Pintuk Masuk Keluar Malut, Perlu Pengawasan Ketat
Perburuan dan perdagangan satwa liar di Maluku Utara terbilang massive. Terutama jenis burung paruh bengkok Karena itu butuh upaya pencegahan dan penanganan dengan melibatkan semua pihak terkait.
Hal ini yang mendasari Balai Koservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Maluku didukung Non Government Organisation (NGO) yang concern terhadap isyu ini menggelar pelatihan terpadu penananganan satwa liar di Kepulauan Maluku dan Maluku Utara 5 hingga 7 Oktober lalu.
Kegiatan bersama Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) dan Burung Indonesia, di Hotel Sahid Ternate itu, menghadirkan penegak hukum, baik polisi, Jaksa, hakim bersama BKSDA dan KLHK.
Kepala BKSDA Maluku Malut Danny H Pattypeilohi saat membuka kegiatan pelatihan mengingatkan, Maluku dan Maluku Utara memiliki pintu masuk dan keluar yang cukup banyak. Hal ini membuat aktivitas perdagangan satwa liar sulit dikontrol. “Daerah ini banyak memiliki pulau pulau sehingga memiliki pelabuhan laut yang cukup banyak. Ini jadi masalah serius karena itu butuh penanganan bersama dan melibatkan berbagai pihak terutama aparat penegak hukum,” katanya.
Beny Aladin Biodiversity Conservation Officer menjelasakan, mengingat masih adanya ancaman saat ini, baik ancaman terhadap habitat maupun ancaman perdagangan illegal serta jumlah kasus kejahatannya yang tinggi, maka diperlukan pelatihan yang melibatkan multi pihak untuk bersama-sama menanggulangi dan melindungi keberadaan burung paruh bengkok di Provinsi Maluku Utara.
“Pihak-pihak terkait mulai dari proses penyidikan sampai persidangan ikut andil dalam pelatihan ini. Melalui pelatihan ini juga diharapkan ada peningkatan koordinasi dari seluruh pihak (penegak hukum) yang terkait,” jelasnya.
Sekadar diketahui, perburuan satwa liar dilindungi dan perdagangan ilegal satwa liar maupun produk-produk turunannya atau kejahatan satwa liar adalah salah satu ancaman terbesar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Jutaan individu satwa liar menjadi target perdagangan ilegal dan pemanfaatan tidak berkelanjutan setiap tahunnya. Hilangnya spesies kunci yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi seperti karnivora besar berdampak pada terganggunya proses pertumbuhan vegetasi hutan, mengubah pola pengembangbiakan burung dan mamalia kecil, serta mengubah bagian lain dari ekosistem.
Berdasarkan data Bareskrim Kepolisian RI (Polri) terdapat 109 laporan kasus kejahatan satwa liar yang ditangani selama tahun 2015-2019, sebanyak 75% dari total kasus yang masuk aporan tersebut sudah masuk ke persidangan. Sedangkan data dari Tim Patroli Siber Gakkum KLHK melaporkan terdapat 1.180 unggahan penjualan ilegal satwa liar di media sosial dalam kurun waktu Oktober 2017-April 2019. Hal tersebut sejalan dengan jumlah perkara yang diproses dalam penuntutan hingga penjatuhan saksi yang menunjukan bahwa perkara kejahatan satwa liar menempati posisi ketiga untuk kasus-kasus yang ditangani di pengadilan, setelah perkara pembalakan liar dan pertambangan. Apabila dilihat dari nilai perdagangannya, kejahatan satwa liar memiliki nilai yang setara dengan perdagangan narkoba dan perdagangan manusia. Data-data diatas menunjukkan bahwa pemberantasan kejahatan satwa liar hanya dapat dilakukan secara efektif apabila proses penyelidikan, penuntutan sampai dengan persidangan di pengadilan dilakukan secara terpadu oleh penegak hukum yang berwenang.
Untuk Maluku dan Maluku Utara spesies burung paruh bengkok merupakan spesies endemis yang mendiami wilayah ini. Jenis burung paruh bengkok merupakan satwa yang paling terancam keberadaannya di wilayah ekoregion Maluku akibat perburuan untuk diperdagangkan sebagai satwa peliharaan.
Di Maluku Utara sendiri aktifitas perburuan burung paruh bengkok terjadi di hampir seluruh pulau-pulau mulai dari Morotai, Halmahera, Tidore, Bacan, Kasiruta, Obi, dan pulau-pulau kecil lainnya.
Berdasarkan penelitian di pulau Obi pada tahun 2014 terdapat sekitar 7878 ekor burung paruh bengkok ditangkap dari alam setiap tahun. Dan penelitian tahun 2018 di Pulau Morotai dan Halmahera mencapai rata-rata 7012 individu per-tahun. Beragam kegiatan penegakan hukum telah diupayakan yang menghasilkan penyitaan dan penyerahan burung paruh bengkok oleh masyarakat secara sukarela sebanyak 363 individu paruh bengkok dari Maluku Utara. Upaya penegakan hukum ini perlu ditingkatkan lagi melalui kerjasama multi sektor untuk memerangi kejahatan satwa tersebut. (*)
CEO Kabar Pulau