Ancaman Rusaknya Pesisir Laut Maluku Utara
Pesisir dan Pulau pulau kecil di Maluku Utara rentan dari ancaman industry tambang dan sawit. Tidak hanya di kawasan pesisir ancamanya sampai bawah lautnya. Hal ini mengemuka dalam workshop Telaah Kebijakan Pembangunan Industri Berbasis Kawasan dalam Upaya Adaptasi Ancaman Perubahan Iklim dan Bencana Ekologi di Maluku Utara yang digelar WALHI Maluku Utara Kamis (16/6/2022). Kegiatan ini menghadirkan dua pembicara yang diikuti lembaga anggota WALHI Maluku Utara.
Dr Adityawan Ahmad membedah pembangunan pesisir dan pulau pulau kecil di Maluku Utara. Adityawan dalam pemaparanya menjelaskan, kerusakan yang terjadi di alam terutama kawasan pesisir dan pulau pulau kecil karena adanya aktivitas manusia. Hadirnya beberapa regulasi berupa Undang undang nomor 26 tahun 2007 dan Undang undang nomor 27 2007 untuk mengatur adanya penataan ruang serta Undang- undang tentang pengelolaan Pesisir dan Pulau pulau kecil. Regulasi ini ada untuk mengatur kawasan budidaya, kawasan konservasi atau perlindungan. Banyaknya aktivitas tersebut maka perlu diatur dengan undang –undang.
Dia bilang yang dimaksud dengan pesisir adalah daerah peralihan darat laut. Berdasarkan defenisi pesisir maka wilayah Maluku Utara semua termasuk pesisir.

Dia bilang di kawasan pesisir itu ada 3 ekosistem di dalamnya ekosistem mangrove, lamun atau orang Malut mengenalnya dengan gusungi serta terumbu karang.
Terumbu karang misalnya, sangat rentan dengan adanya dampak sedimentasi akibat aktivitas tambang.Selain itu dampak perubahan iklim juga rentan merusak terumbu karang akibat adanya bleaching.
Dia bilang lagi, bicara pulau kecil itu bicara soal daya dukung. Persoalan industry pertambangan, perkebunan monokultur serta pembangunan tambak yang menghilangkan hutan mangrove secara massive adalah sebuah persoalan yang serius menyangkut pesisir dan pulau pulau kecil. Orang menghitung tambang lebih menguntungkan secara ekonomi karena dampak secara langsung sementara bicara ekologi itu dampak secara tidak langsung. Ini yang jadi perdebatan dan sulit didapatkan titik temunya.Seringkali keuntungan secara ekologi itu diabaikan.
Dedy Abdul Kadir Arief yang juga ahli Geologi Maluku Utara memberi gambaran tentang kondisi geologi Maluku Utara dan kerentanannya dengan bencana. Baik akibat eksploitasi tambang maupun dampak perubahan iklim.
Menurut Dedy konsep pulau di Maluku Utara terbangun sejak awal pembentukannya yakni zaman jura atau dari carbon ke jura 145 juta tahun yang lalu. Hal ini mempengaruhi mitigasi daerah daerah maritime seperti sekarang.

Awalnya bumi Maluku Utara ini satu daratan dengan Australia, India dan Cina namun karena ada aktivitas tektonik dan memunculkan proses vulkanik. Proses carbon ke jura menyebabkan terjadinya proses tektonik dan vulkanik yang sangat luar biasa.
“Proses vulkanik terjadi karena ada aktivitas tektonik. Sisa jura ditemukan dalam penyusunan bumi Sula dan Obi saat ini,” jelasnya.
Dia contohkan garis Wallacea misalnya mengikuti garis proses tektonis yang pernah terjadi.
Halmahera kata dua dibentuk oleh tiga lempengan yang bergerak simultan secara bersamaan. Halmahera juga memiliki sejarah tsunami yang sangat hebat.
Karena itu kata dia Maluku Utara dari sisi kebencanaan sangat komplit, baik bencana geologi, hydrometerologi dan perubahn iklim. Bumi Maluku Utara dalam support aktivitas magma itu sangat kuat. “Maluku Utara itu berada di tepi lempeng dan berada di belakang busur vulkanik. Jadi kalau dianalogikan Malut tidur di atas bara api. Hidup di mana saja di Maluku Utara ini tetap berada di daerah vulkanis. Ambil contoh saat riset gempa swarm di Gunung Jailolo ditemukan magmanya berada di kedalaman sekira 10 kilometer. Semakin lama magmanya semakin dekat kurang lebih 7 sampai 8 kilometer.
Dari semua proses alam dan dampaknya, yang perlu dilakukan adalah mengintervensi kebijakan yang berpihak pada mitigasi bencana. Baik tektonik, aktivitas vulkanis maupun bencana hydrometeorolgi dan dampak perubahan iklim. (*)
Sementara menurut WALHI Maluku Utara yang merupakan Provinsi Kepulauan, memiliki 837 pulau besar dan kecil (KKP, 2022) dengan 89 pulau yang telah dihuni manusia sementara sisanya belum berpenduduk merupakan gugusan kepulauan dengan rasio daratan dan perairan 24 : 76, atau luas lautan ± 100.731,83 km2 .

Artinya lebih besar dari luas daratan yang hanya ± 45.087,27 km2 dari total luas wilayah yang
mencapai ± 145.819,1 km2.
Namun, dalam proses pemanfaatan pulau-pulau kecil, masih banyak pihak yang kurang bijak hingga melanggar peraturan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem pada pulau tersebut. Sebagai contoh penambangan, perubahan alih fungsi lahan, pemanfaatan berlebihan dan lain
sebagainya. Hal tersebut tidak hanya merugikan negara dan lingkungan namun juga masyarakat yang biasanya secara langsung merasakan dampak dari kegiatan tersebut. Misalnya berkurangnya penghasilan hingga kehilangan mata pencaharian.
Tercatat ada 124 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang bercokol di Maluku Utara dengan luas konsesi mencapai satu juta hektar. Masifnya konsesi pertambangan tersebut tidak hanya berada di pulau besar Halmahera, namun juga mengekspansi hingga ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Pakal, Mabuli, dan Gee di Halmahera Timur, Gebe di Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Taliabu, dan Pulau Obi di Halmahera Selatan.
Selain izin pertambangan, Maluku Utara tengah berhadapan dengan ekspansi industri perkebunan monokultur sawit di Gane, Halmahera Selatan, yaitu Korindo Group melalui anak usahanya PT. GMM. Belasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman
Industri (HTI) juga giat meratakan hutan di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Pulau Obi.

“Keberadaan industri tambang, sawit, dan konsesi hutan telah berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan di Maluku Utara. Di Kabupaten Halmahera Timur sejak tahun
2004-2018 terjadi penurunan profesi nelayan dari 8.587 orang menjadi 3.532 orang. Ke korporasi tidak terlepas dari “karpet merah” pemerintah, menghendaki ragam kisah pilu tentang perampasan lahan di ruang produksi warga, pencemaran air/tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan mempercepat laju deforestasi hutan, menjadi kian terasa dewasa ini,” jelas Dirktur WALHI Maluku Utara Faisal Ratuela. Dia bilang lagi dalam jangka panjang, pulau-pulau bisa lenyap. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2011 menyebutkan sebanyak 28 pulau kecil di Indonesia telah tenggelam dan 24 pulau kecil lainnya terancam. Kajian riset asal Inggris, Verisk Maplecroft, soal dampak perubahan iklim memperkirakan 1.500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam pada 2050 seiring dengan naiknya permukaan air laut.Sementara saat ini juga tengah diperhadapkan dengan ancaman regulasi, khususnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba, reklamasi pantai, industri ekstraktif pertambangan, serta minimnya
alokasi ruang nelayan dalam RZWP3K. Alokasi ruang pemukiman untuk nelayan hanya 168,50 hektar sebagaimana tercatat dalam dalam RZWP3K Maluku Utara. Luasan ini tidak sebanding dengan jumlah nelayan di Maluku Utara sebanyak 26 ribu jiwa. (*)

CEO Kabar Pulau