasil kajian stok ikan yang mesti dperbarui secara reguler sehingga diketahui jumlah tangkapan yang diperbolehkan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.  

Abdul Halim   Founder and Executive Director at the Center of Maritime Reform for Humanity  dalam rilis resmi itu menyampaikan bahwa perlu dilakukan pengelolaan secara bertanggung jawab  sebagai upaya mengelola sumber daya perikanan dengan memperhatikan dimensi sosial yang berkaitan langsung dengan pemenuhan hak asasi manusia yang terlibat di dalamnya. Misalnya, awak kapal perikanan, tenaga kerja pengolahan ikan dan lain lain.

Menurut lembaga ini, sejak Oktober 2019, pengelolaan perikanan dan sumber daya agraria di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dijalankan tanpa pendekatan saintifik yang dikomandoi ilmu pengetahuan. Praktek ini ditandai dengan lahirnya sejumlah perubahan kebijakan krusial yang kontraproduktif terhadap ikhtiar untuk menghadirkan pengelolaan perikanan dan sumber daya agraria di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil yang berkelanjutan,  bertanggung jawab  dan berkeadilan. Banyak kebijakan  yang berdampak  terhadap lingkungan dan social itu misalnya,  dilegalkannya kembali pemakaian alat penangkapan ikan cantrang berukuran di atas 30 gros ton   beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara, melalui Pasal 23 Ayat 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas.

“Diberlakukannya kebijakan ini berimplikasi terhadap maraknya praktek eksploitasi sumber daya ikan, rusaknya ekosistem laut (terumbu karang dan padang lamun), dan merebaknya konflik horisontal antar-nelayan di laut,”kata Abdul Halim dalam rilisnya.

Baca Juga  Laut Malut, Kuburan Bagi Mamalia Laut?

Selain itu dibukanya keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang yang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor.

Perahu Nelayan dj Desa Lelilef Waibulen. Foto Sofyan A Togubu

Bagi lembaga ini  kebijakan ekspor pasir laut ini memicu hilangnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground) nelayan kecil dan nelayan tradisional. Rusaknya ekosistem laut, dan abrasi di wilayah pesisir. Ada juga dilonggarkannya keran ekspor benih lobster melalui perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

“Apabila perubahan kebijakan ini dilakukan, maka stok benih lobster di dalam negeri yang sudah berstatus over-exploited akan mengalami kelangkaan dikarenakan maraknya praktek eksploitasi penangkapan benih lobster secara besar-besaran di wilayah pengelolaan perikanan nasional,” katanya.

Di samping itu, kebijakan ini juga berdampak pada menurunnya potensi pendapatan pembudidaya lobster yang berfokus pada usaha pembenihan dan pembesaran di dalam negeri. Hal ini dipicu oleh adanya kelangkaan benih lobster.  

Dibukanya kembali akses penangkapan ikan bagi kapal asing di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah saat ini, kebijakan penangkapan ikan terukur ditunda pelaksanaannya. Apabila kebijakan ini dilaksanakan, maka bisa dipastikan praktek eksploitasi sumber daya ikan.   Begitu juga  ikhtiar Perbaikan No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.  Pasal 19 ayat (3)  juga membolehkan kapal pengangkut ikan asing untuk melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan Indonesia secara besar-besaran oleh investor asing dan ancaman pelanggaran hak asasi awak kapal perikanan besar kemungkinan bisa terulang kembali sebagaimana pernah terjadi antara tahun 2000-2014.

Di samping itu, dengan adanya pembolehan kapal pengangkut ikan asing melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan, maka dapat dipastikan hilirisasi sektor perikanan sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tidak akan pernah terjadi.

Hal lainnya  marak praktek perampasan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan pembangunan kota yang diskriminatif dan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup melalui proyek reklamasi pantai yang diperuntukkan bagi pembangunan kawasan permukiman elit dan wisata bahari, perkebunan kelapa sawit, dan perluasan industri ekstraktif pertambangan. Imbas dari sejumlah kebijakan yang tidak berkeadilan ini menyebabkan tergusurnya masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) dari permukiman asalnya.  Berkurangnya luasan hutan mangrove akibat perluasan kebun kelapa sawit di wilayah pesisir dan  kian besarnya potensi bencana akibat hilangnya hutan mangrove sebagai sabuk hijau di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Baca Juga  Masyarakat Sipil Persoalkan Hilirisasi Nikel di Malut
Ikan sebagai salah satu hasil andalan dari Pulau Laigoma Maluku Utara juga butuh listrik untuk pengawetannya sebelum dibawa ke luar pulau foto M. Ichi

Pencemaran laut akibat pembuangan limbah tambang (tailing serta aih profesi nelayan secara besar-besaran dengan menjadi buruh kasar karena kehilangan wilayah tangkapan ikan (fishing ground) akibat pembangunan yang diskriminatif dan pencemaran laut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengusulkan sejumlah ikhtiar perbaikan bangsa sebagai berikut:  

Mendahulukan pendekatan saintifik di dalam pengelolaan perikanan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) melalui pembaruan data stok ikan dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan secara berkala sehingga pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab, dan berkeadilan dapat dihadirkan;  

Kedua  melakukan penguatan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum di laut, khususnya di sejumlah perairan yang kaya sumber daya ikan, seperti perairan Provinsi Maluku Utara yang menjadi bagian dari WPP-NRI 715 dan berbatasan langsung dengan Filipina, dengan membatalkan sejumlah kebijakan yang kontraproduksi terhadap ikhtiar menghadirkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab, dan berkeadilan; Ketiga  mengutamakan pembangunan kota-kota pesisir yang memakmurkan hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) dan memprioritaskan daya dukung lingkungan hidup sebagai indikator utama pengambilan keputusan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

Keempat melakukan koreksi atas kebijakan tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan perizinan usaha di dalamnya yang berorientasi pada perluasan kebun kelapa sawit dan industri pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan memberikan dampak negatif terhadap hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi;

Dampak hilirisasi Emas coklat mengalir sampai jauh ke laut: Kondisi-muara-sungai-dan-laut-di-kawasan-Sagea Halmahera Tengah-berwarna-emas-foto-Save-Sagea

Kelima mengarusutamakan pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis hukum adat dan kearifan tradisional yang telah berlangsung secara turun-temurun dan terbukti mampu menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat pesisir di sekitarnya.

“Ke depan, sudah seyogianya pembangunan bangsa berbasis ekonomi hijau diorientasikan pada kegiatan ekspor produk olahan yang padat karya dan mengandalkan perdagangan antar-pulau yang didukung oleh ketersediaan armada pelayaran laut dan biaya logistik yang mudah, reguler, dan terjangkau,” kata Abdul Halim. (*)

Share :

Baca Juga

Kabar Malut

ESDM Hanya Beri Teguran 21 IUP

Kabar Malut

Warga Desa Idamdehe Jailolo Kekeringan Air

LAUT dan Pesisir

KKP Walidata Informasi Geospasial Lamun dan Terumbu Karang

Lingkungan Hidup

Ini Hasil Kajian Climate Right Internasional

Lingkungan Hidup

Masyarakat Sipil Persoalkan Hilirisasi Nikel di Malut

Kabar Kampung

Sagu, Pangan Lokal dan Identitas Warga Sagea (2)

Lingkungan Hidup

7 Tahun Gerakkan Panen Air Hujan, Dapat Kalpataru

Kabar Malut

Kejar Kualitas Riset, LIPI-Unkhair Jalin Kerjasama