Sebuah Doho doho Pendek di Pertengahan Ramadan 

Kitab Suci Alquran untuk ummat manusia, secara khusus  telah menerangkan  dengan terang benderang  fenomena alam dengan ayat- ayat kauniyah-nya. Dalam  membaca fenomena alam itu,  para leluhur negeri al-mulk  yang terdiri dari pulau pulau ini telah mempraktekan dalam setiap hidup mereka sejak dulu. Bagi mereka, setiap ada fenomena alam yang terjadi pasti memiliki makna. Baik dalam menjalani  hidup maupun urusan ritual peribadatan dengan sang pencipta. Mereka selalu percaya bahwa, tanda-tanda alam di darat dan juga di laut jadi pustaka yang selalu menuntun dalam setiap etape kehidupan.

Sebagai wilayah kesultanan, orang Ternate dan Tidore dan Maluku Utara umumnya, punya tradisi  yang beragam.  Dia sekaligus menjadi kompas  menentukan arah dalam  ketepatan dan ketetapan berbagai aktifitas hidup. Baik  kalao dan kadara. maupun  ka atas dan  kabawa.  Dari menanam di kebun, bepergian, mencari ikan, menentukan waktu puasa Ramadan hingga menghindari hari hari yang naas.  Meski  belakangan  praktiknya  mulai digilas  moderenisasi, hakikat pesan alam  itu tetap dilestarikan  turun temurun oleh sebagian orang yang  masih yakin dan percaya.

Contoh nyata  yang masih hidup dan tetap dipertahankan sebagian orang  saat ini adalah menentukan dimulainya puasa Ramadan.  Pasalnya, penentuan awal puasa ini sering memunculkan perdebatan. Ketidaksamaan waktu karena adanya metode yang digunakan dari  hisab dan rukhyatulhilal sering kali menjadi perdebatan. Nah para tetua Maluku Utara bisa mencari bahan banding lain lewat  tanda- tanda alam dan perdebatan itu bisa saja dihindari.  Khusus ketika menentukan awal puasa, selain  dua metode itu, ada  yang masih dijaga dan dipraktekan  tetua Ternate  dan Tidore dari dahulu kala. Bahkan masih dijalankan sebagian orang hingga kini.  Mereka percaya tanda- tanda alam dan segala isinya itu akan menuntun  ke jalan kebenaran.

Salah satu yang dijadikan petunjuk awal puasa  itu adalah ketika  hanyutnya  bunga padang lamun (sea grass) yang terbawa arus laut dan  terdampar di tepian pantai. Sebagai orang yang hidup di pulau-pulau  tanda- tanda alam ini oleh sebagian orang  masih digunakan hingga kini.  Jika diakhir Syaban dan sudah ditemukan bunga putih  dari lamun  hanyut dan terdampar di pantai,  petanda puasa Ramadan  telah tiba.

Seperti digambarkan dalam  sastera lisan Ternate dan Tidore dalam bentuk dola bololo     yang sering diucapkan para  leluhur.  Gasung  Ma Bunga  Ruru, Manonako Ara Fane Futurimoi. hanyutnya bunga padang lamun, pertanda bulan sudah lewat 1 malam (Ternate). atau  Gasung Ma Bunga  Ruru, Ora fane  Futu Rimoi,  artinya : hanyutnya bunga padang lamun, pertanda bulan sudah lewat 1 malam (Tidore). Pesan dola bololo ini menjadi penanda  bahwa tanda tanda alam tak berbohong.

Meskipun  sudah jarang dipraktekkan, namun di sebagian masyarakat Tidore  dan Ternate yang pantainya belum tersentuh reklamasi  masih mengamati bunga gusung atau lamun  saat  Ramadhan akan tiba. Sekadar catatan, di Ternate, ketika datang reklamasi membabat tepian pantai  karena alasan  keterbatasan ruang hidup  kota,  di situ  tradisi ini mulai tergerus dan tinggal cerita.

Melihat bunga lamun yang hanyut hanyalah satu di antara beberapa metode menentukan awal Ramadhan. Karena  sebagian besar orang sudah menggunakan alat  untuk mengamati awal bulan. Orang Ternate dalam menentukan awal ramadhan selain melihat bunga lamun yang hanyut juga mendasarkan pada rukhyatul hilal atau  dikenal dalam tradisi nyata ara/ melihat bulan dengan mata telanjang. Nyata ara dilakukan tokoh agama dan pihak kesultanan Ternate.  Prosesnya dilakukan usai salat Ashar atau  jelang Maghrib di kawasan pantai. Salah satu tempat di Ternate yang dijadikan lokasi nyata ara adalah di Kelurahan Rua.  Nyata ara ini juga kini sudah tergantikan dengan adanya tim rukhyatul hilal Kementerian Agama yang selalu melakukan pengamatan dengan dukungan peralatan yang mereka punyai   yang digelar secara nasional.

 

Kalender  Tidore dan Dasar Melihat Tanda-tanda Alam  

Dalam membaca alam,  di Kota Tidore Maluku Utara warganya  memiliki kalender lokal. Kalender ini  sebenarnya ada sejak dulu meskipun tidak dalam bentuk seperti kalender sekarang ini.  Kalender ini masih digunakan. Keberadaanya  sangat bermanfaat  terutama  dalam momen- momen  penting  seperti  penentuan awal Ramadan.

Arifin Abas tokoh di balik  pembuatan kalender adat Tidore  ini mengaku saat  menyusunnya  memantau  bulan dan menghitung  waktu  dalam  kearifan lokal Tidore.  Hal ini berdasar pada dalil lisan/dola bololo  yang dimiliki orang Tidore: ora fane mawange mega, tuga mawange enage. Artinya: bulan berawal pada hari apa, purnama  juga pada hari itu, (purnama juga pada nama hari yang sama). Didukung dalil berikutnya : futu nyagi moi se matoha, ora tuga.  Atau: ora tuga musi futu nyagi moi se matoha (malam ke – 15, bulan purnama. Atau bulan purnama idealnya terjadi pada malam ke – 15.

Arifin  ditemui Agustus 2024 lalu bercerita, penelitian yang dia lakukan untuk menyusun  kalender ini juga   dengan membaca tanda- tanda alam.  Ada sejumlah lokasi  di Tidore menjadi tempat mengamati  berbagai kejadian alam itu.  Misalnya di  Kampung Seli,  Kalodi dan Paceda. Di Seli  dia melihat bunga gusung  atau lamun  mengapung  di atas air dan pantai di awal bulan.  di Kalodi  dia mengecek  burung  maleo bertelur  dan di  Paceda dia melihat Penyu bertelur. Tanda tanda alam ini menjadi dasar menyusun kalendernya. Pengamatan tanda alam ini dilakukan  dalam waktu yang panjang  selama 2,5  tahun dimulai sejak 2013 lalu.

Kelebihan  kalender Adat Tidore, diklaim tidak hanya  dalam ketepatan waktunya,  tetapi juga  dapat melihat hari baik dan buruk (Nahas),  saat  manusia melakukan aktifitas.   Bahkan dari kalender ini sudah bisa diketahui kapan  terjadinya gerhana bulan dan matahari.     Hitungannya, tidak meleset terutama dalam menentukan pergantian bulan, tahun dan penetapan hari.

Naskah falakiah lokal yang disusun Arifin  yang juga pegawai Dinas Pariwisata  Kota Tidore Kepulauan itu, telah diseminarkan pada 2016 silam  dan diresmikan Sultan Tidore serta Wali Kota Tidore bertepatan dengan  momen Festival Maitara waktu itu.

Hingga kini sebagian masyarakat menggunakan kalender Tidore . Mereka percaya sebagaimana setiap awal bulan baru ditandai dengan fenomena alam, padang lamun berbunga. Kalender itu juga diklaim selaras dengan sains modern. Terutama fokus penempatan tanggal dalam kalender   untuk peluang terjadinya gerhana matahari   dan gerhana bulan.

Karya Arifin ini  juga telah diakui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Republik  Indonesia. Dia turut diberi penghargaan dalam Program Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2022 untuk program penghargaan AKI kategori Pencipta  Kalender Adat Tidore. Sebelumnya  penelitian Arifin  sempat diuji oleh Mendikbud Ristek  dengan mengirim 6 orang untuk mengujinya. Setelah verifikasi substantif yang diuji di lapangan, diakui  karya ini memasukan unsur Filologi, Linguistik, Semiotika dan Sejarah Peradaban.

Akhirnya, ragam tradisi yang dipraktekan orang pulau yang mendasarkan alam sebagai soko gurunya itu, jika  dibiarkan terus tergerus,   cepat atau lambat kehilangan identitas  warga dan negeri ini  bukanlah sebuah pepesan kosong.  (Disarikan dari  berbagai sumber)