Terjualnya kebun sagu ikut memunculkan kekuatiran luar biasa terkait nasib pangan warga Sagea Weda Utara Halmahera Tengah Maluku Utara di masa depan. Saat ini pangan lokal seperti pisang, singkong dan keladi saja hamper semua didatangkan dari luar daerah. Karena itu jika lahan sagu yang sudah terjual digusur perusahaan, pupuslah harapan warga setempat bisa mendapatkan sagu sebagai cadangan pangan lokal di masa depan. Anwar Ismail salah satu warga Sagea yang juga dulu menjadi pengolah sagu menyampaikan bahwa, saat ini saja mereka sudah sulit apalagi nasib generasi di masa depan.
“Yang terjadi sekarang ini warga sudah tidak lagi mengolah sagu pasca masuknya industri tambang. Apalagi untuk generasi anak cucu kita,” katanya. Sekarang ini kebiasaan mengolah sagu sudah ditinggalkan. Jika begini kondisinya, tradisi olah sagu ini dipastikan hilang. Di Sagea dari 1317 jiwa, tersisa dua orang tetap mengolah sagu. “Setahu saya ada dua orang masih olah sagu. Ada Abdurahman dan Slamet. Slamet ini berasal dari Suku Jawa yang menikah dengan perempuan Sagea memilih mengolah sagu sebagai mata pencarian,” jelasnya.
Aktivitas keduanya tidak hanya untuk mendapatkan bahan makanan sehari- hari tetapi juga menjadi sumber pendapatan.
Dia bilang, olah sagu sebenarnya menjadi pekerjaan utama warga sebelum perusahaan tambang masuk ke daerah Weda. Mayoritas warga menjadikan sagu tidak hanya sebagai sumber pangan tetapi juga pendapatan.
Sementara Abdurahman Jabir kepada Kabarpulau.co.id, bercerita, dia mengolah sagu sudah hamper 20 tahun. Dari sagu dia bisa mendapatkan uang dan makanan untuk keberlanjutan hidupnya.
“Orang yang masih olah sagu di Sagea ini tersisa saya dan Slamet. Bahalo sagu (mengolah sagu,red) ini torang pe karja tiap hari (kami sudah jadikan pekerjaan utama,red). Ada perusahaan tambang nikel beroperasi, tapi pilih olah pohon sagu yang tersisa di kampong Sagea ini,” kata Abdurahman akhir Desember 2023 lalu.
Dia mengaku olah sagu ini memberikan pendapatan harian sangat lumayan. Sehari bekerja bisa dapatkan makanan juga uang. Bisa dikerjakan sendiri dalam sehari bisa dapat uang ratusan ribu. Tepung sagu yang dihasilkan juga tidak perlu menunggu lama agar bisa laku. Sebab sudah ada pemesan.
“Hasil kerja olah sagu sehari sebelumnya sebanyak 2 karung, telah dibayar warga kampung. Per karung Rp300 ribu. Jadi dalam sehari, mampu menghasilkan uang Rp600 ribu. Itu juga sudah ada tepung sagu yang bisa dimasak untuk papeda atau dibuatkan makanan lain,”katanya.
Dia bilang, olah sagu ini sangat mudah mendapatkan uang dibanding harus bekerja di perusahaan tambang. “Kerja di tambang itu harus disiplin dan penuh waktu,”ujarnya. Dibanding mengolah sagu, bekerja dan istrahat diatur sesuka hati. Jika mau memforsir bekerja 7 atau 8 jam dikerjakan sendiri atau juga bersama teman.
“Saya biasanya kerjakan sendiri. Hanya saja kali ini karena ada paman mau sama- sama olah sagu untuk makanan, maka kita bersama olah satu pohon sagu. Dikerjakan dua orang, dalam sehari dapat tiga karung tepung sagu,” katanya.
Di saat tergerusnya lahan dan semakin tidak tertariknya warga mengolah sagu ini turut mengancam kebiasaan olah sagu yang sudah turun temurun.
“Sebenarnya sagu Sagea menjadi ikon. Di Halmahera Tengah terutama di wilayah Weda orang sangat mengenal sagu Sagea. Seiring waktu lahan sagu terjual serta warga tak lagi olah sagu, kita khawatirkan sagu Sagea bisa hilang,” kata Kepala Desa Sagea Arif Thaib
Aktivitas orang Sagea mengolah sagu ini juga dilakukan jika ada hajatan semisal berduka seperti warga meninggal atau pesta pernikahan. Biasanya warga berkumpul dan yang pertama dilakukan adalah bersama pergi mengolah sagu. Hasilnya dibawa ke rumah yang punya hajatan sebagai salah satu sumber pangan. Tradisi berkumpul dan mengolah sagu itu masih dilakukan hingga kini. “Hal ini bisa tergerus jika lahan -lahan sagu sudah habis terjual,” ujarnya.
Dia bilang lagi, sebelum orang tua- tua menanam kelapa dan diolah menjadi kopra atau pala, warga hidup dari mengolah dan menjual sagu.
Arif mengaku, dulu dia juga menjadi pengolah sagu. Karena itu di saat warga tak lagi tertarik olah sagu seperti sekarang dia kuatirkan identitas mereka bisa hilang. “Kami orang Sagea ini dari lahir dan besar hidup dengan sagu, tetapi sekarang untuk dapat sagu harus beli karena nyaris tidak ada lagi yang olah,” imbuhnya.
Dia mengaku tidak bisa menyalahkan warganya karena mungkin mereka merasa sudah punya uang jadi cukup beli saja.
Terancamnya sagu dari kehidupan warga Sagea ini diakui Subhan Somola pemerhati sagu di Halmahera Tengah. Subhan yang juga pejabat di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Pemkab Halmahera Tengah itu, telah banyak mendampingi kelompok masyarakat pengolah sagu sejak 2010 lalu. Perhatiannya terhadap pengolahan pangan lokal sagu sudah kurang lebih 14 tahun. Perhatian ini sebenarnya kata Subhan karena pohon sagu banyak dibiarkan mati, sementara kebutuhan pangan sagu di masyarakat lokal masih sangat tinggi.
Dia bilang secara ekonomi harga sagu olahan dalam bentuk sagu lempeng di pasaran sangat menggiurkan. Bahkan harganya lebih mahal dari beras.Karena itu mestinya pengelolaan sagu berbasis industri sudah harus didorong oleh Pemda sebagai salah satu program ketahanan pangan lokal yang dapat menghidupi petani sagu yang selama ini hanya menggunakan peralatan seadanyatanpa pendampingan berkelanjutan.
Sejauh ini sudah ada sekira 30-an kelompok kecil di berbagai daerah di Halmahera Tengah didampingi dengan fokus pengolahan Sagu lempeng Rumbia melalui Badan Usaha Milik Desa. Tentu dengan sistem dan manajemen usaha yang teritegrasi dari hulu hingga hilir. Menggunakan kemasan karton yang lebih elegan dan terhormat. Dengan begitu diharapkan sagu bisa naik kelas sebagai pangan yang terhormat di negerinya sendiri.
“Kebutuhan sagu lempeng cukup tinggi, tidak berbanding lurus dengan ketersediannya. Awal kegiatan usaha ini mampu menghasilkan ratusan karton sagu yang terjual. Namun kendala pengolahan sagu di hulu, mengakibatkan kegiatan pengolahan di hilir tidak berjalan baik,” katanya.
Selain itu kelompok-kelompok binaan dampingan juga memiliki problem internal kelompok mengakibatkan kegiatan usahanya tersendat akhirnya vakum usahanya.
Sagu juga sebagai bahan pangan utama masyarakat di bagian Timur Indonesia, sebelum program berbagai bantuan beras untuk rakyat yang dicanangkan pemerintah. Hingga kapan pun Sagu masih sangat layak dikembangkan sebagai bahan pangan lokal di Maluku Utara dan bagian timur Indonesia.
Di Halmahera Tengah terutama daerah lingkar tambang warga sudah malas olah sagu secara umum karena kendala akses jalan ke lokasi lahan/hutan sagu. Perubahan paradigma dan stigma bahwa mengolah sagu itu pekerjaan kotor, susah bahkan tidak menghidupi karena tidak di-manage cara pengelolaan usahanya.
Akhirnya petani sagu tiap kali mengolah, habis juga uangnya. Sagu dianggap tidak berdampak secara ekonomi, juga tidak mensejahterakan petaninya. Soal tambang sebenarnya bukan menjadi alasan utama orang meninggalkan pekerjaan sebagai pengolah sagu, tetapi lebih pada lokasi sagu itu tumbuh sudah dijual pemiliknya atau kawasan hutan sagu dialihfungsikan.
Dr. Erna Rusliana M.Saleh, STP.,Msi Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Cabang Ternate sekaligus pengurus pusat mengatakan, tergerusnya lahan sagu ini adalah hal yang disayangkan karena ini masalah untuk pangan dan non pangan. Sagu adalah sumber daya yang kaya manfaat. Ketika berkurang lahannya, maka banyak manfaat yang hilang. Manfaat sagu dapat diambil dari empulur, daun, pelepah hingga batangnya. Dari empulur didapatkan pati sagu yang manfaatnya sangat luas untuk pangan dan non pangan. Selain industri pangan, pati sagu bermanfaat untuk industri kertas, farmasi, tekstil, pestisida hingga bahan bakar alternative non migas.
Jelasnyadapat dilihat padaPohonIndustri Saguberikut:
Dia bilang, sagu adalah pangan pokok lokal bagi masyarakat di Malut. Sagu sudah menjadi menu alternatif dalam hajatan dan keseharian masyarakat Malut, yang tidak pernah disajikan masyarakat di Jawa, Kalimantan atau Sumatera. Sehingga dari aspek pangan tentu sangat prospektif. Di samping adanya perkiraan ancaman krisis pangan bisa melanda banyak Negara terutama beras dan pangan import, maka sagu sangat prospektif menjadi solusi terhadap hal ini. Khususnya di Maluku Utara yang masyarakatnya telah menjadikan sebagai pangan pokok.
“Sagu memiliki potensi untuk mensubstitusi sumber kabohidrat dari beras atau gandum. Hal ini dikarenakan, dari sekian sumber karbohidrat seperti beras, jagung, kentang, ubi, dan sagu, maka sagu memiliki tingkat produktivitas tertinggi. Produktivitas tanaman Sagu dapat mencapai 10-15 ton/Ha/thn,sedangkan tanaman padi sekitar 3 ton/Ha/thn, tanaman jagung sekitar 5 ton/Ha/thn, tanaman kentang 2,5ton/Ha/thn, tanaman ubi kayu 5-6ton/Ha/thn dan tanaman ubi jalar sekitar 5,5 ton/Ha/thn,” jelasnya.
Dari segi kesehatan sagu merupakan sumber karbohidrat yang sehat terutama bagi kalangan penderita diabetes. Hal ini dikarenakan Indeks Glikemik (IG) sagu yang rendah dibanding beras.IG sagu hanya sekitar 40, sedangkan IG beras 70. Tepung sagu juga termasuk jenis tepung yang bebas Gluten. Gluten sering diasosiasikan dengan penderita alergi, gangguan pencernaan, hingga auto-imun. Sagu juga mengandung antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas di tubuh, mencegah penyakit kronisseperti kanker.
Sehingga jika sagu ini tetap ditanam dan tidak tergerus lahannya maka dia dapat menjadi sumber karbohidrat berproduktifitas tinggi, prospektif dan sehat.
Bagi dia yang utama sebenarnya adalah bukan karena peralihan pangan sagu ke beras, tapi karena peralihan lahan sagu menjadi tambang. Peralihan pangan dari sagu ke beras bukanlah hal baru. Ini sudah terjadi sejak masa Soeharto. Namun berkurangnya pengolahan sagu baru terjadi dalam lima tahun terakhir sejak lahan pertanian khususnya sagu beralih menjadi lahan tambang.
Adanya fakta bahwa pengusaha bihun yang perlu memasok bahan baku sagu dari Riau dan Sumatera karena pati sagu tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha lokal. “Ini manjadi bukti kekurangan pasokan sagu dari dalam Malut, sementara kebutuhan masih tinggi. Dari segi mutu pengusaha mengakui, mutu pati sagu Malut lebih bagus dan bersih,” katanya.
Kandungan dan Manfaat Penting Sagu
Masyarakat Sagu Indonesia merilis kandungan dan manfaat penting sagu. Seperti dijelaskan Ketua Umum nya Prof. Dr. Ir. M.H. Bintoro,M.Agr, seperti dilansir dalam situs (https:// tabloidsinartani.com/detail/ indeks/ pangan/ 17945-Sagu-Bahan-Pangan-Fungsional-dan-Bioindustri) yang diterbutkan pada 27 Agustus 2021 lalu. Melalui penelitian yang dilakukan, ditemukan sagu memiliki nilai gizi tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras. Tepung sagu dan produk olahannya dapat dikelompokkan sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan karbohidrat (84,7%) dan serat pangan (3,69-5,96%) yang cukup tinggi, indeks glikemik rendah, dan mengandung pati resisten, polisakarida bukan pati, dan karbohidrat rantai pendek yang sangat berguna bagi kesehatan.
Sagu memiliki kadar protein rendah dibandingkan bahan pangan lain. Inilah jadi keunggulan, sebab sagu bisa disimpan lama. “Kekurangan protein inilah yang kemudian menjadikan sagu cocok dimakan dengan ikan yang memiliki protein tinggi. Ditambah sayuran sehingga menjadi pangan yang komplit,”jelasnya.
Kandungan kalsium, zat besi dan mineral lainnya dalam tepung sagu dapat membantu memperbaiki tulang dan persendian. Cara kerja sagu akan meningkatkan produksi glukosamin, yang mempengaruhi kepadatan tulang, fleksibilitas, dan gerakan sendi.
Tak hanya itu, tepung sagu dipercaya mampu membantu untuk memperbaiki adanya gangguan pada sistem pencernaan. Diantaranya kembung, sembelit, asam lambung, maag, dan gangguan pencernaan lainnya. Tepung dari sagu bekerja meningkatkan produksi enzim pencernaan dan pergerakan usus secara keseluruhan dengan melindungi usus supaya tidak kering.
Dengan manfaat itu, Bintoro mengajak Kementerian Kesehatan memberi obat jangan hanya resep yang di apotik, tapi juga dari makanan, salah satunya sagu. Tak hanya jadi bahan pangan, sagu yang diolah menjadi tepung kemudian dilakukan hidrolisis menjadi monosakarida (gula). Satu kilogram tepung sagu bisa menjadi 1 kg gula.
Saat petani tebu hanya mampu menyediakan 2 juta ton gula di saat kebutuhan gula mencapai 6 juta ton, maka 4 juta ton kekurangannya bisa dari pengolahan tepung sagu. “Bisa terpenuhi dari 200 ribu hektar sagu saja, untuk kebutuhan gula.
Sagu juga potensial menjadi bahan baku biofuel atau bioetanol, baik dari pati atau ampasnya, sehingga bisa menyumbang penghematan energi. Bisa menjadi bahan tambahan untuk plastik agar mudah terurai di tanah. Selain itu, pati sagu yang diubah susunan kimiawinya bisa menjadi bahan super absorben dan digunakan menjadi pembalut wanita dan pampers bayi.(*)
Tulisan ini merupakan liputan fellowship kerja sama AJI Indonesia Kurawal Foundation dan Independen.id
CEO Kabar Pulau