Home / Opini / Ragam

Senin, 1 Januari 2024 - 13:27 WIT

Selustrum Lara Pesisir dan Pulau Kecil di Malut  

 Pakesang di Tahun “Policik” 2024

Sebuah video direkam seorang warga bernama Ikmal Yasir Warga Desa Maba Sangaji Halmahera Timur Maluku Utara pada  Senin (25/12 2023) sekira pukul 14.30 WIT.  Video ini viral di berbagai platform media social. Memperlihatkan laut  Halmahera Timur yang menghampar berwarna kuning kecoklatan. Sepanjang mata memandang air laut terkontaminasi  material ore hasil kerukan tambang nikel.

Dampaknya langsung dirasakan, nelayan setempat tidak bisa melaut. Padahal di kawasan laut ini warga sering kali memasang  jaring,  atau juga memancing ikan.   Ada dugaan kuat perubahan warna air laut ini karena  air bercampur lumpur mengalir dari Sungai Sangaji, Desa Maba Sangaji.

Pemkab Halmahera Timur melalui Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Harjon Gafur mengaku sudah  melihat dan memeriksa kejadian ini di hulu Sungai Sangaji. Sumber pencemarnya  dari  aktivitas  PT Wana Kencana Mineral, dulunya merupakan wilayah konsesi PT Harita.   

Lalu apakah ini adalah dampak usaha Negara lakukan hilirisasi di bidang pertambangan terutama nikel, yang selama ini diklaim memberi keuntungan berlimpah dengan harapan kesejahteraan? Apakah tidak  seperti ikut menyemai blooming  algae. Siap meledak menyuguhkan ekosida di laut dan  pulau pulau?  

Dampak industri ekstraktive terhadap kerusakan dan pencemaran laut di Maluku Utara tak terhindarkan.  Massive-nya industry tambang nikel di pulau Halmahera dan pulau kecil lainnya, menjadi sirene untuk semua pihak, bahwa laut dan pesisir Maluku Utara tidak baik baik saja. 

Ikmal Yasir yang mengabadikan video tersebut ingin mengingatkan pada kita, laut keruh yang sudah berulang kali itu menjadi sebuah isyarat  tanah kampungnya kini tak nyaman lagi. Rakyat kecil seperti dirinya ingin mengingatkan kepada semua, bunyi pasal 33 UU 1945, yang menyatakan bahwa  sumber sumber kekayaan alam  pemanfaatanya untuk kesejahtaraan seluruh rakyat hanyalah sebuah pepesan. Kesejahteraan  yang dirasakan secara berkelanjutan itu, hanyalah  mitos  dalam narasi pidato  dan kampanye.

“Sebelum-sebelumnya warga seperti kami ini tidak membuat video atau foto untuk memubilkasikan ke berbagai platform media terutama media social. Tapi kali ini sangat parah kondisinya sehingga mesti disebarluaskan agar mendapat perhatian publik.  Saat ke pantai dan lihat kondisinya seperti ini kami kaget. Kenapa sudah seperti ini,” katanya.

Pernyataan di atas memberi sebuah isyarat sekaligus sebentuk keresahan orang kampung, yang sadar bahwa tanah moyangnya yang selama ini digugu dan dijaga telah tercabik cabik  kekuatan modal  yang bersenyawa dengan kekuasaan. Kejadian di laut Maba ini menjadi penutup mirisnya kondisi laut wilayah Maluku Utara pada 2023 akibat kerukan tambang.

Nelayan-Lelilef-Sawai-saat-menurunkan-hasil-tangkapan.-Foto-Sofyan-A-Togubu

Sebulan sebelumnya, di perairan  selat Pulau Belemsi dan daratan Halmahera Timur, di depan Desa Maba Pura, juga mengalami hal serupa. Kawasan ini diduga tercemar BBM jenis Oli yang bercampur lumpur hasil kerukan tambang. Dampaknya dirasakan langsung oleh nelayan. Alat tangkap nelayan sepeti bagan dan pukat yang dipakai menjaring ikan teri juga alami kerusakan. Akhirnya nelayan bagan di pulau itu  berpindah tempat.  

Baca Juga  Teknologi Omics Rekayasa Genetik Sumber Daya Hayati  

Pada November 2023 kasus serupa terjadi di laut Obi. Kejadian di Pulau Garaga, air lautnya diduga terkontaminasi  kerukan tambang. Pulau kecil yang sangat dekat ke Pulau Obi itu, lautnya berwarna kuning kecoklatan seperti tanah tambang. Warna laut ini berubah setelah terjadi hujan di kawasan tersebut.

Laporan dari perusahaan mutiara yang beroperasi di Pulau Garaga, menyebtukan mereka harus bekerja ekstra  lakukan pembersihan agar tidak berdampak lebih besar lokasi budidaya mutiara milik perusahaan ini.

Informasi dari Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Selatan menyebutkan tercemarnya laut Obi itu karena  jebolnya tanggul milik PT. GMI, kontraktor   PT. Wanatiara Persada yang bergerak di bidang tambang nikel.

Lalu  kasus lebih menghebohkan terjadi di pertengahan tahun 2023. Dugaan tercemarnya air sungai dan laut di Halmahera Tengah adalah rusaknya air sungai Sagea Halmahera Tengah akhir Juli hingga Agustus 2023 yang hingga kini belum jelas siapa pelaku penghancuran sumber kehidupan warga itu. Peristiwa ini menyita perhatian berbagai pihak termasuk lembaga internasional yang concern pada isyu perubahan iklim dan lingkungan hidup.

Dalam catatan kabarpulau.co.id jauh sebelum isyu hilirisasi nikel ini mencuat, berbagai peristiwa lingkungan telah terjadi. Terutama  terkait dampak kerukan tambang yang menyebabkan sungai dan laut tercemar.

Tiga wilayah yang merasakan dampak cemaran kerukan tambang ini  ada di Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan di Obi Halmahera Selatan. Sudah hamper satu lustrum (lima tahun,red)  laut,  pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara menjadi tong sampah raksasa menampung berbagai bahan cemaran yang datang dari hulu, (daratan,red) ke laut.

Di akhir 2018 sungai Waleh Weda Utara  tercemar hamper 2 tahun oleh aktivitas sebuah perusahaan tambang yang mengeruk nikel di wilayah itu. Begitu juga dengan peristiwa di Moronopo Halmahera Timur awal 2021 yang tenggelam karena lumpur diduga kuat dihasilkan dari aktivitas tambang  PT Aneka Tambang waktu itu.

Dosen dan juga  Ketua Pusat Kajian Akuakultur  (PUSAKA) Universitas Khairun Ternate Dr Muhammad Aris belum lama ini menjelaskan bahwa, riset di Obi, Weda Halmahera Tengah serta di kawasan laut Halmahera Timur menemukan hasil yang sungguh miris. Di perairan Kawasi, Lelilef dan Teluk Buli Halmahera Timur sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Ini ditandai dengan migrasi dan matinya ikan di wilayah perairan tersebut. Kondisi habitat perairan di Teluk Buli  misalnya  alami sedimentasi yang sangat tinggi. Akbat tingginya aliran partikel tanah dari pembongkaran lahan dan pengambilan tanah  yang  diangkut keluar dari Kabupaten Halmahera Timur. 

Baca Juga  Ini Manfaat Zakat dan Sadaqoh Global

“Tingginya kandungan Nikel, Besi dan logam berat lainnya yang terlarut dalam perairan menjadi masalah tersendiri. Hal ini  cukup serius dalam ancaman ketersediaan pangan protein di Halmahera Timur  dan Maluku  Utara,” katanya.

Dari riset yang dilakukan terakhir pada 2023  ikan- ikan sudah dalm kondisi terakumulasi logam berat sehingga sangat membahayakan sebagai ikan konsumsi. “Data hasil uji laboratoriumya lengkap.   Besi  paling tinggi terdapat dalam tubuh ikan yang diuji,” jelasnya. Karena itu dia mengingatkan semua pihak agar perlu  memberikan perhatian  serius soal ini.

Semua catatan tercemarnya air sungai, laut dan kawasan pesisir yang dipaparkan di atas adalah beberapa contoh krisis lingkungan yang jamak terjadi. Sayangnya semua itu seperti kejadian buang angin (kentut,red).  Tercium baunya tapi tak tahu siapa yang melepasnya. Padahal peristiwa itu  adalah bagian kejadian extraordinary di bidang lingkungan.

Tercemarnya pesisir laut dan pulau ini mestinya menjadi pengingat bagi semua pihak. Bahwa apa yang dihasilkan dari mengeruk bumi dengan serakah menjadi warisan kerusakan tidak hanya  saat ini tetapi juga generasi di masa depan.

Rusaknya lingkungan yang terjadi bertubi tubi, tidak pernah terdengar ada upaya penegakan hukum diambil Negara. Setali tiga uang, kelompok masyarakat sipil sebagai bagian dari elemen berdemokrasi bangsa dan daerah ini,  tak berdaya menyikapi.  Buble suara kritis, menjadi buih di lautan yang lenyap tertiup angin barat. Muncul sebentar lalu  lenyap menyatu dengan air.      

Para pelanggar hukum di bidang lingkungan seperti  tak tersentuh. Belum pernah terdengar mereka yang menyebabkan rusaknya daratan, sungai dan lautan,  diseret  ke meja peradilan.   

Riset yang dilakukan peneliti dan lembaga non pemerintah sudah menunjukan adanya kondisi memiriskan sekaligus mengkhawatirkan. Media massa juga sudah banyak memublikasikan peristiwa lingkungan yang sebenarnya bisa menjadi dasar tindak lanjut.

Tetapi apatah daya, salahkah bumi mengandung emas,  melahirkan lara?

Fakta dan peringatan  telah disampaikan. Sayangnya, semua ikhtiar itu seperti embun di daun keladi, singgah sebentar kemudian jatuh tak berbekas. Informasi dan data yang disajikan, riuh di awal  sepi di akhir, lalu hilang entah ke mana. Akhirnya kita semua tak sadar bahwa laku kita hari hari ini dan ke depan, seperti menyemai benih bencana yang akan dituai hasilnya suatu hari nanti, entah kapan.    

Sejengkal tanah adalah harapan, Laut memberi kehidupan. (quote tete  jenggot)

Selamat  bersua, 1 Januari 2024

Share :

Baca Juga

Ragam

UI CISE 2023 Pertemukan Pencaker dengan Perusahaan Terbaik 

Baronda

Liberika Bacan, yang Tersisa dari Warisan Belanda

Opini

Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Harus Efektif

LAUT dan Pesisir

Desentralisasi  atau  Sentralisasi  Kelautan?

Opini

Pulau  Kecil  Meradang  Karena  Ditambang 

Opini

Demokrasi, Sebuah Ontologi Kecil

Ragam

Ini Manfaat Zakat dan Sadaqoh Global

Opini

Menelisik Implementasi Kota Jasa berbasis Agro-marine Kota Tidore Kepulauan