Sebuah Catatan di Hari Surya Dunia

Panel-Solar-cell-yang-dibangiun-akhir-2018-oleh-Pemkab-Halmahera-Selatan-di-Pulau-Laigoma-Maluku-Utara-foto-M-Ici

Panel-Solar-cell-yang-dibangiun-akhir-2018-oleh-Pemkab-Halmahera-Selatan-di-Pulau-Laigoma-Maluku-Utara-foto-M-Ici

Nasib Miris  PLTS di Pulau-pulau Tak Cuma Bangun, Butuh Keberlanjutan

Tanggal 3 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Surya Sedunia (World Sun Day) dan perayaan ini dilakukan untuk memperingati peran penting matahari sebagai sumber cahaya dan kehangatan bumi. Kemunculan peringatan ini diawali dengan adanya kampanye penggunaan energi ramah lingkungan pada 22 April 1970 lalu. Kampanye itu bertepatan dengan Hari Bumi yang pertama dicetuskan oleh pemerhati lingkungan dari Amerika Serikat bernama Denis Hayes.

Hari Surya Sedunia adalah bentuk kampanye untuk energi matahari yang terbarukan dan rama lingkungan. Peringatan ini juga menyoroti peran penting dari matahari bagi semua mahkluk di bumi.

Denis Hayes mengatakan bahwa masyarakat harus lebih peka terhadap penggunaan dan manfaat dari energi matahari dan gagasannya itu diterima oleh banyak orang, sehingga ditetapkan Hari Surya Sedunia pada 3 Mei 1978.

Bertepatan dengan hari surya itu Halmaherapedia.com ingin melihat sisi lain dari pemanfaatan energy surya  itu di negeri pulau pulau ini.

Provinsi Maluku Utara dengan 805 pulau memiliki banyak desa di pulau kecil. Dari total desa,  898   ada di tepi laut.  Sementara   bukan  di tepi laut  ada 305  desa. Mayoritas desa  di pesisir dan pulau,  memikul beban  ketersediaan energi listrik yang cukup besar.

Di pulau kecil yang memiliki penghuni belum semua tersedia listrik secara memadai dari Negara (PLN,red).  Halmahera Selatan sebagai salah satu kabupaten dengan  300 pulau lebih, memiliki luas wilayah mencapai 40.263,72 km dengan  6 pulau besar yaitu Pulau Obi, Pulau bacan, Pulau Makian, Pulau Kayoa, Pulau Kasiruta, dan Pulau Mandioli.

Halmahera Selatan juga punya banyak pulau kecil. Salah satunya  Gugusan Pulau Guraici dengan 17 pulau  dan salah satunya Pulau Laigoma. Energi listriknya  melalui  solar cell dan generator.   Di daerah ini sebagian besar desanya memiliki energy listrik yang bersumber dari solar cell.

Salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)  atau solar cell ada di desa Laigoma Kecamatan Kayoa Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara, yang didanai melalui anggaran APBD dilaksanakan sejak akhir 2018. Proyek ini baru bisa dimanfaatkan masyarakat  pada 2021 lalu.

Di desa ini juga ada bantuan solar cell menggunakan APBN  datang dari Kementerian ESDM. Ada panel dan 4 mata lampu diserahkan langsung ke warga dan dipasang di masing- masing rumah.   

“Melalui Kementerian ESDM juga telah dibagikan bantuan panel solar cell dan fasilitas pendukungnya  ke setiap rumah. Bahkan sudah bisa dimanfaatkan masyarakat beberapa tahun sebelumnya,” jelas Amir Ibrahim Ketua BPD Desa Laigoma belum lama ini.

Untuk proyek panel solar cell dan fasilitas pendukungnya   melalui   dana APBD,  dimanfaatkan kurang lebih 1,5 tahun. Kini  telah  alami kerusakan  dan menunggu keputusan pemerintah desa menglokasikan  Alokasi Dana Desa (ADD)  untuk perbaikan.  

Kerusakan PLTS ini ditengarai karena penggunaan berlebihan. Jka biaya perbaikannya besar  maka  berat juga menggunakan dana ADD. Pemerintah desa baru akan mengambil langkah perbaikan.  Sudah ada rencana  perbaikan dalam waktu dekat.

Baca Juga  KLHK dan Warga Tanam Mangrove di Desa Toseho Tidore Kepulauan

Kerusakan PLTS sendiri dalam beberapa referensi  disebutkan bahwa, salah satu sebabnya karena fluktuasi atau perubahan tegangan. Cepat atau lambat hal ini  memberikan dampak buruk pada listrik panel surya. Adanya tegangan yang terinduksi serta kebocoran arus, akan menimbulkan penurunan tegangan output yang dihasilkan panel surya.       

Panel Solar cell yang dibangun akhir 2018 oleh Pemkab Halmahera Selatan di Pulau Laigoma Maluku Utara foto M Ici

Persoalan saat ini dalam pengelolaan solar cell, setelah fasilitas ini diadakan pemerintah daerah, tidak lagi dipikirkan keberlanjutan setelah penyerahannya  ke desa.

Terutama ketika terjadi kerusakan alat dan fasilitas pendukung. Problem itu pemeliharanya tidak berjalan. Perawatan fasilitas ini tidak dilakukan  masyarakat.  Mereka tidak tahu apa yang harus dia buat jika kelak terjadi kerusakan. Memang sudah ada peringatan kepada masyarakat agar tidak menggunakan listrik solar cell dengan kapasitas berlebih. Hal  ini sulit dikontrol yang akhirnya, sebagian fasilitas menjadi rusak.  Kalau perlu mungkin pakai semacam meteran untuk mengontrol penggunaan setiap rumah.  

Karena masalah ini  pemerintah desa perlu memikirkan keberlanjutannya dengan mengirimkan  anak muda atau warga yang bisa mengikuti kursus  pemeliharaan  solar cell,  agar nanti mereka jadi tenaga yang punya keterampilan khusus menangani  jika  ada kerusakan.

“Saya sudah sarankan ke pemerintah desa   agar ada langkah antisipasi  misalnya  melatih anak – anak kita. Tujuannya ketika  bermasalah mereka bisa  perbaiki. Tidak perlu lagi menunggu  ahli  dari luar pulau terutama dari Ternate atau Jawa,” kata Amir.

Program PLTS  Butuh Keberlanjutan

Tidak hanya di Laigoma. Beberapa pulau seperti  Siko, Moari, Bacan, Kasiruta hingga ke Pulau Obi dibangun panel surya  untuk menyediakan listrik bagi masyarakat dengan dana APBD.  Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dalam beberapa tahun ini menginisiasi program Halmahera Selatan Terang, dengan mendorong desa menyediakan listrik melalui solar cell. Pembiayaannya  dari dana desa dan APBD.

Program Halmahera Selatan Terang yang mengandalkan energy matahari  itu  tidak berjalan mulus. Ketika sudah beroperasi, muncul banyak masalah.  Salah satunya  ada kerusakan setelah satu atau dua tahun dioperasikan. 

Kejadian   ini merata di  sejumlah desa di mana dibangun PLTS dan diserahkan ke desa lalu  beroperasi. Banyak  yang  rusak dan  sulit diperbaiki.  Beberapa desa yang  proyek solar cell nya alami kerusakan setelah  dioperasikan itu  yakni  Desa Laigoma Pulau Laigoma, Desa Siko Pulau Siko, Desa Bokimiake Pulau  Moari,  Desa Marituso  Pulau Kasiruta, dan Desa Wiring Pulau Tawabi.     

Gufran Mahmud  Anggota DPRD Halmahera Selatan yang   concern mendorong  program solar cell beberapa pulau  menyatakan, prihatin program ini masuk ke desa alami banyak kendala terutama ketika beroperasi. “Keberlanjutannya perlu dipikirkan bersama,” katanya.

Rumah warga desa Laigoma yang memanfaatkan panel solar cell secara perorangan

Dia contohkan, proyek PLTS di tiga pulau yakni Laigoma, Gafi dan Siko di  gugusan kepulauan Guraici setelah beroperasi dan alami kerusakan sulit dilakukan perbaikan. Dalam penggunaanya juga banyak kendala. Misalnya karena kapasitas terbatas maka dilakukan pembatasan penggunaan hanya untuk penerangan.  Hanya saja hal ini sulit dikontrol. Dia lalu menyarankan perlunya dibangun manajemen pengelolaan yang lebih baik ketika  PLTS masuk ke desa. “Proyek PLTS di Pulau Siko  masuk 2016 kemudian di Pulau Gafi  2017  dan di Pulau Laigoma akhir 2018. Tiga proyek ini menghabiskan anggaran APBD puluhan miliar. Sayang kalau kemudian rusak percuma. Karena itu saya sarankan perlu  manajemen pengelolaan untuk keberlanjutannya,” sarannya.     

Baca Juga  Bangun Desa Harus Dimulai dari Tata Ruang

Saat ini warga yang punya kemampuan ekonomi lebih, bisa menyediakan genzet berbahan bakar solar.  Namun tidak dengan warga kurang mampu. Mereka tetap berharap solar cell  salah satu sumber energi penting.  

Keberadaan PLTS ini  sangat penting karena genset atau generator tidak bisa dinyalakan 24 jam. Rata-rata warga desa  bisa menikmati listrik 6 hingga 12 jam. Selebihnya rumah   gelap hanya  gunakan lampu teplok.  Di Pulau seperti Laigoma dan Siko ada juga genset tetapi tidak bisa dinyalakan full karena tingginya biaya beli BBM. 

Desa- desa  pulau yang mayoritas warganya nelayan dan juga petani butuh listrik untuk berbagai kebutuhan. Tidak hanya untuk penerangan, tetapi juga membuat es balok untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan.  

“Saat ini  seluruh  kebutuhan es  untuk mengawetkan ikan  diambil dari Ternate. Kita inginkan kalau bisa melalui listrik solar cell buat es membantu nelayan  mengawetkan  ikan,”  kata Ade Thaib warga Laigoma.

Lalu  apa yang harus dilakukan masyarakat penerima manfaat, maupun pemerintah yang menyalurkan program solar cell ini  agar  ada keberlanjutannya?

Sisilia Nurmala Dewi  Indonesia  Team Leader at 350.org   lembaga yang banyak mendorong isyu energy terbarukan menyatakan bahwa, transisi energi itu juga membuahkan transformasi dalam masyarakat. Perlu ada partisipasi warga sejak awal perencanaan, pemasangan, sampai akhirnya pengeloaan dan perawatan. Karena itu dia menyarankan baik Pemerintah maupun mereka yang menjadi penerima manfaat mesti menyiapkan komponen- komponen yang diperlukan. Salah satunya keberadaan institusi/struktur yang mengelola, dan peningkatan pengetahuan keterampilan dalam merawatnya.

“Pemerintah juga perlu mengalokasikan dana yang dibutuhkan dalam melakukan perawatan,”katanya.

Sementara   bagaimana  baiknya manajemen pengelolaanya sehingga  proyek ini bermanafaat terutama  dalam menjaga dan mengembangkan sumber energy ini,  menurut dia  diperlukan  struktur khusus yang mengelolanya.  Terutama di tingkat desa, bisa dibentuk pengurus khusus.  

Selain itu penting juga membangun rasa memiliki masyarakat atas fasilitas energi terbarukan ini.  “Beberapa masyarakat menerapkan sistem iuran warga untuk memastikan ketersediaan dana perawatan, seperti yang dilakukan di Dusun Bondan di Cilacap Jawa Tengah yang saat ini memperoleh anugerah dari Provinsi Jawa Tengah sebagai  Desa Mandiri Energi. (*)

Share :

Baca Juga

Kabar Kampung

Warga Gane Timur Minta Pemerintah Perhatikan Produksi Sagu

Kabar Kampung

Kolaborasi Dorong Perdes Pesisir dan Laut Kayoa

Kabar Kampung

75 Tahun Warga Gane Belum “Merdeka”

Kabar Malut

Oligarki Bermain di Pilkada Maluku Utara?

Etniq

Tradisi Orang Tobaru Tanam Padi Lokal

Kabar Kampung

Sungai Sagea Nasibmu Kini, Keruh Belum Usai   

Lingkungan Hidup

Minim, Dana Desa Digunakan Kelola Sampah

Kabar Kota Pulau

Hutan Lindung Tidore Kepulauan Rawan Dirambah