Sejak dulu kampung-kampun g di Kabupaten Halmahera Tengah Maluku Utara memiliki banyak kebun sagu. Salah satu desa yang menjadi pusat sagu adalah Sagea dan Kiya di Weda Utara.
Karena potensi itu, pemerintah daerah kemudian berpikir melindunginya setelah massivenya industri tambang masuk ke wilayah ini. Pemkab Halmahera Tengah kemudian membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi pohon sagu dan kesinambungan produksinya sebagai salah satu pangan penting masyarakat.
Perda Nomor 2 tahun 2018 itu mengatur Tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu di daerah Halmahera Tengah yang disahkan pada 28 Desember 2017 dan diundangkan dalam lembaran daerah 6 Juni 2018. Perda itu, menegaskan bahwa sagu merupakan sumber daya alam yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, patut dikelola dan dilestarikan keberadaanya demi kemakmuran rakyat.
Selain itu akibat berubahnya pola konsumsi, rendahnya nilai ekonomi, laju pembangunan termasuk pengembangan areal pemukiman baru, pemanfaatan ruang yang tidak terencana, perusakan areal hutan dan tuntutan bahan bangunan, mengakibatkan areal tumbuh kembang tanaman sagu makin tergerus dan berpotensi punah. Karena itu perlu dikelola dan dilestarikan.
“Untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian tanaman sagu, dibutuhkan peraturan terkait pengelolaan dan pelestarian sagu. Berdasarkan pertimbangan itu maka perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu,” demikian bunyi Perda tersebut.

Dalam Pasal 3 Perda itu menjelaskan bahwa Pengelolaan dan Pelestarian Sagu bertujuan mewujudkan konservasi sumberdaya hutan sagu, menjaga keseimbangan ekosistem; keberlanjutan ketersediaan sumberdaya air bagi kehidupan masyarakat; ketersediaan sumber bahan makanan penghasil karbohidrat; ketersediaan bahan baku bio energi; usaha kultivasi bagi kepentingan masa depan kehidupan masyarakat; kesejahteraan dan eksistensi masyarakat (adat) Halmahera Tengah. Sekaligus menjadi objek pendidikan, penelitian dan pariwisata.
Dalam BAB III misalnya, mengatur tentang Hak Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat. Di Pasal 7 mengatur Pemerintah daerah, masyarakat dan atau badan hokum wajib ikut serta dalam upaya pelestarian sagu. Dalam BAB IV Perda mengatur tentang pembentukan Badan Pengkajian dan Penelitian Sagu (BPPS) untuk Pengelolaan dan Pelestarian.
BPPS ini mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengkajian dan penelitian dalam upaya pengembangan, pengelolaan dan pelestarian Sagu. Lembaga ini akan menyusun dan melaksanakan program dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sagu. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan, koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah, serta membuat rekomendasi terkait pemanfaatan areal hutan dan/atau kebun sagu.
Perda ini juga mengatur tentang ketentuan pidana. “Setiap orang dan/atau badan hukum yang dengan sengaja melakukan penebangan, perusakan, pembakaran dengan tujuan merusak dan/atau memusnahkan tanaman sagu pada kawasan hutan dan/atau kebun sagu, dipidana dengan Pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluhjuta rupiah),” demikian bunyi Bab V Perda.
Begitu juga setiap orang dan/atau badan hukum yang dengan sengaja memanfaatkan tanah kawasan hutan dan/atau kebun sagu untuk kepentingan lain, tanpa izin Bupati diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Lalu bagaimana faktanya dengan pelaksanaan Perda ini?
Ternyata masyarakat juga tidak tahu kalau ada Perda yang mengatur tentang Sagu. Tokoh masyarakat Sagea Ibrahim Sigoro misalnya mengaku tidak tahu Perda sagu tersebut. “Sampai saat ini belum ada sosialisasinya. Kami juga tidak tahu kalau ada Perda tersebut,” katanya.
Begitu juga Kepala Desa Sagea Arif Thaib. Ditanya soal Perda itu, dia mengaku tak tahu. “Selama ini belum ada sosialisasinya,” katanya. Soal Perda Pengelolaan dan Perlindungan Sagu ini, sangat bagus tetapi sayang belum diketahui publik secara luas dan pelaksanaanya juga tidak jalan. Faktanya, lahan lahan sagu semakin berkurang bahkan terancam habis karena masuk konsesi tambang setelah dijual pemiliknya kepada perusahaan.
Asisten I Bidang Pemerintahan Pemkab Halmahera Tengah Husain Ali SE mengaku belum tahu seperti apa pelaksanaan Perda tersebut di lapangan. Karena itu dia berjanji berkoordinasi lagi dengan instansi tekhnis yang mengurusi soal ini, “Saya infokan nanti ya soal pelaksanaan Perda ini setelah berkoordinasi dengan instansi tekhnis ,” katanya singkat. Sayangnya hingga tulisan ini terbit tidak ada tanggapan yang diberikan pemerintah daerah.

Anggota DPRD Halmahera Tengah Munadi Kilkoda dikonfirmasi soal ini menyampaikan bahwa, Perda yang dibuat ini tidak ada tindaklanjutnya di lapangan oleh ekskutif. Misalnya, sosialisasi maupun pembentukan badan seperti BPPS. Padahal semakin gencarnya industri ekstraktif masuk ke Halteng saat ini, perlu menjaga dan melindungi sagu dengan menjalankan regulasi ini.
“Dalam setiap pandangan akhir Fraksi DPRD, kami selalu mendesak segera dibentuk BPPS tersebut karena masifnya investasi saat ini. Hanya saja eksekusinya nol oleh pemerintah daerah,” katanya.
Subhan Somola Pegiat Pangan Lokal Sagu di Halmahera Tengah yang selama ini mendamping sejumlah kelompok Badan Usaha Milik Desa mengelola sagu, meminta perlu dilakukan perlindungan terhadap kawasan hutan sagu. Ini sangat penting dilakukan untuk menjaga tersediaan pangan lokal sagu dan manfaat ekologinya. Selain itu perlu membangun industri pengolahan sagu yang terintegrasi dan berkelanjutan, sehingga dapat menjadikan negeri ini sebagai lumbung pangan lokal sagu.
“Selain itu perlu menggalakkan kegiatan- kegiatan ekonomi produktif dari olahan lokal tepung sagu rumbia yang dapat diterima pasar lokal maupun nasional. Menciptakan budaya konsumsi pangan lokal sagu, sehingga terbangun kesadaran sosial ekonominya,”harapnya.
Dr.Erna Rusliana M.Saleh, STP., Msi Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Cabang Ternate sekaligus pengurus pusat mengatakan untuk mengembalikan sagu menjadi tuan di kampungnya, yang utama tetap menjaga kontinuitas produksinya didukung dengan ketersediaan lahan.
Permasalahan teknologi produksi yang kadang menjadi masalah lamanya waktu proses dalam pengolahan, dapat diatasi dengan menyiapkan teknologi tepat guna yang mampu mempersingkat waktu proses. Hal ini mungkin, jika ada political will dari pemerintah yang mendukung petani dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas, tidak hanya segelintir kalangan investor.
Tulisan ini merupakan liputan fellowship kerja sama AJI Indonesia Kurawal Foundation dan Independen.id

CEO Kabar Pulau