Home / Kabar Kampung / Lingkungan Hidup

Rabu, 1 November 2023 - 23:38 WIT

Tambang Hadir, Kebun Hilang, Pangan Sulit 

Memasuki-kawasan-industri-IWIP-di Lelilef Weda Halmahera-Temgah foto M Ichi

Memasuki-kawasan-industri-IWIP-di Lelilef Weda Halmahera-Temgah foto M Ichi

Cerita dari Sagea dan Kiya Weda Utara Halmahera Tengah

Ketika mobil yang saya tumpangi tiba di Desa Lukulamo Weda Halmahera Tengah Maluku Utara pada Selasa (10/10/20230) siang, mulai terasa memasuki kawasan industri tambang nikel yang sibuk.

Kendaraan terlihat lalu lalang tak henti melewati jalan nasional poros Weda-Patani. Debu mengepul membungkus jalanan. Mobil menutup kaca jendela sementara pengendara motor melindungi hidung dan mulut dengan masker.

Empat tahun lalu tepatnya pada November 2019 ketika saya mengunjungi kawasan konsesi tambang di Halmahera Tengah ini, di kiri kanan jalan dari Desa Lukolamo sampai Desa Sagea masih terlihat  perkebunan warga.  Kecuali dari Lelilef hingga ujung desa Gemaf sudah berdiri kawasan industry PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) kala itu.

Kini suasananya telah berbeda. Kebun-kebun di sepanjang jalan itu telah  hilang. Berdiri rumah kost, pertokoan serta warung makan.     

Makin terasa ketika memasuki desa Lelilef sebagai pusat kawasan industri tambang PT IWIP yang  juga salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di Maluku Utara. Tak ubahnya pusat kota yang sibuk. Toko, pusat perbelanjaan, perbankan, hingga terminal dadakan muncul. Pada jam-jam tertentu saat masuk dan pulang kerja karyawan, juga terjadi kemacetan luar biasa. Kendaraan mengular berjam jam.  

Poros jalan nasional beraspal yang melewati pusat industry PT IWIP yang dulu, telah hilang dan dibangun badan jalan dengan system cor. Jalan yang membelah kawasan industri itu kurang lebih 10 KM menurut data Balai  Jalan Nasional Wilayah Maluku Utara dari jumlah itu kurang lebih setengahnya  sudah dikerjakan dengn rigid/cor.

Suasananya seperti memasuki kawasan tol di Jakarta. Sisi kiri kanan jalan di kawasan industry telah berdiri bangunan pabrik untuk kebutuhan industry. Ada  beberapa jembatan layang membelah jalan nasional itu untuk aktivitas kendaraan berat perusahaan.

Kebun sagu di desa Sagea yang kini telah dijual ke perusahaan tambang. foto M Ichi


Memasuki Desa Gemaf hingga ke Sagea kondisinya nyaris sama. Lahan-lahan di tepi jalan dengan kebun sudah beralih fungsi menjadi tempat kost, warung dan rumah makan. Industri tambang nikel yang masuk dan mempekerjakan kurang lebih 45 ribu tenaga kerja saat ini, benar-benar mengubah berbagai hal.  

Sagea dan Kiya dua desa yang berada di Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara, sebenarnya agak jauh dari pusat industri nikel PT IWIP. Kurang lebih 9 kilometer. Namun dampak  industry tambang ini begitu kuat terasa. Warga merasakan dampak lingkungan, habisnya lahan pertanian maupun perubahan kondisi social ekonomi mereka.

Salah satu dampak nyata adalah penciutan lahan pertanian yang massive. Lahan-lahan itu sebagian besar telah dijual warga ke perusahaan. Kondisi lahan saat ini tidak hanya dikuasai industry tambag tetapi juga berbagai usaha ekonomi yang masuk memaksa  dialihfungsikan.

Sekadar diketahui, masyarakat Suku Sawai yang mendiami wilayah Weda Tengah dan Utara di Halmahera Tengah, merasakan dampak nyata sejak masuk industri ekstraktif tambang 2006 lalu. PT WBN di bawah bendera Eramet Prancis yang telah mendapat izin pelepasan kawasan hutan produksi (konversi) dan izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan pada Maret 2011 yang berlokasi di Teluk Weda, adalah perusahaan joint venture  antara PT ANTAM (10%) dengan Eramet Group (90%) dari Prancis. Berdasarkan Kontrak Karya (KK) Generasi VII tahun 1998, PT WBN berhak atas konsesi pertambangan seluas 54.874 ha di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur dengan total cadangan 132 juta ton biji dengan kadar nikel 1,0 persen sampai 1,4 persen.

Memasuki-kawsan-tambang-di-Desa Lelilef-yang-berdebu-foto-M-Ichi

Ada juga PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang telah membangun kawasan industrinya di Weda untuk mengolah nikel. Keberadaanya ikut menggerus ruang  hidup  masyarakat Sawai. 

Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang sesuai Dokumen Konsultasi Publik 2 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) KI Teluk Weda, menyebutkan Kawasan Industri Teluk Weda di Kabupaten Halmahera Tengah masuk sebagai kawasan strategis nasional yang mengelola bahan tambang feronikel  dan turunannya  menjadi batrey Electric Vehicle (EV), stainless steel  dan fasilitas pendukungnya sekaligus berfungsi sebagai smelter. Dokumen itu juga menyebutkan IWIP membutuhkan lahan untuk kawasan industri mencapai ini 8.67,44 hektar. Luasan ini belum ditambah usulan penambahan luasan konsesi untuk kawasan industry mencapai 5 ribu hektar.

Pembangunan- Tahap I membutuhkan lahan 3.250,92 Hektar. Sementara tahap kedua 5.356,52 Hektar. Terbaru untuk memuluskan penguasaan ruang bagi kawasan industry IWIP diusulkan adanya perubahan tata ruang dengan permintaan penambahan ruang  8 hingga 15 ribu hektar. Proses pembahasan usulan perubahan tata ruang ini  sudah  dilakukan  DPRD Halmahera Tengah dan telah diakomodir penambahan 5 ribu hektar.  

Saat ini PT IWIP ikut mengajukan lagi usulan penambahan kawasan industri seluas 15 ribu hektar. Usulan yang dimasukkan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten Halmahera Tengah itu masih terjadi tarik menarik sejak digelarnya pembahasan hingga kini. Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Tengah Munadi Kilkoda dikonfirmasi soal adanya permintaan penambahan lahan oleh PTR IWIP tersebut, dia bilang saat ini telah diajukan dan dimasukan ke dalam revisi RTRW Kabupaten Halmahera Tengah. Meski begitu masih terjadi tarik menarik diterima atau ditolak. “Pengajuannya sudah dari perusahaan tetapi masih terjadi tarik menarik,”katanya.

Lalu berapa izin dan luasan tambang di Halmahera Tengah  saat ini?

Data Badan Geospasial 2020 menyebutkan luas wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang mencapai 226.402 hektar. Sementara berdasarkan data Geoportal ESDM 2023 di kawasan teluk Weda memiliki 19 izin usaha pertambangan (IUP). Dari jumlah IUP  menguasai  lahan  mencapai 46.129,1 hektar. 

Sementara di kawasan Sagea ada 9 izin usaha pertambangan yaitu PT Weda Bay Nickel  20,612 hektar.    PT Bakti Pertiwi Nusantara 1,232 hektar, PT Gamping  Mining 2,538 hektar, Tekindo Energy 1000 hektar, First Pasifik Mining 2,080  hektar, Harum Sukses Minim 990 hektar, Karunia Sagea Mineral 1,225 hektar dan PT Tekindo 1000  hektar.  Lahan yang menjadi konsesi perusahaan ini tidak hanya menguasai hutan  tetapi juga lahan  kebun masyarakat yang telah dijual.

PT IWIP adalah salah satu kawasan industry pertambangan yang gencar membeli lahan milik warga. Di Sagea dan Kiya misalnya, lahan kebun yang dijual warga ke perusahaan sudah masuk sampai berbatasan dengan dua kampong  ini. 

“Kita belum menghitung berapa luas lahan yang telah dibeli perusahaan tetapi kami memperkirakan sudah mencapai 70 persen lahan milik warga telah terjual,” jelas Sekretaris Desa Kiya  Iksan Muhammad. 

Baca Juga  Hutan dan Laut  Malut Makin Terancam

Dia bilang, luasnya lahan yang dibutuhkan perusahaan,  ikut menghabiskan ruang hidup warga. Ruang hidup yang hilang itu yakni lahan perkebunan, kawasan hutan mangrove, bahkan hutan sagu. Saat ini desa-desa di mana ada masyarakat Sawai terutama di Desa Lelilef, Gemaf dan Sagea hamper semua lahan pertaniannya telah berada di bawah perusahaan tambang. Akibatnya masyarakat tidak lagi bertani. Sebagian besar telah beralih menjadi buruh perusahaan atau usaha usaha lainnya.

Meski begitu ada sebagian kecil masih tetap mempertahankan lahannya.  Di Desa Kiya misalnya  yang bertahan  menjadi petani tidak sampai 10 orang itu yang masih ke kebun untuk panen pala atau kelapa. Namun sebagian besarnya tidak lagi,” jelas Iksan.  Tidak hanya lahan perkebunan yang habis, lahan untuk perluasan kampong saja masyarakat Desa Kiya dan Sagea  tidak lagi  miliki. Desa juga belum memiliki dokumen tata ruang desa sementara lahan lahan produktif yang dekat dengan kampong sudah terjual. Karena itulah mereka kuatirkan ke depan jika menambah ruang pemukiman saja sudah sangat sulit. “Pemerintah desa belum memikirkan membuat peraturan desa yang melarang lahan  perkebunan  tidak jauh dari  kampong agar tidak dijual sehingga bisa dikembangkan untuk pemukiman. Sekarang lahan kebun warga sudah telanjur dijual ke perusahaan sehingga untuk perluasan kampong nanti akan sulit. Itu masalah yang kami hadapi,” keluh Ketua BPD Desa  Kiya Wahyudin Mulkis.

Dia bilang, lahan perkebunan di tepi jalan raya bagian utara desa  itu sebagian besar telah dijual ke perusahaan.   Dia mengaku kesulitan menghalangi warga menjual lahan mereka. Sudah berusaha menjelaskan dampaknya ketika menjual lahan  mereka di masa depan. Yakni anak cucu tak punya apa apa lagi.

“Kita kesulitan melarang warga agar tidak melepas lahan mereka. Banyak yang tergiur melihat uang yang banyak diterima warga ketika  jual lahan,” katanya. (*)     

Aktivtas Bertani Warga Sagea-Kiya Nyaris Hilang  

Malam beranjak pagi pada Jumat (13/10/2023). Jarum jam menunjukan pukul 04.45 WIT. Meski sebegitu pagi, kampong Sagea dan Kiya di Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah Maluku Utara itu seperti tidak tidur. Bunyi kendaraan motor dan mobil yang melintasi jalan utama menuju ke kecamatan Patani Halmahera Tengah itu ramai dengan karyawan perusahaan tambang berbaju lengkap dan helm pergi dan pulang  kerja.

Kampung yang berjarak  di kawasan industri tambang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)  itu, begitu sibuk. Padahal sebelum hadirnya tambang Kampung ini dulunya tenang dan damai. Setiap pagi warga bersiap pergi membersihkan kebun, menanam atau pun memanen hasil kebun dan pangan mereka. Namun kini aktivitas itu nyaris hilang.  Jarang ada lagi setiap pagi melihat ibu-ibu yang cahi saloy (membawa keranjang yang dianyam dari bambu ditempatkan di belakang,red)  sambil diiringi para suami  membawa parang menuju kebun. Yang terlihat hanyalah seliweran kendaraan karyawan yang pergi dan pulang kerja. Sementara mama-mama kampong terlihat berbelanja ke pasar atau menunggu mobil pick up menjual berbagai pangan local melewati  kampong mereka.

Di lahan pekarangan rumah yang biasa ditanami tanaman kini telah berubah menjadi rumah indekost yang disewakan kepada karyawan tambang. Orang muda di kampong sebagian besar bekerja di perusahaan. Sementara mereka yang sudah berusia lanjut tinggal di rumah dan hanya sebagian kecil masih mempertahankan aktivitas  sebagai petani dan nelayan.

Ibu ibu desa Sagea yang masih ke kebun memenuhi kebutuhan mereka. Salah satunya mengambil daun enau yang nanti diraut dan lidinya dijadikan sapu lidi foto M Ichi

Nyaris tinggal sedikit  warga yang berkebun.  Padahal,   warga  Sawai yang menyebar  di Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah, menempati kampong  Lelilef, Gemaf, Sagea/Kiya, Fritu dan Waleh dari dulu mengelola kebun dan kawasan hutan di sekitar sacara turun temurun. Menanam kelapa, cengkih, coklat maupun pala. Tidak itu saja, juga menanam tanaman bulanan terutama pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tanaman perkebunan menjadi tempat bergantung hidup  memenuhi kebutuhan yang lebih besar. Dari  biaya  anak  sekolah hingga kebutuhan hidup sehari-hari. Dari lahan-lahan inilah jadi mesin penghasil uang untuk keberlanjutan hidup.  Rumah tinggal  bisa berdiri, anak-anak bisa sarjana serta roda hidup bisa terus berjalan karena panen kelapa, cengkih maupun pala dan hasil kebun lainnya. Tidak itu saja,  lahan sagu dan tanaman  pangan seperti pisang, ubi kayu maupun sayur mayur ada di lahan lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.   

“Torang (kami,red) ini dari nenek moyang    mengajarkan kami bertani, menanam kelapa pala dan cengkih, ada kebun pisang dan pukul sagu serta mengail ikan untuk menjalan torang pe hidup.  Sekarang tambang datang dan samua berubah,” kata Maryama Usman tokoh perempuan Sagea/Kiya.

Kini aktivitas warga berubah seiring masuknya investasi tambang nikel. Lahan produktif dan kebun-kebun sumber pangan penting terjual. Kebiasaan memukul sagu untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat menjadi hilang.Kebun sagu juga  terampas dan dikuasai tambang.

Karena minimnya orang bertani pemerintah desa dalam mengelola dana desa yang setiap tahunnya mencapai Rp1,6 miliar lebih, tidak diplotiing lagi untuk pemberdayaan ekonomi  bidang pertanian.  “Kita sudah tidak ada lagi ploting anggaran dana desa untuk pengadaan bibit atau yang berhubungan dengan pertanian karena lahan  pertanian juga sudah  habis,” jelas Sekdes Kiya Iksan Muhammad. Dia akui untuk nelayan masih ada ploting anggaran terutama untuk pembelian armada tangkap. 

Kondisi ini memaksa sebagian besar pangan warga didatangkan dari luar daerah. Jika warga Sagea dan Kiya ingin makan sagu tak lagi mengolah dari pohonnya. Mereka hanya membeli  sagu maupun  singkong yang diparut dan dibuat lempengan sagu.

“Sagu didatangkan dari Maba Halmahera Timur maupun dari Patani dan Pulau Gebe,” jelas Anwar Santuli salah satu tokoh masyarakat Sagea.        

Dia bilang saat ini kebun- kebun sagu juga sudah terjual ke perusahaan sehingga warga kesulitan mau pukul sagu. “Kalau mau pukul sagu terpaksa harus lapor ke perusahaan karena mereka sudah beli,” katanya.

Dia bilang, melihat situasi sekarang ini, maka ke depannya anak cucu  akan sangat kesulitan.

Tidak itu saja, adanya penambahan penduduk yang signifikan juga turut menambah kesulitan karena persaingan perebutan lahan di masa depan.

kebun pisang milik warga Sagea yang lahannya belum dijual ke perusahaan, foto M Ichi

Di Desa Kiya awalnya hanya ada 146 Kepala Keluarga (KK). Seiring waktu bertambah siginifikan hingga mencapai hamper 250 KK. Penambahan ini karena  ada  KK baru  masuk  desa ini setelah mereka bekerja di perusahaan. 

Penambahan penduduk signifikan sementara warga  setempat tidak lagi  punya lahan pertanian.  Mereka  mengembangkan usaha tempat kost dan jasa lainnya  yang cepat mendapatkan uang.  “Mereka yang aktif setiap  ke kebun mungkin tidak sampai 10 orang. Yang melaut masih lumayan di atas 15 orang,” jelas Sekretaris  Desa Kiya Iksan Muhmmad.

Baca Juga  WALHI Malut Kirim Pesan untuk Sidang COP

Dia bilang kurang lebih 70 persen warganya tidak lagi bertani. Perubahan sangat signifikan ini terjadi sekira tahun 2019 ketika lahan lahan produktif mulai terjual. Di bawah tahun tersebut warga masih aktif beraktivitas di kebun. Yang pergi ke kebun memanen pala maupun kelapa itu masih ada satu dua orang karena masih  mempertahankan kebunnya. Tetapi yang menanam sayur sayuran maupun pangan untuk kebutuhan sehari-hari nyaris sudah tidak ada lagi,” katanya.   Karena itu kebutuhan mereka didatangkan dari luar daerah. Sayur mayor, pisang, singkong  bahkan sagu  semuanya  dari luar daerah. Pisang saja dari Tobelo Halmahera Utara, Jailolo dan Ibu Halmahera Barat. Sementara sayur mayor didatangkan dari beberapa daerah transmigrasi di Halmahera Tengah termasuk Ternate bahkan dari Manado.

Di sisi lain warung dan kios tumbuh di mana mana. Warga dari luar Sagea/Kiya berbondong-bondong datang ke desa ini membuka usaha. Sementara warga  Sagea/Kiya yang telah menjual lahanya sebagian besar telah digunakan  bangun rumah  kost maupun   warung dan toko kelontong.  

Sumber Pangan Lokal Terancam

Wati Taher (35 tahun) warga Kiya Selasa (10/10/2023) sore itu sibuk memilih pisang dan singkong yang akan dibeli. Wati membeli satu kilo singkong dan tiga sisir pisang yang rencana direbus atau digoreng esok paginya.   Pangan local itu  dijual oeh Mikel (39 Tahun) dan istrinya Mery (34 tahun) warga Tobelo. Pasangan suami istri ini   menjajakan pangan local  menggunakan mobil pick up berkeliling desa desa di kawasan lingkar tambang PT IWIP.  Suami istri  asal  Desa Wari Tobelo Halmahera Utara ini berjualan  pisang, singkong, batatas, keladi, cabe dan tomat. Mobil pick up yang  mereka gunakan bagian belakangnya dimodifikasi dibuat tenda agar jualan mereka terlindungi dari hujan dan panas.  

Mery pada kabarpulau.co.id  mengaku bukan baru pertama kali   berjualan di Halmahera Tengah. 

“Kami sudah berulang kali membawa pisang, singkong dan batatas serta keladi. Dari Tobelo di Halmahera Utara pukul 03.00 dini hari dan tiba di Weda Halmahera Tengah siang sekira pukul 10.00 WIT.  Gunakan mobil  masuk ke luar kampong,” kata  Mery.

Mery berpose di aamping jualan pisang yang dibawa dari Tobelo Halmahera Utara foto M Ichi

Dari pangan yang dibawa singkong dijual per kilonya Rp15 ribu. Sementara pisang dijual tiga sisir Rp20 ribu.  Begitu juga keladi dan batatas dijual per kilo gram Rp20  ribu dan  Rp15 ribu.

Berbagai jenis pangan local yang mereka bawa ini sangat laris. Karena itu mereka jualan paling 3 hari sudah ludes  dan pulang lagi ke Tobelo. “Kadang langsung pulang. Tetapi kita sering sampai ke wilayah Patani untuk membeli biji pala. Tujuannya sekali jalan tak hanya jualan tetapi juga bisa beli hasil pala untuk dijual ke Tobelo,”  jelas Mikel.

Terpisah Waty mengaku  warga di Sagea dan Kiya serta  beberapa desa di daerah lingkar tambang  menggantungkan hidupnya dari pangan yang didatangkan dari luar  Halmahera Tengah.  

“Kitorang (kami,red) makan pisang dan singkong itu dari Tobelo Halmahera Utara  dan Jailolo  Halmahera Barat. Warga di  sini so tara batanam  (warga di sini sudah tak lagi menanam,red),” katanya.  

Masuknya investasi tambang nikel membuat masyarakat Sawai  terutama di Sagea  dan Kiya ikut berubah.   Sejak perusahaan  beroperasi,  masyarakat menghadapi berbagai tantangan selain persoalan lahan (wilayah kelola).         

Kebanyakan beralih dari usaha jasa. Misalnya mengelola tempat kost.  Untuk  memenuhi sumber pangan juga warga harus membeli karena sudah tidak lagi menanam.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Tengah Yusmar Ohorela dikonfirmasi Selasa (24/10/2023) menjelaskan wilayah Kecamatan Weda Utara, masuk deliniasi kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Meski kawasan lahan bekelanjutan namun penjualan lahan  pertaniannya sulit terbendung.  Hal ini juga diakui Yoesmar. Dia mengaku maraknya penjualan lahan saat ini sulit dicegah.  Aksi jual lahan yang semakin tinggi itu, pihaknya tidak bisa berbuat apa apa. Apalagi membatasi warga. Hal ini karena ada kebutuhan masyarakat yang juga mendesak.

Sagu lempeng yang dimakan Bapak Anwar Santuli ini diibeli dari para pemasok sagu dari Maba, Patrani dan Gebe foto M.Ichi

“Saya sudah coba lakukan pendekatan kepada petani dengan memberikan penjelasan terkait lahan. Misalnya lahan pertanian selain untuk kegiatan pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman sayuran, juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tempat tinggal bagi anak cucu. Tapi karena alasan kebutuhan mendesak sehingga tanah kebunya  dijual,” jelasnya.

Dia contohkan,  temuannya di lapangan,  ada sepuluh petani  punya lahan berdekatan. Lahan  milik tujuh petani telah dijual kepada perusahan tambang. Sementara  tiga orang  tidak menjualnya. Ketika lahan yang sudah terjual akan digunakan perusahan, karena dikuatirkan  berdampak terhadap lahan mereka  akhirnya tiga orang ini berpikir dari pada terkena  dampak,  akhirnya mereka   jual lagi. 

Hasil riset Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat (AEER) di desa-desa lingkar tambang PT IWIP di wilayah Desa Lelilef Woebulen, Desa Lelilef Sawai, Desa Gemaf dan Desa Sagea menemukan adanya perubahan pola mata pencaharian warga. Semula warga berprofesi sebagai petani maupun nelayan, kini warga beralih menjadi pengusaha indekos, pedagang atau karyawan perusahaan tambang.

Warga yang berprofesi sebagai petani kehilangan kebunnya, dan nelayan yang melaut yang tadinya hanya 1 kilometer dari pinggir pantai kini harus melaut sampai 20 hingga 30 kilometer. Peralihan mata pencaharian tidak selalu dianggap menjadikan kehidupan warga semakin baik melainkan juga membawa kesulitan baru bagi petani yang tidak memiliki cukup modal dan keterampilan lain untuk beralih profesi.   

Peneliti Sosial  AEER , Andi Rahmana Saputra dalam rilis resmi  Agustus 2023 lalu  mengungkapkan, kedatangan industri nikel telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di desa- desa terdampak. Petani setempat terpaksa menjual lahan perkebunannya, dan beralih profesi. Tidak hanya mengurangi tutupan lahan pertanian. Reklamasi dan penebangan hutan bakau, memaksa nelayan melaut lebih jauh. 

“Pemicu konflik tenurial di Halmahera Tengah antara industri nikel dan masyarakat lingkar tambang di empat desa terdampak utamanya karena dua alasan yaitu: dampak ekonomi yang terjadi ketika warga kehilangan ruang penghidupannya dan masalah ganti rugi yang tidak sesuai nilai ekonomi lahan bagi warga terdampak,” kata Andi.

Tulisan ini merupakan liputan fellowship kerja sama AJI Indonesia Kurawal Foundation dan Independen.id

Share :

Baca Juga

Lingkungan Hidup

Petaka Perubahan Iklim Global Ancam Bumi

Kabar Kota Pulau

Negara Pulau dan Kepulauan akan Gelar Kongres

Lingkungan Hidup

Sampah Plastik dari Laut Malut Diserahkan ke PT Unilever

Lingkungan Hidup

JETP Tak Boleh Abaikan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas

Baronda

KPK: Kampus Harusnya Kawal Perusahaan Tambang

Kabar Kampung

Dulu Tebang, Sekarang Tanam

Kabar Kampung

Tanam Mangrove agar “Merdeka” dari Abrasi

Lingkungan Hidup

Mangrove Makin Terancam, Butuh Pelibatan Masyarakat