Fakta Krisis Ruang Hidup Warga Lingkar Tambang di Halmahera Tengah
Rumah mendiang Matilda Guduru (65 tahun) di desa Gemaf Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah Maluku Utara menghadap ke arah pantai. Jarak teras rumah dengan jalan pantai hanya kurang lebih 2,5 meter. Rumah berdinding bata yang belum diplester ini terbilang tidak punya halaman. Berdempetan dengan rumah keluarga Max Sigoro dan Marsolina Kokene.
Lahan kosong hanya ada teras rumah seluas kurang lebih 3×4 meter. Ruang yang terbilang sempit inilah, jenazah Matilda dimakamkan setahun lalu. Makam yang dibeton dan belum tuntas diselesaikan itu, masih terlihat dua krans bunga ucapan duka cita, menggantung di dinding depan rumah atau 1,5 meter di atas makam.
Jumat (19/4/2024) siang itu, di depan makam terlihat tiga anak kecil bermain sementara isi rumah tak kelihatan penghuninya. “Anak-anak hamper setahun ini tak bermain di teras rumah itu karena takut setelah ada makam ditempatkan di situ,” ujar Marsolina Kokene yang rumahnya berada di samping kiri makam.
Dua hari sebelum kabarpulau.co.id sampai ke kampung ini atau Selasa (16/4/2024), ada jenazah seorang perempuan muda bernama Sulasi Alfina Takuling (25 tahun) meninggal usai bersalin, Dia juga sama terpaksa dimakamkan di samping rumah yang sempit tak jauh dari makam Matilda.
“Sulasi juga dimakamkan di rumah orang tuanya karena ketiadaan ruang kosong di lahan TPU desa Gemaf,” kata Marsolina.
Sulitnya warga memakamkan keluarga yang meninggal di kampung ini karena ketiadaan lahan pekuburan atau Tempat Pemakaman Umum (TPU) baru. Ini setelah TPU di tengah desa itu penuh dan tidak bisa ditambah lagi. “So tarada yang kosong (sudah tidak ada ruang kosong,red), untuk dimakaman di TPU kampung ,” katanya.
Sementara pemerintah desa juga belum memiliki lahan alternative dijadikan TPU. Dia juga bilang lahan TPU yang ada memang tidak begitu luas karena sebelum masuk perusahaan tambang, di Gemaf tidak banyak warga dan lahan mereka masih luas. Karena itu mereka belum pindahkan TPU. Kenyataanya setelah lahan terjual habis untuk TPU juga tidak ada.
Kini Desa Gemaf dengan kurang lebih 201 Kepala Keluarga belum termasuk warga dari luar daerah menghuni ratusan rumah kost di desa ini, sangat was-was dengan kondisi saat ini.
“Kita tidak menyangka ketika masuk industry tambang masuk dan lahan- lahan mulai dijual dan dikuasai pemodal jadi sangat kesulitan seperti sekarang ini,” katanya.
Kesulitan yang dihadapi warga sudah berlangsung hamper 6 tahun ini, setelah pemakaman umum yang luasnya sekira 30×40 meter dan berada di tepi jalan raya trans Halmahera itu penuh sesak.
Marsolina bilang sesuai identifikasinya warga yang keluarga meninggal dan dimakamkan di halaman dan teras rumah sudah sangat banyak. Jika tidak salah hitung sudah lebih dari 50 jenazah dimakamkan keluarga di rumah masing- masing. Hal ini dilakukan bagi keluarga yang rumahnya masih punya halaman. “Kalau rumah sudah tidak punya halaman nanti orang meninggal mau dimakamkan di mana lagi,” keluh Marsolina sedih.
Dia lantas mengatakan, masalah ini jika dibiarkan dan tidak segera dicari solusinya, ketika ada keluarga berpulang, jenzahnya tidak tahu harus dimakamkan di mana. “Kita tidak tahu mau dimakamkan di mana jika rumah tidak punya halaman. Masyarakat sudah tidak punya pilihan lain,”katanya.
Apa yang disampaikan Marsolina adalah gambaran kesulitan hidup yang dihadapi warga di lingkar tambang kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di Provinsi Maluku Utara.
Di desa Gemaf masalah pelik terkait kehilangan ruang begitu terasa. Ruang hidup selain sudah terjual juga dianggap ada kelalaian pemerintah desa, tidak menyiapkan lahan yang bisa digunakan membangun sarana umum termasuk tempat pemakaman umum (TPU). “Kami sudah sampaikan ke pemerintah dan BPD berulang kali agar mereka bisa ambil langkah menyiapkan lahan pemakaman umum. Sebelumnya ada lahan belum dijual mungkin bisa dibayar desa agar dijadikan TPU. Tapi tidak bergerak akhirnya lahan lahan semua sudah terjual, maka saat ini sudah sangat suit mendapatkan lahan yang layak. Caranya mungkin mencari lahan di luar desa Gemaf sehingga bisa digunakan untuk tempat pemakaman umum,” kata Max Sigoro tokoh masyarakat Desa Gemaf.
Ditemui di rumahnya di Desa Gemaf Kamis (25/4/2024) dia menjelaskan, kesulitan lahan ini sangat nyata karena di bagian barat desa selain miliki topografi berbukit, juga lahan sudah masuk konsesi tambang. Sementara di bagian selatan desa, berbatasan langsung dengan kawasan industri PT IWIP. Di bagian utara desa juga sama, sebagian besar lahan telah dijual ke perusahaan. Karena itu untuk mendapatkan lahan representative untuk TPU juga sulit.
Menurut Max, masalah lahan ini tidak akan pelik seperti sekarang jika pemerintah dan BPD sejak awal berpikir dan mengambil langkah mengatasinya. Saat ini sangat sulit didapat karena hamper semua lahan sudah terjual. Kalaupun ada, pemilik lahan tidak menjual tapi mereka sudah kontrakan kepada pengusaha yang bangun toko, bengkel hingga rumah kost dan sarana bisnis lainnya.
“Ada dana desa hamper miliaran tetapi mereka lamban hingga hamper seluruh ruang terjual ke pemilik modal. Karena itu untuk mencari lahan pengganti TPU sudah begitu sulit,” kata Max.
Max mengaku dia adalah salah satu warga Gemaf yang masih miliki lahan kebun di dalam kawasan industry dan hingga kini belum dijual. Kebun itu luasnya kurang lebih 11 ribu meter persegi. Dia memang lahan itu agak sulit diakses karena berada dalam kawasan industri. Sudah beberapa kali ditawar untuk dibayar tetapi karena harga tak sesuai sehingga belum dilepas,” katanya.
Dia bilang terpaksa dilepas jika harga sesuai karena sudah berada di tengah tengah kawasan industry. Tawaran harga tanah per meter hanya Rp6 ribu hal itu yang membuatnya tak mau melepas lahan miliknya meski sudah dikelilingi aktivitas tambang nikel.
Soal TPU, Max bilang kesulitan lahan ini bisa diatasi sejak awal jika saja desa memiliki tata ruang desa untuk mengatur pembagian ruang yang ada. Selama ini, tata ruang desa belum ada. Akhirnya kebutuhan lahan juga sulit dipenuhi. Persoalan ini sebenarnya sudah disuarakan sejak lama tetapi perhatian pemerintah desa tidak ada. “Lambat dalam eksekusi akhirnya sudah sangat sulit direalisasikan. Padahal dua tahun lalu masih ada lahan yang bisa di ruislag atau juga dibeli karena masih ada beberapa lahan warga belum dijual,” kata Max.
Keterbatasan ruang dan sulitnya pengadaan lahan untuk TPU ini, menurut pemerintah desa Gemaf sedang dicari solusinya. Pihak Badan Permusyaratan Desa (BPD) yang menerima keluhan persoalan yang datang dari masyarakat, beralasan jika saat ini sudah bersama pemerintah desa, sedang memikirkan solusinya. Mencari cara terbaik menyelesaikan masalah keterbatasan lahan untuk pemakaman.
Ketua BPD Desa Gemaf Naam Loha ditemui di rumahnya Sabtu (26/4/2024) mengaku dia bersama pemerintah desa sebenarnya sudah bicarkan masalah ini. Mereka berpikir keras segera mengadakan lahan menyelesaikan problem yang dihadapi masyaramat. Hal ini sangat mendesak. Karena menyangkut hajat hidup dan mati masyarakat.
Dia akui ada kelalaian, karena sebelumnya tidak dipikirkan dampak yang timbul setelah lahan- lahan dikuasai korporasi maupun pemilik modal dari luar menginvestasikan dana untuk berbagai usaha di desa ini. Ada banyak rumah kost, rumah makan, bengkel dan berbagai usaha toko kelontong berdiri di desa ini semuanya berebut menggunakan lahan.
“Coba lihat saja Gemaf lima tahun lalu dan hari ini. Tanah tanah kosong selain dikuasai perusahaan juga pengusaha pengusaha lokal. Mereka terus mencari dan membeli lahan lahan di sekitar lingkar tambang ini untuk berbagai kepentingan. Itu yang membuat desa ikut kesulitan,” katanya.
Masalahnya sudah tidak ada lagi lahan berukuran luas dibeli desa dan dijadikan TPU. Hampir semua lahan sudah punya perusahaan dan pengusaha lokal. “Jika ada dan belum dijual, pemiliknya sudah mengontrakkan kepada pemodal dengan durasi waktu 10 sampai 15 tahun,” imbuhnya.
Dia lantas mengatakan solusinya mencari lahan di luar desa Gamaf yakni arah ke utara desa tetangga. “Tidak ada jalan lain karena sudah sangat sulit mendapatkan lahan yang representative dijadikan TPU yang dekat kampung ini,” jelasnya.
Kepala Desa Gemaf Yoke Jinimaya dikonfirmasi terkait masalah ini, berkilah munculnya masalah ini karena warga tidak mau lahannya dibebaskan untuk pekuburan. Warga menolak memberikan lahannya untuk pekuburan yang berada tepat di belakang kampung.Mereka beralasan banyaknya sumur yang digunakan warga dalam kehidupan sehari hari bisa tercemar jika makam ditempatkan di belakang kampung. “Kita masih cari lahan terutama yang dekat ke pantai,” kilahnya.
Dia bilang, pemerintah desa sudah berupaya maksimal mengadakan lahan. “Diskusi dan pembahasan bersama pemerintah desa dan BPD bersama tokoh masyarakat mencari solusi masalah, hanya sampai saat ini lahannya belum juga didapat,” katanya. Bukan soal harga lahan tetapi belum ada pemilik lahan bersedia menjual lahanya untuk dijadikan TPU. Dia akui desa yang berbatasan langsung dengan perusahaan menyebabkan lahan kosong juga sulit didapat.
Masalah Serius di Lima Desa Lingkar Tambang
Penelusuran kabarpulau.co.id di beberapa desa yang berada di ring satu kawasan PSN, seperti Lelilef Sawai Waebulan, Gemaf bahkan sampai ke Sagea dan Kiya ternyata menghadapi masalah yang sama. Hal ini karena hamper semua lahan telah dijual atau juga dikontrakkan.
Kampung-kampung di kawasan lingkar tambang saat ini tidak hanya menghadapi problem lingkungan serius. Tetapi juga masalah keterbatasan ruang hidup baik kebun pertanian maupun kebutuhan lahan untuk hajat hidup lainya.
Saat ini saja desa-desa di daerah itu menghadapi krisis lahan untuk berbagai kebutuhan. Terutama untuk pembangunan fasilitas desa atau bagi hajat hidup lainya oleh masyarakat.
Untuk kebutuhan desa, terutama membangun fasilitas umum, termasuk perluasan desa, taman pekuburan umum hingga pemanfaatan lahan untuk fungsi social dan kemasyarakatan lainnya juga hadapi masalah yang sama.
Apa yang terjadi di Desa Gemaf sebenarnya sama dirasakan masyarakat Desa Lelilef yang berbatasan langsung dengan kawasan industry PT IWIP. Soal lahan untuk pemakaman umum juga jadi masalah cukup pelik. Lahan TPU Desa Lelilef Sawai yang berada berbatasan dengan bandara udara Cekel milik PIT IWIP juga saat ini sudah penuh dan masyarakat sudah alami kesulitan mendapatkan lahan kosong saat ada keluarga warga di desa ini meninggal dunia dan mau dimakamkan. Di TPU ini sudah sangat berdempet dempetan bahkan nyaris tidak ada ruang kosong lagi. Kondisinya sama dengan di Gemaf tetapi di Lelilef jika ada yang meninggal masih bisa dimakamkan karena dibuat tersusun.
“Ini problem serius yang diabaikan. Padahal sama seriusnya dengan kehilangan kebun produktif untuk penyiapan pangan warga,” kata Nemo Takuling tokoh masyarakat desa Lelilef Sawai ditemui Kamis (25/4/2024) lalu. Nemo yang cukup lama berjuang mempertahankan lahanya hingga pernah dijebloskan ke penjara awal masuknya perusahaan itu, bilang di Desa Lelilef lahan yang diperuntukkan bagi sarana umum memang sudah tidak ada. Bahkan lahan pekuburan umum yang dimiliki desa sudah penuh. Karena itu jika ada keluarga atau kerabat yang meninggal kuburannya disusun. “Kasus di Gemaf itu sama dengan di Lelilef. Semua abai karena lahan sudah dijual dan tidak disiapkan untuk kebutuhan desa,”katanya.
Menurut dia masalah ruang ini sangat serius karena pemukiman warga sudah berbatasan langsung dengan kawasan industry. “Di Lelilef Sawai, rumah warga berbatasan langsung dengan batas konsesi untuk industry. Di Bagian Barat ada tiris rumah berbatasan dengan konsesi industry. Jadi sudah tidak ada lagi ruang sama sekali,” kata Nemo. Desa ini berada dalam zona inti kawasan industry.
Di sisi lain jika ada lahan kosong milik warga rata-rata disewakan untuk kebutuhan bisnis atau usaha. Bahkan sebagian besar sudah dijual ke perusahaan atau juga kepada pemilik modal yang akan membangun usaha mereka.
Kondisi desa Lelilef dan Gemaf sama saja. Lahan- lahan kosong nyaris sudah tidak ada. Banyak yang dijual ke perusahaan dan pengusaha atau juga sudah dikontrakkan. “Lahan yang sudah dijual tidak hanya kepada perusahaan tetapi juga penguasaha yang berasal dari luar desa untuk bangun usaha mereka di desa yang ada di lingkar tambang. Hal ini sulit dibendung karena warga menjual sendiri lahannya,” tambah Nemo.
Di desa Sagea dan Kiya juga sama. Lahan-lahan kosong yang berbatasan dengan desa hampir seluruhnya telah terjual ke perusahaan, dan masuk konsesi kawasan industry. Ada juga lahan lahan kosong tapi dijual atau disewakan kepada pemilik modal untuk dibangun usaha mereka seperti toko, rumah sewa atau kost bengkel dan lainnya. Munculnya masalah ini karena kampung–kampung yang ada, tidak memiliki rencana tata ruang desa untuk mengatur pemanfaatan ruang sesuai peruntukan.
Di desa Kiya, pemerintah desa mengeluhkan tidak adanya dokumen Rencana Tata Ruang desa. Akibat ketiadaan dokumen itu desa terkurung lahan yang diokupasi perusahaan untuk perluasan kawasan industry maupun dari perusahaan sub kontraktor lainya.
Dalam kondisi seperti itu pemerintah desa juga tidak membuat kebijakan membatasi lahan di sekitar desa tidak dijual. Akhirnya warga bebas menjual lahan kepada perusahaan dan pengusaha lokal hingga tak tersisa.
Tidak hanya lahan perkebunan yang habis, masyarakat Desa Kiya dan Sagea juga tidak lagi memiliki lahan untuk perluasan kampung. Karena itulah dikuatirkan sulit jika menambah ruang pemukiman di masa depan.
“Sebenarnya perlu ada peraturan desa yang memberikan pembatasan agar lahan lahan tak jauh dari kampung dijual ke korporasi atau pengusaha lokal karena akan menyulitkan desa dan warga di masa depan. Pemerintah desa juga belum memikirkan membuat peraturan desa yang melarang lahan perkebunan tidak jauh dari kampung dijual sehingga bisa pemanfaatannya untuk pemukiman. “Sekarang lahan kebun warga sudah telanjur dijual ke perusahaan sehingga perluasan kampong nanti akan sulit. Itu masalah yang kami hadapi,” keluh Ketua BPD Desa Kiya Wahyudin Mulkis.
Wahyudin mengatakan lahan perkebunan di tepi jalan raya bagian utara desa Kiya sebagian besar telah dijual ke perusahaan. Dia akui kesulitan menghalangi warga menjual lahan mereka. Padahal dampaknya di masa depan dirasakan oleh anak cucu tak. “ Banyak yang tergiur melihat uang yang banyak diterima warga yang jual lahan,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah melalui Kepala Badan Perencanaan Penelitian Pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah yang dikonfirmasi secara tertulis terkait persoalan keterbatasan ruang yang dihadapi masyarakat di desa lingkar tambang, belum memberikan tanggapan. Kabarpulau.co.id mencoba mengajukan pertanyaan tertulis ke Pejabat Bupati Halmahera Tengah Dr Ikram Sangaji terkait kondisi miris yang dihadapi warga. Sayang pertanyaan yang dikirim via aplikasi watch apps, dari informasi pesan tercentang biru atau terbaca, namun tak ada tanggapan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Halteng, Mustamin Jamal mengatakan, yang berwenang berbicara penguasaan lahan adalah Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan. Tugas DPMD lebih pada pemberdayaan dan peningkatan aparatur desa, serta pengawasan hingga pengelolaan dana desa.
Namun katanya penjualan lahan ke perusahaan berlangsung 5 bahkan 10 tahun lalu, makanya tidak ada lahan lagi untuk berbagai aktivitas termasuk perkebunan,” ujar Mustamin Rabu (27/4/2024). Banyak lahan perkebunan beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman dan perdagangan. “Lahan-lahan perkebunan banyak beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman untuk pembangunan kos- kosan. Yang harus dibangun adalah kesadaran kolektif semua orang yang menempati kawasan tersebut,” katanya.
Mustamin mengaku tidak tahu keterlibatan pemerintahan desa dalam penguasaan lahan warga. Tapi dari setiap investasi yang masuk, aparatur pemerintahan di kecamatan hingga desa akan menjadi mitra. “Saya mau bilang setiap investasi yang masuk di suatu wilayah sudah tentu kepala pemerintahan yang terdiri dari kades dan camat di lingkar perusahaan jadi mitra berdiskusi dan tukar informasi terkait kondisi sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan,” imbuhnya.
Desa Terkurung Lahan Konsesi
Munadi Kilkoda anggota DPRD Kabupaten Halmahera Tengah banyak menyuarakan persoalan masyarakat di daerah lingkar tambang menganggap, persoalan muncul karena besarnya lahan konsesi izin pertambangan yang menguasai ruang hidup warga di Halmahera Tengah.
Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang sesuai Dokumen Konsultasi Publik 2 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) KI Teluk Weda, menyebutkan Kawasan Industri Teluk Weda di Kabupaten Halmahera Tengah masuk sebagai kawasan strategis nasional yang mengelola bahan tambang feronikel dan turunannya menjadi batrey Electric Vehicle (EV), stainless steel dan fasilitas pendukungnya sekaligus berfungsi sebagai smelter. Dokumen itu juga menyebutkan IWIP akan membutuhkan lahan untuk kawasan industri mencapai ini 8.67,44 hektar. Luasan ini belum ditambah usulan penambahan luasan konsesi untuk kawasan industry mencapai 5 ribu hektar.
Dari luasan ini, pembangunan- Tahap I membutuhkan lahan 3.250,92 Hektar. Sementara tahap kedua 5.356,52 Hektar. Terbaru untuk memuluskan penguasaan ruang bagi kawasan industry IWIP diusulkan adanya perubahan tata ruang dengan permintaan penambahan ruang antara 8 hingga 15 ribu hektar. Proses pembahasan usulan perubahan tata ruang ini sudah dilakukan oleh DPRD Halmahera Tengah dan telah diakomodir ada penambahan 5 ribu hektar. Saat ini PT IWIP ikut mengajukan lagi usulan penambahan kawasan industri seluas 15 ribu hektar. Hanya saja usulan yang dimasukkan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten Halmahera Tengah itu belum diakomodir dan masih terjadi tarik menarik sejak dibahas hingga saat ini.
Tarik menarik itu membuat pihak perusahaan mengajukan usulan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) ke kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) agar bisa diakomodir.
“Informasi yang saya dapat sekira dua bulan lalu usulan KPPR ini sudah ada.Itu artinya usulan PT IWIP untuk usulan wilayah konsesi mereka seluas 15 ribu hektar telah diakomdir. Hal ini akan menambah panjang masalah terkait penguasaan ruang hidup di kabupaten Halmahera Tengah,” kata Munadi Kilkoda.
Dia mengaku belum mendapatkan dokumen pengajuan KKPR ini Tapi santer beredar dokumen ini telah turun. “Yang jelas ada pengajuan ke Kementerian ATR. Sudah dilakukan dan kita tunggu hasilnya seperti apa. Kalau diakomodir berarti apa yang diusulkan dalam RTRW secara otomatis mengikuti KKPR karena sesuai UU Omnibuslaw.” jelasnya.
Luasanya lahan yang dibutuhkan, termasuk saat ini terjadi di beberapa desa seperti di Lelilef dan Gemaf yang warganya alami krisis lahan seperti untuk TPU saat ini.
Ruang hidup yang hilang itu yakni perkebunan, kawasan hutan mangrove, hutan sagu dan hutan alam serta ruang hidup lainnya. “Saat ini desa- desa di mana ada masyarakat Sawai terutama di Desa Lelilef, Gemaf dan lahan pertaniannya telah dialihfungsikan,” jelas Munadi.
Ruang Hidup Desa Inti Kawasan Industri Makin Terancam
Habisnya lahan atau ruang hidup di kawasan lingkar industri tambang (IWIP,red) yang juga salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), oleh Pemkab Halmahera Tengah, dianggap karena warga sendiri yang jual lahannya.
Kepala Dinas Pertanian Halteng, Yusmar Ohorella mengatakan lahan-lahan yang dijual itu milik pribadi, pemerintah tidak bisa mengambil langkah pencegahan. Sosialisasi hingga penjelasan yang diberikan seakan tak menyurutkan niat warga melepas lahan ke perusahaan. “Kalau lahan pemerintah mungkin masih bisa kami cegah. Tapi karena milik pribadi jadi kadang kita beri penjelasan, tapi masyarakat punya kebutuhan mendesak akhirnya mereka jual. Kita tidak bisa larang juga,” ujar Yusmar.
Duduk persoalannya ketika warga yang mempertahankan lahannya, ikut terkena dampak operasi tambang di sekitar lahan yang telah dijual, pemilik yang awalnya bertahan terpaksa ikut menjual.
“Misalnya satu hamparan lahan milik 10 orang, kemudian 6 orang sudah jual karena kebutuhan mendesak. Sedangkan di samping tidak jual, ketika kegiatan penambangan jalan, tetap kena dampak, akhirnya dia jual. Ini pernah saya temukan di Desa Sagea,” tuturnya. Para petani pada dasarnya berkomitmen tidak melepas lahannya, sepanjang penambangan tidak mengganggu aktivitas mereka. Namun fakta di lapangan tidak seperti diharapkan. “Mereka pernah sampaikan ke saya, kalau komitmen tidak jual. Tapi kalau tambang sudah masuk, tetap berdampak juga,” tuturnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Halteng, Mustamin Jamal mengatakan, yang berwenang berbicara penguasaan lahan adalah Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan. Tugas DPMD lebih pada pemberdayaan dan peningkatan aparatur desa, serta pengawasan hingga pengelolaan dana desa.
“Penjualan lahan ke perusahaan berlangsung 5 bahkan 10 tahun lalu, makanya tidak ada lahan lagi untuk berbagai aktivitas termasuk perkebunan,” ujar Mustamin Rabu (27/4/2024).
Banyak lahan perkebunan beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman dan perdagangan. “Lahan-lahan perkebunan banyak beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman untuk pembangunan kos- kosan. Yang harus dibangun adalah kesadaran kolektif semua orang yang menempati kawasan tersebut,” katanya.
Mustamin mengaku tidak tahu ada keterlibatan pemerintahan desa atau tidak dalam memuluskan rencana membeli lahan lahan warga itu. Tapi dari setiap investasi yang masuk, aparatur pemerintahan di kecamatan hingga desa akan menjadi mitra. “Setiap investasi masuk di suatu wilayah tentu kepala pemerintahan terdiri dari kades dan camat di lingkar perusahaan jadi mitra berdiskusi dan tukar informasi terkait kondisi sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan,” imbuhnya.****
Ada Usulan Penambahan Lahan Kawasan Industri
Sekadar diketahui saat ini, Pemda bersama DPRD Halteng melalui Perda RTRW tahun 2024 – 2044 mendorong perluasan kawasan industri di wilayah Weda Utara yang mencapai 15.517 hektare dari semula hanya 4.027,67 hektare yang hanya mencakup Weda Tengah. Dari luasan yang sudah ada, penambahan sekitar 11.489,33 hektare. Pemda bersama DPRD juga menyisipkan kawasan cadangan industri seluas 7.000 hektare di Kecamatan Patani jauh dari kawasan industri saat ini.
Untuk kepentingan pengembangan industri di wilayah Teluk Weda sampai Patani ada 22.000 hektare, Weda Tengah dan sekitarnya 15.000 hektare. Sementara, di Patani dicadangkan 7.000 hektare untuk kawasan pengembangan industri. Dari total luasan yang diusulkan baru 12.000 hektare diakomodir pemerintah pusat.
Ketua DPRD Halteng, Zakir Ahmad berkliha cadangan kawasan industri di Patani sebagai ikhtiar jika kelak dibutuhkan untuk kepentingan industri. “Kita inginkan pencadangan kawasan industri di wilayah Patani itu sebagai bentuk ikhtiar ke depan bilamana dibutuhkan untuk kepentingan industri tertentu,” ujar Zakir, belum lama ini. DPRD mendorong pencadangan lahan kawasan industry di wilayah yang dianggap tidak produktif untuk aktivitas pertanian.
Kepala Bappelitbangda Halteng, Salim Kamaluddin menambahkan, dalam masterplan yang dirumuskan secara khusus oleh DPRD, terdapat 15.000 hektare. Tapi semua ada tahapan. Dari puluhan ribu hektar lahan yang diusulkan untuk kawasan pengembangan industri, baru berkisar 12.000 hektare disetujui pemerintah pusat. 15.000 hektare ada di dalam masterplan. Tapi ada tahapan 1, tahapan 2, tahapan 3, tahapan 4. Yang baru mendapatkan persetujuan negara itu baru 12.000 hektare lebih.
Perencanaan yang diusul dalam RTRW belum final. Karena peruntukan kawasan industri harus berdasarkan izin kementerian. Meski begitu, pemda tetap membuka ruang sebagai bentuk dukungan percepatan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah Weda.
“Peruntukkan kawasan industri itu mesti ada izin, pemda harus buka ruang. Karena ini kawasan industri, kawasan pertumbuhan ekonomi, harus membuka diri. Kalau kita tidak membuka ruang kita tidak bisa mendukung percepatan dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Hasil riset LSM Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) pada Juli 2023, mengungkap adanya dampak yang diterima 4 desa paling dekat wilayah operasional tambang. Massivenya aktivitas Sejak 2018 menyebabkan ada perubahan lanskap. Laporan setebal 108 halaman yang ditulis Andi Rahmana Saputra Cintya Faliana M. Arfah Durahman Pius Ginting itu menyebutkan bahwa perubahan setelah beroperasinya perusahaan adalah hilangnya area perkebunan milik warga di Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Woebulen, dan Desa Gemaf. “Perubahan terjadi terutama di Desa Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Desa Gemaf. Mereka sudah kehilangan lahan perkebunan melalui proses pembebasan lahan yang dilakukan perusahaan,” tulis AEER dalam laporan itu.
Dijelaskan, di wilayah Desa Sagea, perubahan lanskap belum sama massif dengan tiga desa lainnya. Tetapi sudah terjadi pembebasan lahan oleh pihak PT IWIP dan diduga di masa mendatang PT IWIP akan meluaskan area hingga ke sisi utara desa.
Kehadiran PT IWIP sejak 2018 mengubah lanskap terutama tiga desa terdampak, yaitu Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf. Lahan perkebunan warga sudah digantikan area operasional PT IWIP. Pohon pala dan cengkeh ditebang dan dijadikan area penambangan, perkantoran, akomodasi karyawan. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan penyimpanan atau penumpukan (stockpile) batu bara. Desa terdampak, Lelilef Sawai, mengalami perubahan lanskap paling mengkhawatirkan. Hampir seluruh wilayah pemukiman berubah menjadi kawasan industri. Tutupan lahan perkebunan berkurang drastis sehingga vegetasi di sekitar jalan kabupaten di sepanjang dua desa ini berkurang drastis. Pemukiman warga Desa Gemaf dan Lelilef Sawai bahkan berjarak tidak sampai 100 meter dari kawasan PT IWIP. Ini membuka peluang warga terpapar debu dan kebisingan aktivitas tambang.
Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Dr Utara Herman Usman mengatakan lahan di daerah lingkar tambang terutama melihat perubahan lanskapenya agak sulit didapatkan. Terutama ruang tersisa untuk public. “Saya pernah mempertanyakan ke BPS data ini tapi mereka tidak mampu tunjukan. Misalnya berapa luas lahan yang masih dimiliki warga Halteng di tengah gempuran intervensi korporasi tambang saat ini,” katanya.
Dia bilang memang riset sosiologi mendalam belum menyasar soal keterbatasan lahan yang dihadapi warga di inti kawasan industri. Tetapi apa yang ada saat ini dan model praktik berwujud industrialisasi,ini tak ada ruang sedikit pun untuk warga.
Berdasarkan kondisi industrialisasi di Halmahera Tengah dan Pulau Halmahera secara keseluruhan, dipastikan meninggalkan jejak panjang penderitaan, terutama karena ketiadaan ruang hidup.
“Semua pihak termasuk pemerintah patut cemas. Jangan sampai di titik tertentu, ruang hidup wilayah di mana beroperasinya industri ekstraktif telah melibas semua hak warga,” katanya.
Dia lantas bilang harus dilihat RTRW Halteng saat ini, terkait pengembangan wilayah. Kalau tidak dapat dimaksimalkan, sementara industrialisasi terus berkembang, desa-desa yang ada kemungkinan akan ikut tergusur.
Penulis Mahmud Ici, Pimred Kabarpulau.co.id
Tulisan ini adalah hasil liputan fellowship kolaborasi LSM Kurawal dengan AJI Indonesia. Liputan ini difokuskan untuk dampak warga sekitar tambang akibat adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) di Maluku Utara
CEO Kabar Pulau