Ada 11 Ancaman Serius Bencana Bagi Masyarakat
Gempa bumi tektonik bermagnitudo M 6,1 mengguncang wilayah Maluku Utara terjadi pukul 17.09 WIB, Kamis (3/6/2021). Gempa itu tidak berpotensi tsunami. Berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), episenter gempa bumi ini terletak pada koordinat 0.41 LU dan 126.23 BT. Lokasi tepatnya berada di laut pada jarak 134 kilometer arah Barat Kota Ternate, Maluku Utara pada kedalaman 36 kilometer. Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG, Bambang Setiyo Prayitno MSi mengatakan, dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas deformasi batuan di lempeng laut Maluku. “Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan, bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault),” kata Bambang sebagaimana dilansir berbagai media. Bambang juga menegaskan, meskipun lokasi pusat gempa bumi yang terjadi ada di laut, tetapi hasil pemodelan BMKG tidak menunjukkan adanya potensi tsunami.
Sebelumnya Jumat (27/2/2021 gempa bumi dengan kekuatan 5,2 magnitudo juga menghantam pulau Bacan Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara. Episenter gempa terletak di darat pada jarak 12 km arah timur laut Kota Labuha, Halmahera Selatan, Maluku Utara dengan kedalaman hiposentar 10 km. Gempa itu dirasakan sangat kuat dan terdampak di lima kecamatan di Pulau Bacan. Yakni Kecamatan Bacan, Bacan Timur, Bacan Selatan dan Bacan Barat Utara. Berdasarkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa dimaksud masuk kategori dangkal. Berada pada 0.54 LS,127,51 Bujur Timur atau 11 kilometer Timur Laut Labuha Maluku Utara dengan kedalaman 10 kilometer. Gempa dipicu adanya aktivitas sesar lokal. Akibatnya rumah sakit dan 700 rumah warga rusak.
Wilayah Pulau Bacan dan Halmahera Selatan memang rawan gempa, di wilayah ini beberapa kali pernah terjadi gempa kuat dan merusak pada masa lalu. Sejarah gempa Pulau Bacan dan sekitarnya mencatat bahwa di wilayah ini telah terjadi gempa merusak pada 27 November 1961 magnitudo 6,2 pada 16 April 1963 magnitudo 7,1 pada 2 Agustus 1992 magnitudo 6,3 dan pada 16 Juli 2019 magnitudo 7,2 menyebabkan 4 orang meninggal dunia, 50 menderita luka-luka, sebanyak 971 bangunan rumah rusak.
Gempa yang melanda Ternate dan Bacan ini adalah contoh ancaman serius bencana bagi Maluku Utara yang wilayahnya di dominasi laut dan pulau-pulau.
Dengan luas wilayah mencapai 140.255,32 km², sebagian besar merupakan wilayah laut, yaitu 106.977,32 km² (76,27%). Sisanya 33.278 km² (23,73%) adalah daratan, berada di jalur ring of fire atau cincin api menghadapi berbagai bencana. Ada kurang lebih 11 jenis bencana, salah satunya yang sering dirasakan warga adalah gempa bumi.
Data Badan Penangggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku Utara menyebutkan, Maluku Utara memiliki beberapa ancaman serius bencana yakni gempa bumi, gunung api, abrasi oleh air laut, gelombang pasang, banjir bandang, banjir lahar dingin, longsor, puting beliung, kebakaran hutan, tsunami, banjir rob, kekeringan dan konflik horisontal. Terbaru banyak pihak mulai mengkhawatirkan munculnya ancaman bencana ekologi yang siap mengancam sebagai akibat dari massive-nya izin industri tambang, IUPHHK dan perkebunan monokultur.
Ancaman bencana yang dihadapi Maluku Utara ini juga dibahas dalam seminar online Ikatan Ahli Geologi Indonesia – Maluku Utara bersama Pusat Studi Bencana Universitas Khairun Ternate dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Studi Kebencanaan Universitas Hasanudin belum lama ini. Dalam seminar itu diungkap ragam bencana pernah terjadi di daerah ini.
Ternate sebagai salah satu pusat aktivitas masyarakat Maluku Utara misalnya, menghadapi 11 jenis bencana. Tiga jenis bencana yang paling sering terjadi di pulau ini adalah, gempa bumi, gunung meletus dan banjir lahar dingin.
Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Ternate menyebutkan berdasarkan data 4 tahun kejadian gempa sejak 2017 sampai 2020 lalu kejadian gempa mencapai ribuan kali.
Kepala Stasiun Geofisika Ternate Andri Wijaya dalam seminar tersebut menyebutkan, frekwensi gempa sejak 2017 hingga 2020 lalu cukup tinggi. Tertinggi yakni 2019 dan 2020. Di 2019 gempa juga melanda Pulau Bacan dan Gane Timur Gane Barat dengan magnitude 7,2 yang menyebabkan korban harta dan nyawa. Sumber gempa potensial di wilayah Maluku Utara itu adalah karena keberadaan subduksi ganda di laut Maluku atau disebut dengan lempeng laut Maluku.
Data kegempaan selama 4 taun terakhir, 2017 gempa tektonik yang tidak dirasakan mencapai 852 kali, sementara yang dirasakan 36 kali. Tahun 2018 gempa tektonik yang tidak dirasakan sebanyak 903 kali sementara yang dirasakan 22 kali. 2019 kejadian gempa tektonik hingga mencapai 1659 kali tidak dirasakan sementara yang dirasakan 144 kali. Begitu juga kejadian gempa di 2020 sebanyak 1414 kali gempa yang tidak dirasakan, sementara yang dirasakan sebanyak 62 kali.
Dia jelaskan daerah ini juga memiliki sejarah bencana tsunami. Bahkan total tsunami yang pernah terjadi di Maluku Utara sebanyak 30 kali tercatat pernah melanda pulau pulau di Maluku Utara.
Maluku Utara memiliki banyak catatan tsunami yang merusak yaitu tsunami Banggai-Sangihe tahun 1858 yang menyebabkan seluruh Kawasan pantai timur Sulawesi Banggai dan Sangihe dilanda tsunami. Lalu ada lagi tsunami Banggai-Ternate menyebabkan banyak bangunan rumah di daerah pesisir pantai disapu tsunami.Tsunami Kema-Minahasa 189 memicu tsunami mencapai atap rumah. Tsunami Gorontalo1871 menerjang pesisir pantai Gorontalo. Tsunami Tahuna tahun 1889 menerjang pesisir pantai hingga terjadi kenaikan air laut sekira 1,5 meter.Tsunami kepulauan Talaud 1907 menerjang pantai dengan ketinggian 4 meter dan tsunami pulau Salebabu 1936 yang menerjang pantai dengan ketinggian 3 meter. “ Sejarah tsunami yang pernah terjadi ini ikut menerjang dan merusak sejumlah pulau di Maluku Utara,” jelasnya.
Dia juga bilang dari data data yang ada wilayah kepulauan Maluku Utara juga sangat rawan tsunami yang disebabkan adanya aktivitas gempa bumi. “Wilayah Maluku Utara juga memiliki aktivitas kegempaan yang aktif,” katanya.
Tidak hanya bencana gempa, di Maluku Utara juga sangat rawan dengan bancana gunung berapi. Tercatat Maluku Utara mengoleksi gunung api aktif baik di Halmahera yakni Dukono di Halmahera Utara, Ibu dan Gamkonora di Halmahera Barat, serta Ternate dan Makean. Lima gunung api di Maluku Utara ini terbilang aktif hampir sepanjang tahun.
Menurut BMKG, ancaman tsunami tidak hanya karena akibat gempa bumi tektonik. Gunung berapi juga memiliki potensi menyebabkan tsunami yang disebabkan oleh adanya erupsi gunung berapi. Dalam sejarah gunungapi di Maluku Utara pernah menyebabkan terjadinya tsunami.
“ Tsunami itu terjadi tidak hanya gempa bumi tetapi juga karena akibat gunung berapi dan letusan gunung bawah laut,” jelasnya.
Karena kerawanan bencana yang dihadapi Maluku Utara dengan wilayah yang didominasi pulau pulau kecil ini, BMKG merekomendasikan perlunya langkah mitigasi gempabumi dan tsunami. Yakni memperketat penerapan tata ruang dengan aturan yang ketat, penerapan building code bangunan tahan gempa untuk bangunan public, bangunan vital dan bangunan strategis lainnya. Butuh peringatan dini tsunami dan penerapan system informasi. Pemasangan rambu-rambu jalur evakuasi dan tempat evakuasi. Terakhir mengkomunikasikan risiko bahaya, melakukan edukasi dan membangun budaya waspada dan siap selamat.
Soal kerawanan bencana bagi Maluku Utara yang wilayahnya didominasi pulau pulau kecil ini menurut Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Khairun Ternate Mohammad Ridwan Lessy di wilayah timur Indonesa termasuk Maluku Utara dengan 11 item maka diperlukan upaya mitigasi untuk meminimalkan dampak dari suatu bencana kepada masyarakat. Upaya mitigasi itu dilakukan baik secara structural maupun non structural. Mitigasi structural itu misalnya dengan penyediaan infrastruktur sementara untuk mitigasi non structural yakni memperkuat aturan atau regulasi yang menyangkut dengan mitigasi bencana.
“Dalam penanggulangan bencana di Maluku Utara ada tantangan serius menyangkut kondisi geologi dan geografis. Dimana aksesiblitasnya rendah dan berada di wilayah terpencil,” jelas Ridwan.
Yang paling serius juga katanya belum tersedianya kerangka hukum penanggulangan bencana di daerah. Pengarusutamaan penangunggalangan resiko bencana dalam perencanaan serta kemitraan multipihak dalam penanggulangan bencana juga belum terbangun dengan baik. Tantangan yang dihadapi dalam penanggulangan bencana di Maluku Utara yakni lemahnya tata kelola penanggulangan bencana, minimnya dukungan anggaran, sarana dan prasarana yang tidak memadai dan personil yang minim. “Kesiapsiagaan dalam penanggulangan darurat bencana juga lemah terutama dalam hal peringatan dini, informasi kawasan rawan bencana dan SOP penanganan darurat yang terintegrasi,” ungkapnya.
Ancaman Bencana Ekologis juga Serius
Dalam dua tahun terakhir, banjir besar melanda beberapa daerah Maluku Utara. Terutama di Halmahera Tengah, Halmahera Utara Kepulauan Sula dan Halmahera Selatan. Jumat (16/1/2021) lalu banjir melululantakan 7 Kecamatan di Halmahera Utara. Sementara pada 26 Agusutus 2020 lalu juga banjir besar melanda Kawasan industry PT IWIP salah satu perusahaan raksasa nikel yang mengeksploitasi bumi Halmahera. Banjir itu berdampak terhadap masyarakat desa desa sekitar.
Banjir di Halmahera Utara membuat warga mengungsi dan jembatan penghubung antara Galela dan Loloda hancur. Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara melalui Badan Penanggulangn Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Halmahera Utara memperkirakan kerugian akibat banjir mencapai Rp9 miliar lebih. Nilai perkiraan ini belum termasuk putusnya jembatan yang menghubungkan Galela Loloda di Kali Tiabo.
Bencana ini diduga adanya alihfungsi lahan yang tidak terkendali di daerah aliran Sungai (DAS).
Ahsun Inayati,SP, MP dari Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Dukono Kabupaten Halmahera Utara beberapa waktu lalu menyatakan, tidak bisa dipungkiri alihfungsi lahan nyata terjadi.
Dia bilang, amatan waktu ke waktu menunjukan adanya perubahan tutupan hutan dan lahan karena adanya pembukaan lahan yang massive terjadi di daerah DAS.
Pertama menurutnya, adalah pembukaan lahan di areal hutan (alih fungsi lahan,red) dari hutan menjadi kebun. Tanaman hutan diganti komoditi perkebunan seperti kelapa, dan pala oleh masyarakat setempat.
Selain aktivitas pembukaan lahan perkebunan, yang tidak kalah bermasalahnya adalah ada aktivitas tambang rakyat masih beroperasi di Gogoroko. Masih ada pengusaha hingga hari ini, beroperasi di kawasan hutan DAS Tiabo. “Dulu pernah sampai 33 aktifitas menggali lubang (tambang) di kawasan itu,” jelas Ahsun yang juga mantan camat di Kecamatan Galela Barat itu.
Selain itu, ada juga aktifitas penebangan untuk pemanfaatan kayu dalam memenuhi kebutuhan papan. Ini menurutnya lebih pada nilai ekonomi kayu tanaman hutan yang dikejar. “Jadi menurut saya masalah pokok adalah alih fungsi lahan di hutan di Gunung Gogoroko, Tuguraci dan beberapa gunung lainnya di kawasan itu,” jelasnya.
Karena itu, menyarankan segera dilakukan berbagai langkah pembenahan. Hal yang bisa dilakukan adalah mengembalikan fungsi hutan dengan melakukan reboisasi atau rehabilitasi hutan dengan tanaman hutan atau tanaman yang memiliki kemampuan daya serap air yang cukup bagus.
Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan konsetrasi ekonomi sumberdaya alam Dr Asis Hasyim mengingatkan pemerintah daeah tak bangga atas investasi tambang yang begitu besar masuk ke daerah ini. Baginya kebanggan pemerintah daerah iu sama halnya merasa bangga melihat semakin cepatnya laju penurunan tutupan hutan dan ancaman teralineasi- nya masyarakat Halmahera dari ruang hidup. Bahkan mendorong laju rusaknya ekosistem alam akibat ekstraksi sumberdaya alam secara massive.(*)
CEO Kabar Pulau