WALHI: 2019 Malut Kehilangan 7.041 Ha Hutan Primer
Maluku Utara terdiri dari pulau-pulau. Ada yang menyebut jumlahnya 805, dimana berpenghuni 85 pulau dan tak berpenghuni 723 pulau. Ada juga data yang menyebutkan jumlah pulau di Maluku Utara ada1474. Dari jumlah itu 89 berpenghuni dan 1385 tidak berpenghuni. Terlepas dari data jumlah pulau yang masih diperdebatkan, kondisi ruang hidup petani dan hutan di daerah ini setiap waktu terus tergerus. Padahal di pulau-pulau kecil dan besar itu sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dengan bertani. Pertanian yang diusahakan mengandalkan perkebunan tanaman keras seperti kelapa, pala dan cengkih.
Di lain sisi, saat ini pemerintah terus memberikan izin- izin perkebunan besar, tambang dan HPH atau izin pengusahaan kayu dengan memanfaatkan kelompok petani, yang secara langsung menggerus hutan dan mengurangi persediaan lahan atau ruang kelola petani. Bahkan ada yang sudah dimiliki petani ikut tergerus.
Sorotan utama beberapa lembaga yang concern dengan isu lingkungan dan ruang kelola rakyat di di daerah ini juga sama.
Data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara menunjukan, luas Maluku Utara 145.801.01 km2. Luas lautan lebih besar dari daratan dengan skala presentasi 78,04 persen atau 111.818,60 km2 lautan. Sementara daratanya mencapai 31.982,50km2 atau 21,94 persen. Begitu juga garis pantainya 6,600,44 Km persegi
Ijin usaha pertambangan di 2017 mencapai 313. Pelepasan ijin usaha perkebunan monokultur ada 11 ijin. Data itu juga menyebutkan, Maluku Utara pada periode 2001, memiliki 2,27 juta ha hutan primer. Pada 2019, Maluku Utara kehilangan 7.041 Ha hutan primer. 2002 hingga 2019, Maluku Utara kehilangan 154 ribu hektar hutan primer yang lembab, atau 62% total kehilangan tutupan pohon dalam periode waktu yang sama. Total luas hutan primer lembab di Maluku Utara turun 6,7% dalam periode ini.
2001 hingga 2019, Maluku Utara kehilangan 254 ribu hektar tutupan pohon, atau setara dengan penurunan 8,3% tutupan pohon sejak 2000, dan 142 juta ton emisi carbon.
Dalam kasus perkebunan sawit di Gane misalnya, tidak hanya mengurangi persediaan lahan bagi petani di kawasan itu, tetapi hutan juga dibabat bahkan ikut merampas lahan- lahan milik petani yang telah ditanami tanaman tahunan. Beroperasinya perusahaan perkebunan monokultur ini, menyebabkan warga tak hanya kehilangan lahan produktif tetapi juga membuat sumberdaya kayu untuk kebutuhan rumah warga juga sudah sulit didapatkan.
Isu ini ikut disuarakan WALHI saat gelar aksi Hari Tani yang jatuh pada 24 September lalu. Aksi diam dan teatrikal itu mereka gelar di tiga titik Kota Ternate, menggunakan APD lengkap. Para aktivis WALHI menyoal aktivitas salah satu perusahaan sawit (PT Korindo,red) yang saat ini beroperasi di kawasan Gane Halmahera Selatan. Mereka mendesak PT Korindo yang beroperasi di kawasan Gane untuk angkat kaki karena banyak masalah ditimbulkan ketika membuka lahan hingga 11 ribu hektar lebih untuk sawit. Sorotan ini tergambar dari spanduk dan pamphlet yang mereka bawa dalam aksi itu. “Aksi kami ini menutup mulut atau diam dan teatrikal. Ini filosofinya, karena kami tak bisa berkata kata lagi dengan masalah yang ditimbulkan akibat beroperasinya perusahaan sawit ini,” ujar Fahrizal Dirham Direktur Kampanye Walhi Maluku Utara usai aksi waktu itu. Dalam aksi itu, intinya mereka mendesak agar perusahaan asal Korea itu, segera meninggalkan kawasan Gane karena menyusahkan masyarakat dan merampas ruang hidup mereka.
“Kasus Gane menjadi bukti nyata bagaimana lahan milik petani diambil korporasi. Bahkan akibat perlawanan petani mereka sampai dipenjara meski akhirnya diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Labuha di Bacan,” ujar Fahrizal.
Dia menambahkan, Pemerintah memberikan aktivitas pembukaan lahan atau land clearing yang dilakukan pihak perusahaan melalui legitimasi yang berdasar pada SK Menteri Kehutanan no 22/Menhut–II/2009. Izin ini mengatur tentang pelapasan sebagian kawasan hutan produksi yang diperoleh PT GMM dan Keputusan Gubernur Malut tahun 2011 tentang izin koridor untuk IPK.
Bagi Walhi Maluku Utara ada anomali yang sangat nyata. Di satu sisi ada ketergantungan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Karena itu sumberdaya hutan begitu penting bagi mereka. Sementara kondisi yang lain banyak izin-izin konsesi oleh pemerintah, bahkan begitu massive kepada perusahaan. “Secara khusus interaksi antara hutan dengan masyarakat desa pesisir kepulauan kecil di Maluku Utara demikian eratnya. Setiap sektor produktif warga yang bermukim di desa sekitar hutan senantiasa berbasis alam. Sementara di sisi lain luas lahan hutan alam semakin terdesak karena izin yang diberikan kepada korporasi,” kata Fahrizal.
Dia bilang, luas hutan di Maluku Utara ada 2, 519.623,91 hektar. Dibagi dalam beberapa kategori. Yakni hutan konservasi 218.955,20 hektar. Hutan lindung 577.504,18 dan hutan produksi 171153610 hektar. Pada 2019 terdapat tambahan 96 Izin Usaha Pertambangan (Operasi Produksi) dan 3 Kontrak Karya seluas 614881,17 hektar.
Izin usaha pemanfaatan kayu pada hutan alam (IUPHHK- HA) seluas 735,941 hektar, izin usaha pemanfaatan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) seluas 67684 hektar, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-TR) 19438 hektar.
Pemerintah juga memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan seluas 76800,51. “Itu artinya daratan provinsi Maluku Utara yang hanya 31982,50 kilometer atau 21,84 persen sebagian besar telah dikapling oleh Negara dan investor,” katanya.
Fahrizal juga menjelaskan, semenjak dimulainya aktivitas perusahaan monokultur sawit pada 2013 silam banyak kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya melanda perkampungan warga. Pada Juli 2020 terjadi curah hujan yang tinggi hingga menimbulkan banjir disertai lumpur sehingga laut di daerah pesisir menjadi coklat. Kondisi ini berdampak juga pada pendapatan nelayan Gane Dalam Halmahera Selatan.
Pada 6 Juli 2020 terjadi banjir besar disertai tanah longsor di jalur jalan Gane Dalam ke Gane Luar Halmahera Selatan. Kondisi ini berdampak pada perputaran ekonomi lokal yang tidak lagi stabil. Dampak akhir naiknya harga sembako.
“Dalam kondisi ini Negara mestinya hadir mempertimbangkan ruang produksi warga yang berada di sekitar konsesi dan menunjang Tata kelola berbasis pada hutan, kebun kelapa dan perikanan sebagai sektor andalan masyarakat di Gane. Bukan sebaliknya mengubah fungsi lahan di atas kawasan pulau kecil yang kaya potensi hasil hutan selain kayu menjadi kawasan budidaya monokultur. Ini tidak sesuai dan meniadi beban lingkungan di semenanjung kaki Halmahera Selatan dengan kontur wilayah berbukit dengan kemiringan lereng yang curam,”tambahnya.
Mayoritas pemukiman desa-desa di kecamatan Gane Barat Selatan dan Gane Timur Selatan berada di pesisir pantai sehingga kegiatan eksploitasi kayu berskala besar pada kawasan hulu berdampak langsung pada sumber kebutuhan vital di kawasan hilir terutama sumber airnya.
Lahan- lahan petani di daerah Lelilef Halmahera Tengah juga nyaris sama dengan di Gane. Habis, ketika masuk perusahaan tambang. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut mencatat ada banyak persoalan muncul di beberapa kelompok masyarakat adat di Halmahera Tengah pasca masuk dan beroperasinya izin tambang di Halmahera Tengah. Yang menerima dampak langsung itu adalah masyarakat kampong dan kelompok masyarakat adat.
Padahal kalau bicara soal kemampuan reseliensi itu ada di kampong kampong. Mereka yang mampu merawat hutan dan menjaga pangan mereka itulah memiliki reseliensi. “Solusinya desa haru menjadi basis reseliensi sebenarnya. Di Malut ada 3 izin kontrak karya dan banyak izin izin kecil. Pasca Pilgub 2017, Gubernur Malut merevisi 42 izin tambang,”jelas Supriyadi Sawai Ketua Biro Infokom AMAN Malut.
Dia bilang, hadirnya perusahaan tambang membuat warga mendapatkan uang karena menjual lahannya. Meski demikian sebenarnya mereka tidak sejahtera karena telah kehilangan modal terbesar mereka yakni tanah sebagai ruang hidup. Belum lagi masalah buruh maupun masalah izin lingkungannya. “Kasus di Halmahera Tengah dengan munculnya debu hitam dan debu tanah merah membuktikan persoalan lingkungan yang dihasilkan dari tambang. Belum lagi warga tambah miskin di kampongnya sendiri. Ini akibat dari perebutan ruang hidup,” jelasnya.
Dia juga bilang, tata ruang kawasaan industri perusahaan ini juga sampai saat ini belum disosialisasikan ke warga daerah lingkar tambang PT IWIP. Ini adalah salah satu perusahaan tambang China yang beroperasi di Halmahera Tengah.
Saat ini Warga Lelilef salah satu desa di daerah lingkar tambang PT IWIP tak bisa lagi bertanam di kebun mereka. Wilayah tangkapan mereka di laut juga sudah dilarang. “Saya berharap ada gerakan penyelamatan lingkungan dimulai dari kampung. Ini sudah mendesak. Begitu juga kalau bicara ketahanan pangan harus dimulai dari kampong kampong,”cecarnya. (*)
CEO Kabar Pulau