Dorci Polu (56) dan suaminya Herman Ime (60) Jumat siang di pertengahan Februari lalu itu duduk di depan rumah. Hari itu mereka belum ke kebun yang berjarak sekira 3 kilometer dari Desa Togoreba Tua Kecamatan Tabaru Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara.
Herman Ime duduk di kursi sambil menatap ke arah jalan raya. Sementara Dorci langsung keluar sebentar menghadiri acara arisan warga kampung yang dilaksanakan tak jauh dari rumahnya.
Mereka sebenarnya sedang menanti kedatangan pedagang pengumpul beragam pangan lokal dari Desa Sarau tetangga kampung mereka.
Hasil- hasil pangan yang akan dijual hari itu, menumpuk di dapur. Ada puluhan pohon pisang jenis mulu bebe. Keladi, ada juga singkong dan beberapa jenis sayur. Di dapur itu juga ada gabah kering hasil menanam tahun sebelumnya yang masih tersisa dan rencana digiling untuk kebutuhan sehari-hari. Gabah tersebut akan diolah menggunakan mesin penggilingan padi. “Kami masih makan beras baru (padi gogo) yang ditumbuk atau digiling,” ujarnya.
“Jualan ini mama- mama pe urusan. dorang yang tanam dengan bajual. Torang laki ini cuma bantu kalau bajual bagini. (Jualan ini urusan mama-mama mereka yang tanam dan jual, kita para suami hanya ikut bantu saja),” ujar Herman.
Hasil-hasil kebun itu akan dibayar oleh para pedagang pengumpul, selanjutnya dibawa ke Jailolo Ibu Kota Halmahera Barat atau juga ke Kota Ternate. Pedagang pengumpul ini sudah menjadi langganan. Seminggu dua kali datang membayar berbagai hasil kebun mereka.
Herman bercerita, istrinya menanam berbagai tanaman pangan local di kebun. Selain untuk kebutuhan makan sehari-hari juga dijual memenuhi kebutuhan hidup. Pangan local yang dijual ini biasanya dikelola kaum perempuan. Sementara laki laki lebih banyak mengurus tanaman tahunan seperti kelapa, pala dan cengkih.
Dari jenis pisang mulu bebe dijual, per pohon Rp15 ribu hingga Rp20 ribu. Sementara untuk keladi per karung yang beratnya 25 kilogram dijual dengan harga Rp50 ribu.
“Harga keladi sudah turun. Sebelumnya per karung dengan berat 25 kilogram dibeli Rp100 ribu. Begitu juga dengan ubi jalar dan singkong per karung kecil itu antara Rp30 ribu sampai Rp50 ribu,” jelas Herman.
Hari itu Herman dan istrinya menjual 12 pohon pisang mulu bebe, empat karung berisi bete atau keladi. Ada juga jahe dan beragam jenis sayur.
Keluarga ini sebenarnya juga memiliki kebun yang dikhususkan menanam kelapa, dan pala tetapi tanaman pangan lokal juga jadi keharusan tetap ditanam.
“ Satu kebun digunakan untuk tananam pisang, keladi, jahe dan beragam pangan lokal. Di lokasi itu juga dibuka sebagian lahan untuk tanam padi. Untuk padi lading, kami tanam tahun lalu. Tahun ini tidak ditanam karena kondisi hujan turun hampir sepanjang tahun. Akhirnya sulit membersihkan kebun yang mau ditanami padi,” jelasnya.
Dia mengaku mereka menanam sekira 3 ribu pohon keladi yang menunggu dipanen. Begitu juga pisang ada seribu pohon lebih.
“Hasilnya kita tidak jual semua, karena untuk makan sehari-hari. Dulu Ketika akses jalan belum terbuka seperti sekarang, pisang, bete/keladi dan sayur-sayuran tidak dijual. Mau jual juga siapa yang beli, karena semua orang memiliki,” katanya lagi.
Dia cerita, sebelum tahun 2017 ketika akses jalan belum terbuka seperti sekarang mereka sangat sulit memasarkan pangan local. Tidak ada alat transportasi yang bisa masuk dari ibukota kecamatan Ibu yang jaraknya hamper 20 kilometer. Mereka hanya mengandalkan gerobak sapi dan motor dengan kondisi jalan yang memprihatinkan.
Sekarang ketika akses jalan terbuka warga memanfaatkan lahan mereka menanam berbagai pangan local dan tidak saja untuk dimakan tetapi dijual.
“Akses jalan terbuka pisang dan berbagai pangan local bisa jadi uang. Kalau dulu dibiarkan hancur percuma.
Dulu bete atau keladi misalnya, diberikan kepada teman dan tetangga juga tidak diambil. Sekarang setelah ada akses jalan terbuka seluruh bahan makanan dari kebun itu laris dijual ke kota. Bahkan dengan harga cukup lumayan,” jelasnya.
Herman dan istrinya setiap pekan bisa mendapatkan uang jutaan rupiah dari menjual pisang dan berbagai pangan local lainnya.
“Satu kali menjual pisang dan keladi ini bisa dapat Rp300 ribu sampai Rp400 ribu. Dalam sebulan bisa tiga kali sampai 4 kali dipasarkan hasil yang dipanen,” jelasnya.
Apa yang dilakoni suami istri ini adalah contoh mayoritas masyarakat adat Tobaru, masyarakat asli Pulau Halmahera di Kabupaten Halmahera Barat yang dalam kehidupannya sangat bergantung pada hutan dan lahan kebun. “Torang ini orang kobong kalau ada tanah untuk bakobong maka torang bisa hidup. Selain tanam pala deng kalapa juga tanam torang pe makanan. (Kami ini petani. Jika ada tanah untuk berkebun maka bisa hidup. Selain menanam kelapa dan pala sebagai tanaman perkebunan, juga tanam pangan untuk dimakan sehari-hari),”katanya.
Perempuan jadi Tulang Punggung
Dalam mengembangkan pangan local beberapa kelompok masyarakat asli Halmahera umumnya, kaum perempuan memiliki peran sangat sentral. Mereka menjadi tulang punggung membudidayakan pangan lokal.
Sama halnya di masyarakat adat Tobaru Halmahera Barat. Peran mereka tidak hanya menanam bahkan ada yang sampai menyiapkan lahan kebun. “Saya bikin sendiri kebun untuk menanam padi. Kebun yang disiapkan untuk menenam padi tidak seberapa hanya seperempat hektar,” jelas Rin Bodi salah satu perempuan desa Podol.
Rin bercerita, padi yang ditanam di kebunnya, pembersihan lahannya dikerjakan sendiri. Dia menebang pohon dan semak belukar di lahan itu, kemudian dibersihkan dan dijadikan kebun padi.
Cerita serupa disampaikan beberapa ibu yang ditemui saat bekerja membersihkan lahan milik Yusak Bulere salah satu warga Podol. Para ibu bekerja layaknya kaum lelaki. Mereka mengambil peran yang sering dikerjakan kaum laki-laki. Ria (40 tahun) Marta (45) tahun Runi (39) mengaku selain berkebun untuk menanam tanaman pangan, mereka juga mencari pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari hari.
Mereka bekerja bersama membersihkan kebun warga dengan sewa atau upah dihitung per jam. Dalam satu jam bekerja dibayar Rp12.000. Rata rata dalam sehari bekerja 7 sampai 8 jam. Dengan demikian dalam sehari tiap orang bisa menghasilkan uang Rp 96 ribu yang ditabung bersama.
Marta mengaku ada banyak kelompok perempuan yang bekerja seperti mereka. Pekerjaan yang mereka lakukan mulai dari membuka lahan kebun baru, membersihkan kebun kelapa dan pala dari rumput liar atau gulma. Uang hasil sewa pekerjaan ini mereka kumpul dan dibagi sama dalam setahun. “Biasanya pembagian hasil ini ketika masuk natal dan tahun baru. Tujuan torang pas masuk natal dan tahun baru sudah bisa ada simpanan untuk belanja kebutuhan pokok ,” jelas Marta. Setelah dibagi rata nanti dibelanjakan berbagai kebutuhan guna menyambut natal dan tahun baru. Atau juga jika ada kebutuhan mendesak bisa diambil dan digunakan. Misalnya kebutuhan pendidikan anak atau juga kebutuhan hajatan keluarga dan lainnya.
Marta bilang apa yang mereka lakukan ini bagian dari usaha membantu suami sebagai kepala keluarga menopang kebutuhan hidup sehari-hari.
Ternyata perempuan Tobaru tak hanya sebatas menanam pangan. Mereka ikut memasarkan langsung hasil hasil kebun ke pasar. Jumat sore setiap pekan mereka sudah mengangkut hasil ke pasar di ibukota kecamatan Ibu. Di dikenal dengan pasar Sabtu, beragam hasil para petani dijual di pasar ini. Dari pangan local seperti pisang, singkong, talas, beragam sayur mayur hingga buah buahan. Sejak Jumat sore hingga Sabtu dinihari warga Tobaru dari berbagai desa mengangkut hasil kebunnya ke pasar tersebut. Mereka gelar dagangan dengan kondisi seadanya.
Hal ini karena fasilitas pasar yang tidak memadai, warga Tobaru yang datang memasarkan hasil pertaniannya hanya bisa menggelar dagangan di tepi jalan. Tidak ada tempat khusus. Mereka hanya bisa menggelar jualan di atas jalanan aspal yang sangat rawan diseruduk kendaraan yang lewat. Pengakuan beberapa warga mereka tidak punya tempat khusus untuk berjualan karena itu terpaksa jualan di tepi jalan dan depan toko.
“Mau bagaimana lagi karena tidak ada tempat khusus setiap hari pasar jualan di atas jalan dan depan toko,” ujar Mariatje salah satu pedagang di pasar Ibu.
Tokoh perempuan Tobaru Alwina Tjiwili bilang seperti itulah pekerjaan yang dilakoni kaum perempuan Tobaru. Selain sebagai ibu yang mengurus rumah tangga juga menjadi tulang punggung urusan pangan. Mereka bekerja tidak hanya di rumah tetapi juga di kebun. Mereka bahu membahu dengan suami tidak hanya dalam urusan pangan tetapi juga dalam mencari tambahan pendapatan menopang kebutuhan rumah tangga.
Di kebun misalnya, peran mereka sangat menentukan. Dari mulai membuka kebun sampai menanam berbagai tanaman pangan. Bahkan katanya saat ini ketika akses jalan mulai terbuka peran perempuan tidak hanya berkutat pada menanam tetapi juga memasarkan hasilnya.
Meski begitu dia bilang karena peran perempuan yang didominasi pada urusan domestic dan kebun pangan. akhirnya peran peran lain nyaris tidak diperoleh. Dalam urusan politik atau dalam ruang ruang public, tidak ada perempuan perempuan Tobaru di situ. Setiap momen politik yang muncul bukan perempuan masyarakat Tobaru yang tampil.
“Contoh nyata urusan politik, perempuan Tobaru sangat minim. Bahkan tidak ada yang mengambil peran. ,”katanya.
Nurdewan SafarDirektur LSM Daurmala Maluku Utara yang selama ini banyak mendampingi kaum perempuan untuk berbagai kasus kekerasan perempuan di Maluku Utara bilang, perempuan sebagai tulang punggung perekonomian keluarga, untuk beberapa kelompok etnis termasuk masyarakat adat Tobaru sudah menjadi hal umum dan sudah tidak asing lagi. Perempuan katanya menerima beban ganda. Dari urusan domestic hingga menjadi tulang punggung ekonomi.
“Yang menjadi persoalan perempuan masih menjalankan beban ganda. Selain urusan domestic juga bekerja di sektor public dan sektor lainnya. Meski begitu masih
disubordinasi dalam lingkungan,” katanya.
Menurut dia, budaya patriarki yang melekat di masyarakat masih sulit diubah. Karena itu, biar pun perempuan sudah menjadi penopang ekonomi, tetapi dalam berbagai kasus yang ditanganinya masih mendapatkan diskriminasi dan kekerasan di tingkat keluarga dan masyarakat. “Di sini persoalannya,” kata Dewa.(*)
CEO Kabar Pulau