Nasib Miris PLTS di Pulau-pulau Tak Cuma Bangun, Butuh Keberlanjutan
Tanggal 3 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Surya Sedunia (World Sun Day) dan perayaan ini dilakukan untuk memperingati peran penting matahari sebagai sumber cahaya dan kehangatan bumi. Kemunculan peringatan ini diawali dengan adanya kampanye penggunaan energi ramah lingkungan pada 22 April 1970 lalu. Kampanye itu bertepatan dengan Hari Bumi yang pertama dicetuskan oleh pemerhati lingkungan dari Amerika Serikat bernama Denis Hayes.
Hari Surya Sedunia adalah bentuk kampanye untuk energi matahari yang terbarukan dan rama lingkungan. Peringatan ini juga menyoroti peran penting dari matahari bagi semua mahkluk di bumi.
Denis Hayes mengatakan bahwa masyarakat harus lebih peka terhadap penggunaan dan manfaat dari energi matahari dan gagasannya itu diterima oleh banyak orang, sehingga ditetapkan Hari Surya Sedunia pada 3 Mei 1978.
Bertepatan dengan hari surya itu Halmaherapedia.com ingin melihat sisi lain dari pemanfaatan energy surya itu di negeri pulau pulau ini.
Provinsi Maluku Utara dengan 805 pulau memiliki banyak desa di pulau kecil. Dari total desa, 898 ada di tepi laut. Sementara bukan di tepi laut ada 305 desa. Mayoritas desa di pesisir dan pulau, memikul beban ketersediaan energi listrik yang cukup besar.
Di pulau kecil yang memiliki penghuni belum semua tersedia listrik secara memadai dari Negara (PLN,red). Halmahera Selatan sebagai salah satu kabupaten dengan 300 pulau lebih, memiliki luas wilayah mencapai 40.263,72 km dengan 6 pulau besar yaitu Pulau Obi, Pulau bacan, Pulau Makian, Pulau Kayoa, Pulau Kasiruta, dan Pulau Mandioli.
Halmahera Selatan juga punya banyak pulau kecil. Salah satunya Gugusan Pulau Guraici dengan 17 pulau dan salah satunya Pulau Laigoma. Energi listriknya melalui solar cell dan generator. Di daerah ini sebagian besar desanya memiliki energy listrik yang bersumber dari solar cell.
Salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau solar cell ada di desa Laigoma Kecamatan Kayoa Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara, yang didanai melalui anggaran APBD dilaksanakan sejak akhir 2018. Proyek ini baru bisa dimanfaatkan masyarakat pada 2021 lalu.
Di desa ini juga ada bantuan solar cell menggunakan APBN datang dari Kementerian ESDM. Ada panel dan 4 mata lampu diserahkan langsung ke warga dan dipasang di masing- masing rumah.
“Melalui Kementerian ESDM juga telah dibagikan bantuan panel solar cell dan fasilitas pendukungnya ke setiap rumah. Bahkan sudah bisa dimanfaatkan masyarakat beberapa tahun sebelumnya,” jelas Amir Ibrahim Ketua BPD Desa Laigoma belum lama ini.
Untuk proyek panel solar cell dan fasilitas pendukungnya melalui dana APBD, dimanfaatkan kurang lebih 1,5 tahun. Kini telah alami kerusakan dan menunggu keputusan pemerintah desa menglokasikan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk perbaikan.
Kerusakan PLTS ini ditengarai karena penggunaan berlebihan. Jka biaya perbaikannya besar maka berat juga menggunakan dana ADD. Pemerintah desa baru akan mengambil langkah perbaikan. Sudah ada rencana perbaikan dalam waktu dekat.
Kerusakan PLTS sendiri dalam beberapa referensi disebutkan bahwa, salah satu sebabnya karena fluktuasi atau perubahan tegangan. Cepat atau lambat hal ini memberikan dampak buruk pada listrik panel surya. Adanya tegangan yang terinduksi serta kebocoran arus, akan menimbulkan penurunan tegangan output yang dihasilkan panel surya.
Persoalan saat ini dalam pengelolaan solar cell, setelah fasilitas ini diadakan pemerintah daerah, tidak lagi dipikirkan keberlanjutan setelah penyerahannya ke desa.
Terutama ketika terjadi kerusakan alat dan fasilitas pendukung. Problem itu pemeliharanya tidak berjalan. Perawatan fasilitas ini tidak dilakukan masyarakat. Mereka tidak tahu apa yang harus dia buat jika kelak terjadi kerusakan. Memang sudah ada peringatan kepada masyarakat agar tidak menggunakan listrik solar cell dengan kapasitas berlebih. Hal ini sulit dikontrol yang akhirnya, sebagian fasilitas menjadi rusak. Kalau perlu mungkin pakai semacam meteran untuk mengontrol penggunaan setiap rumah.
Karena masalah ini pemerintah desa perlu memikirkan keberlanjutannya dengan mengirimkan anak muda atau warga yang bisa mengikuti kursus pemeliharaan solar cell, agar nanti mereka jadi tenaga yang punya keterampilan khusus menangani jika ada kerusakan.
“Saya sudah sarankan ke pemerintah desa agar ada langkah antisipasi misalnya melatih anak – anak kita. Tujuannya ketika bermasalah mereka bisa perbaiki. Tidak perlu lagi menunggu ahli dari luar pulau terutama dari Ternate atau Jawa,” kata Amir.
Program PLTS Butuh Keberlanjutan
Tidak hanya di Laigoma. Beberapa pulau seperti Siko, Moari, Bacan, Kasiruta hingga ke Pulau Obi dibangun panel surya untuk menyediakan listrik bagi masyarakat dengan dana APBD. Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dalam beberapa tahun ini menginisiasi program Halmahera Selatan Terang, dengan mendorong desa menyediakan listrik melalui solar cell. Pembiayaannya dari dana desa dan APBD.
Program Halmahera Selatan Terang yang mengandalkan energy matahari itu tidak berjalan mulus. Ketika sudah beroperasi, muncul banyak masalah. Salah satunya ada kerusakan setelah satu atau dua tahun dioperasikan.
Kejadian ini merata di sejumlah desa di mana dibangun PLTS dan diserahkan ke desa lalu beroperasi. Banyak yang rusak dan sulit diperbaiki. Beberapa desa yang proyek solar cell nya alami kerusakan setelah dioperasikan itu yakni Desa Laigoma Pulau Laigoma, Desa Siko Pulau Siko, Desa Bokimiake Pulau Moari, Desa Marituso Pulau Kasiruta, dan Desa Wiring Pulau Tawabi.
Gufran Mahmud Anggota DPRD Halmahera Selatan yang concern mendorong program solar cell beberapa pulau menyatakan, prihatin program ini masuk ke desa alami banyak kendala terutama ketika beroperasi. “Keberlanjutannya perlu dipikirkan bersama,” katanya.
Dia contohkan, proyek PLTS di tiga pulau yakni Laigoma, Gafi dan Siko di gugusan kepulauan Guraici setelah beroperasi dan alami kerusakan sulit dilakukan perbaikan. Dalam penggunaanya juga banyak kendala. Misalnya karena kapasitas terbatas maka dilakukan pembatasan penggunaan hanya untuk penerangan. Hanya saja hal ini sulit dikontrol. Dia lalu menyarankan perlunya dibangun manajemen pengelolaan yang lebih baik ketika PLTS masuk ke desa. “Proyek PLTS di Pulau Siko masuk 2016 kemudian di Pulau Gafi 2017 dan di Pulau Laigoma akhir 2018. Tiga proyek ini menghabiskan anggaran APBD puluhan miliar. Sayang kalau kemudian rusak percuma. Karena itu saya sarankan perlu manajemen pengelolaan untuk keberlanjutannya,” sarannya.
Saat ini warga yang punya kemampuan ekonomi lebih, bisa menyediakan genzet berbahan bakar solar. Namun tidak dengan warga kurang mampu. Mereka tetap berharap solar cell salah satu sumber energi penting.
Keberadaan PLTS ini sangat penting karena genset atau generator tidak bisa dinyalakan 24 jam. Rata-rata warga desa bisa menikmati listrik 6 hingga 12 jam. Selebihnya rumah gelap hanya gunakan lampu teplok. Di Pulau seperti Laigoma dan Siko ada juga genset tetapi tidak bisa dinyalakan full karena tingginya biaya beli BBM.
Desa- desa pulau yang mayoritas warganya nelayan dan juga petani butuh listrik untuk berbagai kebutuhan. Tidak hanya untuk penerangan, tetapi juga membuat es balok untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan.
“Saat ini seluruh kebutuhan es untuk mengawetkan ikan diambil dari Ternate. Kita inginkan kalau bisa melalui listrik solar cell buat es membantu nelayan mengawetkan ikan,” kata Ade Thaib warga Laigoma.
Lalu apa yang harus dilakukan masyarakat penerima manfaat, maupun pemerintah yang menyalurkan program solar cell ini agar ada keberlanjutannya?
Sisilia Nurmala Dewi Indonesia Team Leader at 350.org lembaga yang banyak mendorong isyu energy terbarukan menyatakan bahwa, transisi energi itu juga membuahkan transformasi dalam masyarakat. Perlu ada partisipasi warga sejak awal perencanaan, pemasangan, sampai akhirnya pengeloaan dan perawatan. Karena itu dia menyarankan baik Pemerintah maupun mereka yang menjadi penerima manfaat mesti menyiapkan komponen- komponen yang diperlukan. Salah satunya keberadaan institusi/struktur yang mengelola, dan peningkatan pengetahuan keterampilan dalam merawatnya.
“Pemerintah juga perlu mengalokasikan dana yang dibutuhkan dalam melakukan perawatan,”katanya.
Sementara bagaimana baiknya manajemen pengelolaanya sehingga proyek ini bermanafaat terutama dalam menjaga dan mengembangkan sumber energy ini, menurut dia diperlukan struktur khusus yang mengelolanya. Terutama di tingkat desa, bisa dibentuk pengurus khusus.
Selain itu penting juga membangun rasa memiliki masyarakat atas fasilitas energi terbarukan ini. “Beberapa masyarakat menerapkan sistem iuran warga untuk memastikan ketersediaan dana perawatan, seperti yang dilakukan di Dusun Bondan di Cilacap Jawa Tengah yang saat ini memperoleh anugerah dari Provinsi Jawa Tengah sebagai Desa Mandiri Energi. (*)
CEO Kabar Pulau