Perairan Maluku Utara terbilang paling potensial.  Wilayah lautnya   bersinggungan langsung dengan empat Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Keempatnya adalah  WPPNRI 714 (meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), dan 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan Laut Lepas Samudera Pasifik).

Meski memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang sangat potensial, ternyata belum mendapatkan perhatian dalam bentuk dukungan kebijakan yang focus menggenjot potensi yang ada menjadi pendapatan daerah dan bangsa.  Pasalnya  di daerah ini  praktik penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing ) dan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan pelanggaran regulasi (IUUF) masih terus terjadi di seluruh wilayah perairan Maluku Utara.

Praktik perikanan merusak ini  juga terus ada, karena  kurang mendapatkan perhatian keseluruhan dalam tata kelola perikanan secara nasional. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim belum  lama  ini  di Jakarta, menyampaikan bahwa Maluku Utara menjadi korban dari kebijakan perikanan nasional yang telah dibuat dan dijalankan Pemerintah Pusat. Menurut Abdul Halim, permasalahan utama yang sampai saat ini belum dipecahkan, adalah kurangnya Pemerintah menerapkan kegiatan pemantauan ( monitor ), pengendalian ( control ), dan pengawasan (surveillance ) atau MCS sebagai parameter utama.

Padahal, pelaksanaan MCS di laut, diyakini akan menjadi jalan untuk membawa potensi perikanan menjadi lebih bermanfaat sebanyak-banyaknya. Kegiatan MCS tentunya harus mendapatkan dukungan berupa kebijakan, anggaran, dan kelembagaan. Parameter itu belum dijalankan sampai saat ini. Meskipun demikian, Pemerintah Pusat telah menetapkan perairan Maluku dan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional (LIN). Menurutnya  tanpa MCS yang berkesinambungan, akan muncul dampak negatif di laut.

“Pemerintah Pusat belum bersungguh-sungguh membangun wilayah perairan Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional,” ucapnya.

Halim mengungkapkan, tanpa ada peningkatan kapasitas MSC dalam menjalankan tata kelola perikanan di wilayah perairan Maluku Utara,  bisa dipastikan akan muncul aktivitas negatif seperti illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF) dan destruktif fishing. Akibat semakin banyaknya dua kegiatan itu, Provinsi Maluku Utara pasrah akan banyak kehilangan pendapatan asli daerah (PAD). Dampak lainnya tidak bisa diabaikan, IUUF dan penangkapan ikan destruktif akan mengabaikan kesejahteraan nelayan makin kecil.

“(Pejabat) Jakarta dan Sofifi (ibu kota Maluku Utara) harus duduk bersama untuk mereorientasikan kebijakan, anggaran, dan kelembagaan MCS dalam rangka memerangi praktik penangkapan ikan yang merusak dan IUU ,” tegasnya.

Dia mengatakan, perairan Maluku Utara menjadi tempat berkumpulnya ikan-ikan pelagis besar seperti tuna ( Thunnus spp ), cakalang ( Katsuwonus pelamis ), dan tongkol ( Eutinus sp ). Ketiga jenis ikan  itu dikenal luas sebagai komoditas dengan singkatan TCT.  Tiga ikan  itu menjadi komoditas andalan Indonesia untuk diekspor ke Vietnam, Thailand, Filipina, Singapura, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Tidak heran, jika nelayan  di Maluku Utara semuanya hampir pasti profesinya adalah penangkap TCT.

Tingginya produksi tuna, cakalang, dan tongkol membuat Pemerintah tertarik untuk menjadikan Maluku dan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional (LIN), seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.

BPS Maluku Utara  merilis fakta Persentase penduduk miskin pada September 2024 sebesar 15,78 persen, turun 0,27 persen poin terhadap Maret 2024. Meski turun  jumlah penduduk miskin pada September 2024 mencapai  293,99 ribu orang, turun 3,7 ribu orang per Maret 2024.

Fakta tersebut menjadi suatu bentuk ironis, karena menurut Abdul Halim, sumber daya ikan (SDI) di Maluku Utara sangatlah besar. Seharusnya, masyarakat kecil bisa menikmati kekayaan alam tersebut.

Sumber Masalah

Dikutip dari situs  Mongabay.co.id,  ada beberapa persoalan yang membuat kemiskinan terus meningkat, serta SDI tidak dikelola dengan baik. Persoalan itu berkaitan erat dengan awal penerbitan regulasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mendukung tata kelola perikanan nasional.

Pertama, adalah kebijakan cipta kerja yang ditegaskan Pasal 27A ayat (3) Undang-Undang No.6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2/2022 tentang Cipta Kerja.

Abdul Halim menilai, Perpu tersebut memicu dibukanya kembali akses penangkapan ikan kepada ikan asing (KIA) dengan tonase besar yang akan beroperasi di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).

Kehadiran KIA diyakini hanya akan meluluhlantakkan para nelayan kecil dan tradisional yang selama ini biasa menangkap TCT sebagai komoditas andalan. Mereka tak akan bisa bersaing dengan kapal canggih dan bertonase besar. Kedua, regulasi tentang kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) melalui pasal 2 ayat 5c dan pasal 19 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Peraturan tersebut memicu wilayah perairan Maluku Utara masuk ke dalam Zona 3 PIT.

Penetapan zona tersebut menjelaskan kalau perairan Maluku Utara masuk dalam kategori perairan yang terbuka untuk penanaman modal asing skala industri. Selain itu, PP PIT juga memblehkan kapal pengangkut ikan asing untuk melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan (negara asal).

Ketiga, Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. PP DHE tersebut memicu usaha perikanan yang berorientasi ekspor akan mengubah destinasi pasar produknya, dari luar ke dalam negeri.

Alasan tersebut muncul, karena diperkirakan para pelaku usaha skala kecil akan terbebani jika aturan tentang hasil 30 persen dari ekspor harus diendapkan dulu, kemudian diterapkan. Aturan tersebut, akan memicu perubahan target pasar dari luar negeri ke dalam negeri.

Selain regulasi, permasalahan lainnya adalah karena kebijakan yang diterapkan tidak berhasil melampaui wilayah perairan yang ada. Saat ini, Halim menyebut kalau cakupan wilayah perairan di perairan Maluku Utara masih kurang dari 65 persen.

Kemudian, alokasi anggaran untuk pengawasan di perairan Maluku Utara juga hanya mencapai Rp400 juta atau setara 16 hari operasi patroli. Terakhir, masih lemahnya sumber daya manusia (SDM), baik tenaga penyidik ​​pegawai negeri sipil perikanan (PPNSP) ataupun tenaga di pelabuhan.

Diketahui, penetapan Maluku Utara menjadi bagian dari LIN bersama Maluku, dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada tahun 2021. Saat itu, Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku dipilih menjadi pusat LIN. Konsep LIN ini dicanangkan masuk sebagai proyek strategis nasional (PSN) yang nilai investasinya cukup besar karena akan ada pembangunan pelabuhan laut dan kawasan industri terpadu di kawasan Indonesia Timur.

Dikutip dari https://kumparan.com/zacilasi-wasia/3-program-strategis-nasional-psn-di-maluku-antara-narasi-dan-implementasi-24fS04heI8b/2) disebutkan bahwa Presiden Prabowo, pada 10 Februari 2025 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang mencakup 77 proyek dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).  Di antara 77 PSN tersebut, 3 diantaranya berada di Provinsi Maluku  dan salah satunya  yakni Pengembangan Pelabuhan Ambon Terpadu, PSN pengembangan pelabuhan Ambon Terpadu ini merupakan PSN   baru akan digarap pemerintahan Prabowo.

PSN ini sebenarnya adalah program Lumbung Ikan Nasional (LIN) sebagaimana pernah dijanjikan  presiden SBY dan Jokowi tetapi tidak pernah dijalankan.  PSN ini   masuk ke  dalam RPJM  tetapi tidak serta merta menjamin bahwa PSN tersebut akan dilaksanakan. Apalagi saat ini Negara sedang gencar-gencarnya melakukan   efesiensi anggaran  melalui  Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Beberapa kementrian yang mendapat pemotongan anggaran  salah satunya  adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).  Beberapa waktu lalu  melalui Menteri Wahyu Sakti Trenggono  mengatakan, anggaran KKP dipangkas Rp 2,12 triliun dari pagu anggaran semula Rp 6,22 triliun. “Dengan demikian, pagu anggaran KKP 2025 pasca rekonstruksi sebesar Rp. 4,10 triliun,”. Kementerian  ini  paling bertanggung jawab untuk melaksanakan PSN tersebut,  sedang menghadapi  efisensi anggaran. (Mahmud Ichi)