Entah sejak kapan, di kota ini, acara makan-makan, musik, bahkan barongge digelar seusai wisuda. Ada yang bilang, tradisi merayakan keberhasilan mencapai gelar sarjana ini sudah mulai ada satu dekade terakhir.
Makin ke sini, syukuran wisuda itu bahkan lebih riuh rendah. Tidak hanya tenda, makanan, dan musik. Ada tirai latar, backdrop di rumah si empunya hajatan wisuda. Tirai latar yang bertuliskan happy graduation dan foto sang wisudawan/wati lengkap dengan toga itu bahkan dipampang sebagai latar belakang sebuah panggung yang mirip tempat pelaminan pengantin.
Tanggal 18 Maret 2023, di kota ini, riuh rendah syukuran itu bahkan cukup terasa, sebab ada dua universitas–Unkhair dan UMMU–melepas lulusannya.
Istri saya dan teman istri saya, ponakan saya dan teman ponakan saya dan temannya teman ponakan saya sampai bingung acara syukuran wisuda mana yang duluan dikunjungi. Mereka bilang ada 5 undangan happy graduation. Ponakan saya bahkan sampai sore jelang magrib masih berada di tempat kelima acara syukuran wisuda temannya.
Happy graduation, ya bergembira, berbahagia, sumringah karena telah merampungkan kuliah S1. Ada makanan, ada musik, bahkan ada barongge. Karena itu, jangan ditanya soal kebahagiaan.
Kali ini ada yang menarik dan unik. Pas di depan rumah saya ada happy graduation.Sehari sebelumny saya sempat bertegur sapa dengan orang tua wisudawan. Suami istri paruh baya itu berasal dari salah satu kabupaten di Malut. Mereka datang ke Ternate untuk menghadiri wisuda anaknya dan buat syukuran di rumah saudaranya, pas di depan rumah saya.
Saya bertanya kepada suami istri itu, siapa yang mau wisuda?
“Torang pe ana, Pak!” serempak mereka jawab.
“Anak ke berapa?”
“Anak pertama, Pak”
“Wah, ini sarjana magori ya? Sukses buat ibu dan bapak ya. Anaknya wisuda di mana?”
“Di Unkhair, Pak. Wisuda di kampus yang di Akehuda tu, Pak”, sang istri langsung menyambar.
Saya tersenyum. Suami istri ini pasti tidak mengenal saya dan saya pun tidak bermaksud memperkenalkan diri.
Kembali soal happy graduation. Sore tadi selepas asar saya keluar rumah untuk satu keperluan. Di jalan ramai. Banyak sepeda motor dikendarai anak muda seusia mahasiswa. Berboncengan sesama laki-laki atau sesama perempuan atau laki dan perempuan. Mereka bisa dikenali karena ada yang “berseragam” bikinan sendiri lengkap dengan logo universitas ditambah simbol lain yang mirip pangkat-pangkat polisi, juga bendera merah putih di lengan baju kanan. Bahkan seragam itu berbeda antarprodi.
Tampaknya mahasiswa ini baru pulang dari syukuran temannya yang baru wisuda pagi tadi.
Happy graduation kini bukan lagi sekadar syukuran tetapi telah berubah menjadi sebuah gaya baru dalam mengonfirmasi kesuksesan.
Ada tiga hal menarik dalam syukuran wisuda: makan, musik, dan barongge. Itukah tiga tanda penting tentang kebahagiaan?
Ada satu lagi yang menarik. Di undangan dan di tirai latar, kita lebih banyak membaca happy graduation, ketimbang syukuran wisuda.
Kita tidak tahu berapa skor TOEFL atau IELT sang wisudawan. Tapi rasanya kita tak yakin atau tak percaya diri kalau kita menyebut syukuran wisuda.
Makin mentradisinya syukuran wisuda menampilkan satu cara baru merayakan keberhasilan. Ia makin ke sini makin menjadi maujud semacam “ekonomi kegembiraan.” Hitung aja berapa ikat sayur mayur, ikan, daging, telur, beras dan sembako lain serta buah-buahan terjual habis. Belum lagi sewa tenda dan sound system.
Happy graduation tidak saja mengonfirmasi kegembiraan tetapi juga telah menjadi ladang musiman bagi pedagang sembako, sewa tenda dan sound system. Di sini ekonomi kegembiraan beroperasi.
Pada happy graduation janganlah Anda bertanya tentang kebahagiaan. Apalagi mau bertanya tentang kapan wisudawan mendapatkan pekerjaan.
Mungkin di lain waktu para rektor dan ketua semua perguruan tinggi di kota ini bersepakat untuk melaksanakan wisuda pada satu hari yang sama. Kita lihat saja apa yang terjadi. Saya pikir kusi alias jantung pisang pun akan habis terjual.
Ibrahim Gibra
18 Maret 2023
CEO Kabar Pulau