Tiga Taman Wisata Perairan (TWP) yang telah dtetapkan memiliki berbagai keunggulan. Terutama potensi ekologis baik di dalam laut maupun di kawasan pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang maupun padang lamun dan biota di dalamnya. Sesuai data Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Wisata Perairan TWP 2020-2040, ketiga TWP yang telah ditetapkan itu memiliki kekayaan dan keunikan penting bagi konservasi sehingga layak dilindungi. “Soal keunggulan dan potensi yang dimiliki tiap KKP, sebelumnya sudah dilaksanakan kajian oleh Tim Teknis. Ini dilakukan sebelum pencadangannya ditetapkan Bupati, walikota, atau gubernur,” jelas Safrudin Turuy.
Di TWP Pulau Rao-Tanjung Dehegila misalnya, sesuai data dokumen rencana zonasi TWP tersebut, merupakan bagian dari pengembangan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Kabupaten Pulau Morotai. Walaupun lokasi program SKPT berpusat di Desa Daeo Majiko, tetapi pengembangannya juga melibatkan sejumlah kawasan lainnya seperti Pulau Galo Galo, Pulau Kolorai, Pulau Rao dan sekitarnya yang berada dalam KKP. Kawasan Galo galo dan Kolorai merupakan daerah penangkapan ikan utama untuk ikan demersal terutama kerapu. Selain perikaqnan demersal, kedua pulau ini juga merupakan kawasan penting untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Selain untuk pengembangan sektor perikanan tangkap dan perikanan budidaya, SKPT Pulau Morotai juga menargetkan pengembangan pariwisata bahari di kawasan ini.
“Selain sebagai salah satu kawasan strategis untuk pengembangan SKPT, kawasan sekitar Pulau Rao-Tanjung Dehegila juga merupakan bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Morotai berdasarkan Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2014. Pengembangan kawasan ini ditujukan untuk pengolahan ekspor, logistik, industri dan pariwisata,” katanya.
Dijelaskan lagi, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 mengenai Proyek Strategis Nasional, kawasan Morotai merupakan salah satu dari 10 destinasi pariwisata prioritas dengan Daya Tarik Pariwisata tersebar di Taman Laut Selat Morotai, Pulau Rao, dan Pulau Zum-Zum.
Kegiatan pemanfaatan di perairan Pulau Rao-Tanjung Dehegila sebagian besar adalah kegiatan pariwisata untuk penyelaman, snorkeling, wisata pantai, dan wisata perikanan. Selain itu karena dukungan lainnya Morotai memiliki banyak situs sejarah berupa peninggalan perang dunia kedua dan kapal karam di perairan Selatan Barat. Selain itu, terdapat juga lokasi budidaya rumput laut dan karamba jaring apung, serta pemanfaatan perikanan demersal dan pelagis. Perairan di Pulau Morotai juga dimanfaatkan sebagai alur pelayaran baik lokal, regional maupun nasional.
TWP Pulau Rao-Tanjung Dehegila awalnya didirikan sebagai kawasan perlindungan jenis penyu di mana pengembangan kawasannya ditujukan untuk perlindungan habitat peneluran dan penetasan alami, penangkaran semi-alami, dan taman ekowisata penyu. “Berdasarkan pemetaan penyu yang dilakukan WWF, Pulau Morotai merupakan kawasan penting terutama untuk jenis penyu belimbing dan hijau. Kawasan sekitar Pulau Morotai merupakan salah satu kawasan peneluran jenis penyu Belimbing. Sedangkan untuk jenis penyu hijau, TWP Pulau Rao-Tanjung Dehegila merupakan jalur migrasi penyu hijau dari daerah kepala burung Papua Barat ke Kepulauan Derawan di Kalimantan Timur dan Filipina,” tulis dokumen tersebut.
Masih berdasarkan dokumen perencanaan itu, menyebutkan bahwa pengelolaan KKP Pulau Rao-Tanjung Dehegila ditujukan untuk melindungi tiga ekosistem pesisir utama yaitu terumbu karang, lamun dan mangrove serta satwa laut kharismatik seperti dugong, pari manta, hiu paus dan dilindungi yaitu lumba-lumba dan penyu. Untuk ekosistem terumbu karang di TWP Pulau Rao-Tanjung Dehegila memiliki luas lebih kurang 4.635,03 hektar dengan kondisi penutupan karang hidup yang relatif baik. Ekosistem terumbu karang memiliki beragam fungsi ekologis bagi wilayah Morotai dalam mendukung keberlangsungan sumber daya ikan serta potensi ekonomis dari kegiatan pariwisata bahari berkelanjutan. “Berdasarkan hal tersebut ekosistem terumbu karang layak dijadikan prioritas utama target konservasi di KKP Pulau Rao-Tanjung Dehegila,” jelas Safrudin.
Begitu juga mangrove. Merupakan ekosistem pesisir penting dalam menunjang kehidupan biota laut maupun darat serta perlindungan wilayah pesisir. Fungsi mangrove secara spesifik antara lain sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Sebagai pemasok berbagi jenis larva ikan maupun udang serta biota laut lainnya. Perangkap sedimen dari daratan dan penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove. Sebagai peredam gelombang, arus, angin dan pelindung pantai dari abrasi. Sebagai tempat proses daur ulang yang menghasilkan oksigen.
Mangrove di dalam kawasan Pulau Rao-Tanjung Dehegila berada di sebelah barat pesisir Pulau Morotai dan beberapa pulau kecil lainnya dengan luas lebih kurang 84,61 Ha dengan 11 jenis mangrove. Keberadaan mangrove di kawasan ini dapat berfungsi sebagai penahan abrasi serta fungsi lainnya seperti daerah pengasuhan, perkembangan benih ikan maupun perangkap sedimen sehingga layak dijadikan salah satu target konservasi di TWP Pulau Rao–Tanjung Dehegila.
Padang Lamun. Secara umum ekosistem ini berhubungan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang dimana padang lamun terletak di antara kedua ekosistem tersebut. Ekosistem lamun berfungsi sebagai penyangga ekosistem terumbu karang, peredam gelombang dan arus, perangkap sedimen, tempat asuhan, tempat mencari makan, tempat pemijahan, beberapa jenis biota laut seperti jenis ikan maupun udang sehingga sangat penting untuk dijaga keberadaannya.
“Luasan padang lamun di kawasan konservasi adalah 2.188,54 hektar dengan tujuh jenis lamun antara lain Enhalus acoroides, Halophila spinulosa, Halophila ovalis, Cymodocea ratundata, Cymodocea serullata, Halodule pinifolia, dan Thallassia hemprichii ,” jelas Safrudin lagi.
Wilayah perairan Pulau Morotai dan pulau-pulau kecil di sekitarnya diketahui sebagai habitat alami bagi berbagai jenis hiu, salah satunya hiu sirip hitam (Carcharinus melanopterus) dan hiu sirip putih (Triaenodon obesus), beberapa jenis penyu serta dugong. Keberadaan hiu di Morotai menjadi salah satu ikon yang menjadikan Morotai sebagai salah satu destinasi pariwisata yang terkenal untuk menyelam melihat hiu (shark diving).
Penyu merupakan satwa laut dilindungi yang sering ditemukan di perairan Morotai., terdiri dari 4 jenis yaitu penyu sisik, hijau, belimbing, dan lekang. Penyu mendapatkan ancaman cukup serius dari masyarakat setempat yaitu konsumsi telur dan dagingnya, meskipun hanya sebatas untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yang telah berlangsung sejak dahulu. Masyarakat setempat pernah memanfaatkan karapas penyu untuk membuat perhiasan seperti cincin, gelangdan sisir dalam jumlah kecil.
Dugong merupakan satwa kharismatik dilindungi lainnya yang ditemukan di perairan Morotai, khususnya di wilayah KKP Pulau Rao-Tanjung Dehegila. Informasi mengenai sebaran dan jumlah populasi dugong di Rao-Tanjung Dehegila masih masih sangat terbatas. “Berdasarkan informasi di atas, kelompok hiu, penyu dan dugong harus menjadi target konservasi di KKP Pulau Rao-Tanjung Dehegila.” Katanya.
Taman wisata perairan (TWP) yang sangat dekat dengan Ternate dan telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan adalah kawasan laut Pulau Mare. TWP ini ternyata memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang berlimpah.
TWP Pulau Mare sendiri memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang cukup baik. Ditemukan tiga ekosistem pesisir penting yaitu terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Sedikitnya 60 genus karang dengan luasan terumbu mencapai146,19 ha dan 264 jenis ikan karang dari 110 genus dapat ditemukan di perairan Pulau Mare. Lima jenis mangrove tersebar di sebelah Selatan Pulau Mare dengan luas 32,81 hektar (termasuk mangrove pesisir dan daratan). Padang lamun dengan luasan 60,09 hektar juga merupakan salah satu habitat penting yang dapat ditemukan di pesisir Pulau Mare. Salah satu spesies kharismatik yaitu lumba-lumba (famili: Delphinidae), sering kali dijumpai di lokasi bernama Kahiya Masolo –suatu tempat yang diyakini masyarakat di Pulau Mare sebagai tempat istirahat lumba-lumba. Kahiya Masolo menjadi salah satu daya tarik wisata yang bisa dikembangkan di Pulau Mare. Selain potensi sumber daya yang cukup tinggi, perairan Pulau Mare juga rentan terhadap kegiatan manusia, seperti penggunaan bom dan bius untuk menangkap ikan, penggunaan kalase, serta penebangan pohon mangrove. Aktivitas ini bila tidak ditangani akan menyebabkan kerusakan ekosistem penting yang berakibat terganggunya habitat dan sumberdaya.
Potensi ini perlu dikelola dengan baik demi menjamin keberlanglangsungan sumber daya dan kesejahteraan masyarakat sehingga ancaman dapat ditekan bahkan dihilangkan. Pendekatan konservasi dipilih untuk dapat melindungi, merehabilitasi dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara berkelanjutan. Pendekatan konservasi ini perlu dituangkan dalam dokumen Rencana Pengelelolaan dan Zonasi (RPZ) yang dapat memandu implementasi kegiatan pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP)Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Mare.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan telah mencadangkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Pulau Mare seluas 2.810 ha melalui Surat Keputusan Walikota Tidore Kepulauan Nomor 72.2 tahun 2012 dengan tipe kawasan Suaka Pulau Kecil (SPK). Namun dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan perubahan yang signifikan terutama mengenai kewenangan pengelolaan perairan. sehingga kewenangan daerah kabupaten/kota dalam pengelolaan kawasan konservasi diserahkan ke Provinsi. Oleh karena itu, melalui berita acara serah terima sarana prasarana dan dokumen pencadangan kawasan konservasi dari Pemerintah Kota Tidore Kepulauan kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara dengan Nomor 13/BA/01.2/2017 tanggal 21 Agustus 2017. Berdasarkan berita acara itu, Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan verifikasi sekaligus survei untuk penyusunan RPZ kawasan konservasi Pulau Mare pada tahun 2017.
Pada 2018, Provinsi Maluku Utara menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor2 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Di dalam pasal 21 disebutkan luas Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K)Pulau Mare dialokasikan menjadi sebesar 7.092,59 ha. Dengan demikian terdapat penambahan luasan kawasan sebesar 4,282.56 ha atau 38,62 %. Dengan penyesuaian peta rupa bumi terbaru, luasan kawasan TWP Pulau Mare menjadi 7.060,87 ha. Setelah dilakukan penentuan tipe kawasan KKP3K Pulau Mare berdasarkan hasil analisis kriteria diperoleh rekomendasi utamanya adalah Taman Pulau Kecil (TPK) Pulau Mare. Namun demikian pengelolaan kawasan konservasi Pulau Mare hanya berupa perairan saja dan tidak melingkupi wilayah pulaunya, maka penilaian tipe kawasan ditinjau kembali. Hasil peninjauan kembali tipe kawasan KKP/KKP3K, Pulau Mare direkomendasikan sebagai Taman Wisata Perairan (TWP).
CEO Kabar Pulau