Home / Opini

Rabu, 4 Juli 2018 - 02:36 WIT

Pilpres for Safe The People and Nature

Catatan dari  Pojok Jarod

Kita dihentakkan dengan berita  kecelakan mengerikan menimpa anak bangsa ini dalam dua minggu terkahir ini.  Pertama tenggelamnya KM. Sinar Bangun di Danau Toba dalam kedalam lebih dari 400 meter  yang hingga kini 160 jenazah penumpang tidak ditemukan. Lalu kecelakan speedboat di Nunukan- Sebatik yang juga memakan korban. Lalu kemarin kecelakaan kapal di Bulukumba -Selayar Sulawesi Selatan yang  hingga pagi ini korban tewas belum ditemukan, bersama   gaji bulan 13 PNS  sebesar Rp.30 milyar. Mereka  ditelan ganasnya laut Sulawesi… disela-sela itu harga BBM   membumbung dan biaya jalan tol pun mengikutinya.  Padahal gencarnya pembangunan infra struktur yang  dilakukan seyogyanya menurunkan ‘cost of living’ rakyat.  Tetapi di negara ini, logika pembangunan tersebut justeru terbalik.  Fasilitas publik itu justeru menaikkan ongkos tanpa penjelasan jelas.

Kemarin saya mendapat penjelasan dari staff  Bank Mandiri bahwa kurs rupiah jatuh gemulai tak berdaya pada Rp.14.500 lebih per dollar. Teman seorang pengusaha konveksi turunan India di Pasar Baru menjelaskan sambil  ngopi robusta bahwa dollar menjulang karena bunga Federal Reserve Amerika meningkat. Semalam juga kita  dikejutkan lagi dengan OTT Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, seorang mantan staff Tentara GAM berserta Bupatinya yang mantan komisioner KPU. Di samping ramainya pembahasan peraturan KPU tentang dilarangnya mantan napi korupsi untuk ikut pemilu caleg 2019.

Dari semua hot isyu itu,  tentu yang mengenaskan adalah kecelakaan laut yang memakan korban nyawa anak bangsa. Betapa ‘standard safety of life’ kita  demikian rendah. Sejak jaman mahasiswa saya telah mengikuti mata kuliah tentang hukum laut dimana ada Konvensi SOLAS (Safety of Life at Sea), sebuah ketentuan internasional tentang keselamatan di laut yang harus dipatuhi oleh semua pengguna kendaraan di laut.

Baca Juga  Makna Lelayan Bagi Orang Patani, Maba dan Weda

Sebagai bangsa kepulauan dengan 17 ribu pulau, seharusnya infra struktur yang dibangun dengan tema maritim dan kepulauan ini mengutamakan kenyamanan dan keamanan anak bangsa dalam menggunakan transportasi antar pulaunya. Bukan sekedar jalan tol yang melayani kota-kota  utama belaka. Tetapi disela sela mirisnya nurani melihat fakta minor ini, kita masih juga gencar mengemuka dalam hal mengejar kekuasaan di tahun politik ini.  

Lalu apakah fungsi politik jika pelayanan struktur negara beserta perangkatnya masih mengabaikan keselamatan rakyatnya. Gunawan Mohamad menulis Catatan pinggir senin lalu berjudul Populi. Mengangkat frasa Latin vox populi fox dei. Seakan menghentak kita bahwa populi itu akan terkesploitasi dalam  momentum-momentum politik,  lalu mengabaikan populi itu memperoleh ‘safety’ dan ‘prosperity’ nya. Saya jadi teringat sebuah buku seorang    cendikiawan aktivis Ciputat yang sudah almarhum, menulis buku dengan judul sangat provokatif Hancurnya Teori-teori  Pembangunan. Buku tersebut  seakan menguliti bahwa ideologi pembangunan kita ternyata banyak kelirunya ketika mengabaikan dimensi-dimensi  fundamental kemanusiaan itu sendiri. Kemarin sambil membahas kemenangan Tim Samba Brazil atas Mexico, teman di sebuah grup  WhatsAPP  membahas tentang ekonomi Brazil yang tidak memberi pilihan lain, jadi pemain bola handal atau miskin. Padahal itu fenomena Amerika Latin, opsi menjadi pemain bola atau pedagang narkoba karena hidup demikian sempit memberi pilihan. Beberapa  waktu lalu saya mengelilingi Mexico, negeri yang berbatasan dengan raksasa Amerika Serikat itupun memiliki demikian banyak kantong-kantong   kemiskinannya. Dan  ada 75 eksekutif anak Indonesia menjadi eksekutif top pada korporasi telkomnya yang dimiliki seorang turunan Arab Lebanon yang kaya di tengah kemiskinan rakyat yang penggila sepak bola itu. Mungkin kampanye Presiden 2019 harus mengganti hastagnya menjadi “Pilpres for Safe The People and The Nature.” Agar berkuasa tidak sekedar  memenuhi syahwat politik semata mata.  Berkuasa dengan jalan menggadaikan ekologi dan SDA lokal  juga harus nya dihindari.  

Baca Juga  Selustrum Lara Pesisir dan Pulau Kecil di Malut  

Maluku Utara adalah termasuk dalam kategori terakhir ini. Sementara sebagai anak negeri, tanpa sadar kita digiring menjadi pion-pion  kecil yang ditabrakkan sana-sini untuk kepentingan korporasi pemilik modal entah asing dan domestik untuk mendorong kekuasaan yang destruktif pada ekologi SDA kita. Kitapun disibukkan dengan isyu-isyu  permukaan yang demikian menyita energi hingga melupakan agenda-agenda  substantif  bahwa kita tengah digerogoti, dieksploitasi, sebagaimana sejarah masa silam kita. Ketika bersentuhan dengan dengan manca negara.  Bahkan “Rainha Boki Cili Nukila” yang ahli tajwid dan pemimpin jihad itu itupun, meninggal dalam keadaan ‘murtad.’ Menurut Prof. Toety Heraty Nuradi. Inilah tragedi paling mengenaskan yang menimpa seorang ratu abad ke 16 dalam sejarah Nusantara.(*)

Share :

Baca Juga

Opini

Dua Hari yang Sunyi di Bumi Maluku Utara 

Opini

Titik Nol Jalur Rempah Dunia:(1)

Opini

Potensi Geothermal Idamdehe Halmahera Barat  

Opini

Doho-doho Kemerdekaan  

Opini

Makna Lelayan Bagi Orang Patani, Maba dan Weda

LAUT dan Pesisir

Desentralisasi  atau  Sentralisasi  Kelautan?

Opini

Buku Adalah Subversif ?

Opini

Menelisik Implementasi Kota Jasa berbasis Agro-marine Kota Tidore Kepulauan