Soroti Reklamasi hingga Sampah Pembalut Wanita
Perkumpukan Paka Tiva Maluku Utara, sebuah lembaga non profit yang bekerja untuk pendampingan warga dan concern untuk isu literasi, budaya dan ekologi, menggelar Seri Diskusi Pencinta Alam Maluku Utara. Diskusi Rabu (12/8) di jarod cafe BTN, adalah kedua kalinya. Pesertanya Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) dari berbagai perguruan tinggi di daerah ini dengan tema Perempuan dan Perubahan Iklim.
Pembicara diskusi yang diramu dalam diskusi terpumpun itu adalah, Mirnawati Abd Kadir SH dari Dewan Rimba Mapala Justitia Omnibus Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate. Mirnawati di hadapan anggota Mapala perempuan itu memaparkan banyak hal, kenapa anak Mapala terutama perempuan, juga harus diberi penguatan dan pemahaman tentang perubahan iklim. Menurutnya, perempuan menjadi korban dan paling terdampak dari semua perubahan iklim.
“Kenapa perempuan berhubungan dengan perubahan iklim? Karena pihak yang paling banyak menerima dampaknya. Karena itu tak salah perempuan juga harus paham dan punya kepedulian soal ini,”katanya memulai diskusi.
Dia memaparkan banyak kasus yang terjadi dengan lingkungan. Sebut saja deforestasi akibat penebangan hutan yang tidak terkendali, perkebunan raksasa seperti sawit, pembukaan lahan massive akibar industry ekstraktif serta banyak aktivitas yang memiliki dampak luar biasa bagi lingkungan. Pada akhirnya ikut mengorbankan peran dan tugas perempuan. Praktek perkebunan sawit, tambang dan HPH juga banyak menimbulkan persoalan. Di kampung – kampung yang ada perkebunan sawit banyak menimbulkan masalah. Dari perampasan lahan, kekurangan air, banjir hingga persoalan hak asasi manusia. Tumbuhan sawit juga tanaman boros air. Dampaknya nanti warga akan kesulitan air. Satu hektar butuh air sekria 8 ribu liter per hari. Jika demikian, datang musim kemarau dampknya pasti dirasakan warga terutama kaum perempuan.
Dampak perubahan iklim juga ikut meningkatkan permukaan laut. Hal ini menyebabkan adanya intrusi air laut di berbagai kawasan. Kasus Ake Gaale di mana terjadi intrusi air laut dan mencemari sumber air di bagian Utara Kota Ternate, adalah contoh konkrit dampak perubahan iklim. Ini juga akibat aktivitas manusia yang merusak daerah daerah resapan air dan daerah ketinggian
Beberapa waktu belakangan ini, di berbagai wilayah di Maluku Utara dilanda banjir. Dari Kepulauan Sula, Halmahera Tengah, Morotai hingga Gane Halmahera Selatan. Belum lagi gelombang pasang dan berbagai dampak akibat perubahan iklim lainnya.
Dari berbagai contoh itu maka perempuan juga harus punya gerakan. “Mungkin kita bisa mengambil hikmah dari contoh gerakan Chipko di India. Di mana perempuan memeluk pohon untuk memberi perlindungan pada hutan mereka yang dieksploitasi oleh Negara dan industry. Ini perlu juga didengungkan perempuan di daerah ini yang dimulai dari perempuan pencinta alam,” katanya.
Di Indonesia ada anak perempuan bernama Aeshninna Azzahra (12), siswa SMP Negeri 12 Gresik, menjadi pegiat lingkungan bertandang ke Jakarta memberikan surat kepada Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Kanselir Jerman Angela Merkel melalui Kedutaan Besar masing-masing agar menghentikan ekspor sampah plastik ke Indonesia. Atau yang paling heboh Gretta Tunnberg yang menantang pemimpin dunia di konferensi perubahan iklim COP25. Ini adalah contoh contoh gerakan perempuan untuk lingkungan dan perubahan iklim yang mestinya juga dipikirkan perempuan Maluku Utara. Kenapa demikian karena ancaman perubahan iklim ini bagi perempaun secara ekonomi dan social cukup serius. Perlu ada gerakan yang dilakukan untuk ikut berjuang menghadang dampak dari perubahan iklim. Contoh paling nyata yang bisa dilakukan adalah gerakan tanam mangrove, pembersihan pantai. bersihkan sampah di pantai dan gunung atau memerangi praktek buang sampah sembarangan. Ini beberapa contoh yang bisa dilakukan pencinta alam. “Dulu hujan dan panas itu ada waktunya tetapi sekarang tidak ada lagi. Semua kejadian ini karena banyak alam yang rusak,” kata Mirna. Mirna.
Soal kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya di sini perempuan juga harus bisa jaga diri, dengan bisa jaga diri maka bisa ikut menjaga alam. Untuk Mapala perlu menghilangkan pandangan bahwa Mapala tak sekadar camping tetapi juga ikut membangun kesadaran besar soal penyelamatan lingkungan.
Usai pemaparan, peserta FGD diminta menyampaikan masukan, ide, pendapat atau gagasa termasuk sharing pengalaman mereka. Terutama yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah perubahan iklim di Ternate.
Siti Halima Mahasiswa Pencinta Alam STIKIP Ternate misalnya, menyampaikan bahwa Ternate memiliki segudang masalah yang berhubungan dengan lingkungan. Terutama sampah dan reklamasi. Di sini perempuan pencinta alam harus punya andil. Secara lokal Maluku Utara, persoalan tambang ikut mengancam pulau kecil. Banyak persoalan ini tetapi perempuan masih diam. Belum mengambil peran. Kebanyakan perempuan punya potensi. Lembaga seperti Pakativa kata dia, bisa menjadi pendorong untuk gerakan ini bagi perempuan. Banyak dampak langsung dirasakan masyarakat, karena itu butuh wadah menyatukan gerakan perempuan.
“Persoalan paling serius kota ini adalah sampah. Perlu ada gerakan bersama memerangi sampah karena ini soal paling serius kota ini,” ujarnya. Kalau soal perempuan yang tidak bisa diabaikan adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini juga harus didorong oleh Pakativa. Dalam beberapa tahun belakangan ini, belum melihat peran perempuan terhadap lingkungan. Padahal powernya sangat besar. Soalnya perempuan tidak mengerti kekuatannya. “Peran perempuan terkait perempuan itu sendiri. Kekerasan yang terjadi kepada perempuan tetapi tidak terekspose. Harus fokusnya kepada perempuna itu sendiri sebelum bicara soal penyelamatan alam,” imbuhnya.
Nurazizah Darwia dari Arispala Uniersitas Khairun misalnya, berbicara agak serius soal sampah dan perempuan. Gadis berjilbab ini mengatakan, bicara peran perempuan dalam memerangi sampah sangat relevan karena perempuan juga menjadi penghasil sampah. “Kita bicara memerangi sampah. Ternyata peran perempuan sangat sentral,” katanya. Misalnya mengelola sampah—pembalut milik perempuan. Perlu mendorong penggunaan pembalut yang ramah lingkungan. Tidak menjadi penambah sampah yang berbahaya bagi lingkungan. Sebagai pencinta alam bisa safety sampah dari pembalut. Mirna menanggapi soal ini dengan mengatakan, orang tua dulu tidak pernah pakai pembalut mereka menggunakan barang atau bahan yang lebih alami. Ada juga yag membuat pembalut dari kain. Sudah banyak aktivis lngkungan menggunakan bahan silicon. Pencinta alam harusnya menghindari menjadi penghasil sampah.
Priscilia Malla dari Mapala Justitia Omnibus bicara soal dampak rekmalasi. Apa dampaknya mengambil tanah di gunung dan bukit dan menimbun laut. Padahal gunung, bukit dan hutanya memiliki fungsi masing-masing. Dampaknya bagi warga dan kota ini secara keseluruhan. Tempat wisata di Maitara, misalnya tanggul di tepi pantai jebol dihantam air laut. Jangan-jangan ini juga akibat dampak reklmasi yang dilakukan di Ternate. Soal sampah misalnya, Kawasan belakang Bandara Baabullah Ternate tidak disediakan tempat sampah. Terpaksa warga membuang sampah secara sembarangan. Soal soal ini butuh gerakan bersama mendorong kesadaran warga dan pemerintah.
“Soal perubahan iklim dan perempuan, hal yang sederhana di kampung – kampung tu, misalnya jika terjadi hujan terus menerus dan tidak menentu, maka ibu-ibu tidak bisa mengambil kayu bakar. Dampaknya mereka tidak memasak. Ini sebuah contoh kecil saja,” tutupnya. (*)

CEO Kabar Pulau