Untuk menentukan Titik Nol Rempah, bukan lagi sekedar soal romantisme sejarah masa lalu, namun ia adalah soal identitas, nasionalisme, dan soal geopolitik global, untuk menentukan pada titik manakah Indonesia harus memainkan peranannya dalam percaturan global dewasa ini.
Jika menoleh apa yang dilakukan China sepeninggalnya Mao Tze Tung, Deng Xiao Ping telah berani mengangkat identitas masa lalu China dengan mengembangkan Silk Road sebagai isyu utama pembangunan kembali China. Hal ini mengantarkan China menjadi kekuatan ekonomi global dalam sekejap.
Deng Xiao Ping kemudian meredefinsikan Modern Silk 21 Road, dengan program OBOR (One Belt One Road), lalu dilanjutkan Xi Jinping dengan BRI (Belt Road Initiative), sebagai jalur sutera modern, untuk merambah investasi dan relasi ekonomi dengan berbagai kawasan dunia secara serentak.
Semua berakar dari sejarah, yang direaktualisasikan dalam konseptual ekonomi modern, untuk tujuan memperkuat kemampuan ekonomi dan infrastruktur bangsa China.
Sejarawan India Romila Thapar dalam The Past as Present, Forging Contemporary Identities Through History (2014), menyatakan: ‘Nations need identities. These are created from perceptions of how societies have evolved. In this, history plays a central role. Insisting on reliable history is therefore crucial….’ Apa yang dikatakan Thapar, seakan mencontohi apa yang dilakukan Deng Xiaoping. Bahwa keterlibatan memori kolektif publik, sangat menentukan dalam pembentukan identitas sebuah masyarakat bangsa.
Kesalahan merekonstruksi memori kolektif, dapat berakibat fatal, karena yang terjadi adalah semakin terjebaknya bangsa tersebut dalam pertarungan geopolitik dewasa ini, yang menggunakan perang asimetrik atau proxy warfare, dengan efektifnya. Thapar mengedepankan betapa pentingnya interpretasi dan perspektif sejarah bagi sebuah upaya merekonstruksi nation building. Karena disitulah terletak makna identitas, dimana sejarah menjadi pertahanan diri atas 22 gempuran dekontruksi memori kolektif sebuah masyarakat bangsa dalam perang proxy modern dewasa ini.
Walaupun Thapar menulis untuk kepentingan dan perspektif India, dimana ia telah menggali sejarah bahkan legenda dan berbagai hikayat diungkapkan semua dalam debat naratif tentang epos Bharata, Ramayana dan Somanatha, juga fenomena kekerasan komunal India. Namun semuanya dikompilasikan untuk menjadikan India beridentitas dengan memanfaatkan sejarah masa lalunya sebagai kekuatan masa kini, the past as present. Karena dalam strategi proxy, sejarah adalah senjata sekaligus sumber kekuatan. Semakin kabur sejarah dan mudah dimanipulasi, akan semakin mudah suatu bangsa dijadikan target dan sasaran proxy.
Juri Lina, seorang penulis Estonia dalam Architect of Deception (2004), menyebutkan ada tiga cara untuk melumpuhkan suatu bangsa. Pertama, kaburkan sejarahnya; Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya; Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan para leluhur, dengan mengatakan jika leluhur itu bodoh dan primitif. Maka suatu bangsa yang menjadi target proxy tersebut, dapat dengan mudah dikuasai karena telah dilemahkan, setelah kehilangan jatidirinya. Ini adalah teori iluminati.
Sejarawan militer Yuval Noah Harari (2023), dalam sebuah forum terbuka, mengatakan bahwa umat manusia berada dalam bahaya kepunahan karena berkembangnya Artificial Intelligence (AI) sebagai sebuah keniscayaan, jika tidak dibarengi dengan regulasi yang benar. Karena AI dapat membajak bahasa manusia dan menciptakan ”story telling” yang bisa menjerumuskan manusia, sehingga mayoritas manusia tidak bisa lagi mengetahui dan memvalidasi informasi sebagai sebuah kebenaran.
Bahkan agama, filosofi dan aliran politik, bisa diciptakan oleh story telling. Halmana akan membahayakan keberlangsungan peradaban, ketika fenomena post-truth, menjalar semakin meluas deawasa ini, menurut Harari. Kebenaran ditentukan oleh semakin banyak followers pada media sosial yang berkembang sedemikian pesat, tak dapat dibendung ketika berhadapan dengan algoritme data semesta. Inteligensia manusia dapat terancam, jika kita tidak memiliki basis identitas yang berakar pada rekontruksi atas memori kolektif historis yang benar dan valid. Sebelumnya Harari telah menyatakan dalam bukunya, Century Lessons for the 21st Century (2018), bahwa umat manusia berhadapan dengan dengan tiga macam problem dan tantangan besar yang saling berkaitan.
Yaitu, technical problems, policy problems, dan identity problems. Elon Musk dalam (Yuval Noah Harari. AI and the Future of Humanity. Youtube: Frontiers Forum. Montreux, Switzerland. 29 April 2023) bahkan menyebut AI dapat menjadi bencana melampaui ancaman nuklir.
Di samping itu, geopolitik dunia tengah memasuki era pergeseran kekuatan global dari Eropa dan Amerika sebagai titik sentral, bergeser ke kawasan Asia Pasifik. Pergeseran ini, sekaligus menghadirkan great disruption, sebagai fenomena transisi atas setiap perubahan.
Perubahan mana ditandai dengan penguatan ekonomi dunia yang mulai bergeser. Fareed Zakaria, Gideon Rachman, Prof. Kishore Mahbubani, mencatat akan pergeseran global ini. Dalam pandangan Gideon, disebutkan bahwa dunia selama 500 tahun telah di dominasi oleh kolonialisme Eropa dan yang mempengaruhi nasib bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Terjadi Eropasentrisme, yang kemudian dilanjutkan oleh Amerika Serikat, sebagai negara yang mendominasi percaturan global. 500 tahun dunia telah dikendalikan oleh budaya helenisme sentris. Namun setiap 500 tahun akan terjadi power shifting, pergeseran peradaban. Sekarang power shifting itu tengah berlangsung dan bergeser ke Timur, ke arah Asia. Karena erosi strategi Amerika dan kemampuan ekonomi yang mengalami backdrop. Gideon menyebut pergeseran Westernization to Easternisation. Prof. Kishore pun menandai kecenderungan yang sama, menyatakan dunia tengah memasuki the end of the era western domination. (Gideon Rachman. Easternisation. War and Peace in the Asian Century. Penguin Random House UK. London 2016).
Relasi Timur dan Barat akan mengalami tata ulang, karena terjadi apa yang disebut Kishore sebagai return of Asia to the center of stage of world history. Tentunya narasi ini, harus dicermati oleh kita, terutama pada kawasan nusantara, khususnya Asia Tenggara, yang disebut bakal menjadi sentra percaturan akibat pergeseran atau power shifting tersebut. Karena bisa juga terjadi apa yang disebut The Fussion of Civilizations, meminjam istilahnya Larry Summers, yang menandai terjadinya konvergensi peradaban barat dan timur. Sejarawan Yuval Noah Harari mengatakan adanya kesamaan konklusi tentang Sapiens, dimana manusia secara bersama akan saling berbagi secara geopolitik, ekonomi, hukum, dan sistem pengetahuan.
Halmana menghadirkan kebutuhan manusia dan bangsa-bangsa akan diplomasi multilateral untuk mencapai konvergensi global tersebut.
Adapun fenomena besar China dengan BRI (OBOR)nya, bahkan telah merambah Afrika. Namun platform isyunya adalah Deklarasi Bandung (Konferensi Asia Afrika, 1955). Gerak besar ini, berbasis investasi dan kemampuan SDM yang sangat mobile, mencakup 65 negara, 4,4 milyar orang dan sekitar 40 % dari PDB global. China sejak 2013 telah mengedepankan Modern Silk Road sebagai Sabuk Ekonomi Jalur Sutera untuk mengembangkan investasi ekonomi dan jaringan infrastruktur globalnya. (Kishore Mahbubani. The Asia 21st Century. National University of Singapore. Singapore 2022).
Selain itu, pada sisi lain, adanya gagasan Indo-Pasifik, dimana diskursus geopolitik, geostrategi dan geoekonomi, yang dimotori Amerika Serikat, India, Jepang, dan Australia akan berkembang signifikan untuk mengimbangi kehadiran BRI China. Lanscape geopolitik kawasan Indo-Pasifik menghubungkan lebih dari 25 negara pesisir Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Kawasan ini mencakup laut-laut yang mengelilingi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Karena Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar (largest archipelagic state) di dunia, memiliki luas daratan dari Merauke sampai Sabang 1.905.000 kilometer, jumlah pulau lebih dari 17.000, serta memiliki garis pantai terpanjang di dunia, yakni sekitar 95.181 kilometer, memiliki luas wilayah laut mencapai 3.554.743,9 kilometer.
Geografi fisik Indonesia yang unik ini, menjadikan posisi geopolitik kita memiliki oceanic feature yang tidak ada duanya dimuka bumi. Halmana sekaligus akan menjadikan Indonesia sebagai titik yang ikut terdampak pada setiap kontestasi dan pergeseran geopolitik global.
Karena Indonesia akan menjadi incaran bagi titik tumpu geopolitik baik pada lingkaran Indo-Pasifik maupun konsep BRI-nya China. Jika kesadaran geopolitik kita lemah, akan dengan mudah Indonesia terkooptasi pada kutub-kutub persaingan yang dapat saja merugikan kepentingan nasional kita.
Atas kontestasi tersebut, bisa melemahkan posisi sebuah negara bangsa, karena terperangkap dalam percaturan global. Kennichi Ohmae telah memberikan semacam warning akan hal ini. Akan halnya dengan keberadaan Negara Bangsa (nation state), dalam catatan Kennichi Ohmae (2010), bakal memudar fungsinya dalam menghadapi 4 I (informasi, individu, investasi, industrialisasi). Negara hanya berfungsi sebagai pelaksana administrasi belaka, tanpa dapat membendung arus globalisasi ini.
Bahwa Titik Nol Jalur Rempah, bagi Maluku Utara, seyogyanya diletakkan dalam perspektif yang lebih multidimensional. Karena Titik Nol Jalur Rempah adalah soal identitas keindonesiaan dalam merekonstruksi dan memperkuat nation building Indonesia, untuk repositioning diri kita sebagai centre of spice road dunia, di tengah percaturan geopolitik dunia dewasa ini.
Dunia memiliki 400-500 spesies rempah, Asia Tenggara memiliki 275 dan dominannya berada di Indonesia. Makanya Indonesia dijuluki mother of spices karena Indonesia adalah pemasok rempah peringkat ke-9 dunia pada 2020, dengan nilai Rp.14,59 trilun (US$ 1,02 miliar).
Karenanya Jalur Rempah adalah kekuatan pertahanan bangsa kita dalam diplomasi di forum internasional. Tema besar Indonesia Spice Up the World perlu direspon semaksimal mungkin, menjadi 28 repositioning Indonesia dalam skala diplomasi perdamaian global. (*)