Dari Komoditas, Identitas dan Peradaban, hingga Geopolitik (Connecting Histories and Future)
Oleh: Syaiful Bahri Ruray
“There is no present or future, only the past, happening over and over again-now” (Eugene O’Neill)
Indonesia yang kita diami dewasa ini adalah kelanjutan dari Nusantara yang banyak dicatat dalam berbagai dokumen lawas dunia. Kepulauan Nusantara sendiri adalah gugusan kepulauan terbesar dan terpenting di dunia dan gugusan pantai-pantai di dekatnya.
Nusantara adalah sebuah negeri dimana persimpangan maritim dan kebudayaan terbesar terjadi bersamaan, dari kelahirannya sesudah berakhirnya zaman es hingga sekarang. Nusantara sendiri bermakna ‘pulau-pulau di antara’ sebagai pemberian Majapahit terhadap kawasan Asia Tenggara, karena di kawasan ini terjadi interkoneksi jalur yang menghubungkan Asia Timur dengan India, dunia Arab-Persia, Eropa hingga pantai timur Afrika.
Nusantara mungkin hanya dapat dibandingkan dengan Mediterania, sebagaimana yang diimajinasikan oleh sejarawan Fernand Braudel sebagai titik sentral pergulatan sejarah dunia tersebut. Karena kawasan sentral tersebut telah menghubungkan Eropa, Asia, Afrika dan Amerika hingga Pasifik, melalui jalur perdagangan dan arus migrasi manusia yang telah berlangsung berabad-abad silam. Adapun penduduk nusantara bisa ditelusuri jauh kebelakang hingga periode Austronesia dimana berawalnya migrasi manusia.
Sebagaimana catatan Peter Belwood tentang 4 kali migrasi Out of Africa, hingga teori Out of Taiwan, sebagai asal muasal penduduk Austronesia yang mendiami kawasan yang kemudian dikenal sebagai nusantara yang oleh Bellwood disebutnya sebagai Indo-Malaysian Archipelago. Lembaga Eijkman juga membenarkan melalui risetnya tentang DNA penduduk awal nusantara, menemukan bahwa teori Out of Africa sebagai migrasi awal manusia nusantara, yang ditemukan pada penduduk Papua dan Alor, sebagai pemilik DNA tertua penduduk Indonesia.1
Sedangkan tentang peradaban, adalah Arisyo Santos, seorang ilmuan fisika nuklir dan ahli geologi Brazil yang selama 29 tahun melakukan risetnya, dan menyatakan bahwa peradaban Atlantik yang hilang, justeru berada di nusantara pada kawasan yang disebut Sunda Land Tataran Sunda tersebut diidentifikasi Santos terletak di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Bunei. Bahkan Santos menyatakan bahwa Indonesia adalah lokasi Eden (Atlantis) yang sesungguhnya. Hal yang relatif sama yang ditulis Dr. Stephen Oppenheimer, seorang dokter Inggris yang meneliti tentang malaria, namun menemukan bahkan eden yang hilang, ternnyata terletak di timur yakni nusantara tempat dimana awal peradaban yang selama ini diakui berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia, ternyata berada di Paparan Sahul atau Nusantara di Asia Tenggara.
Adapun kisah Atlantis sendiri, telah ada dalam karya Plato (427-347 SM), tentang Timaeus dan Critias yang ditulisnya pada 360 SM. Khususnya di Maluku Utara, Bellwood juga mencatat dalam riset arkeologisnya tentang peradaban yang berusia sekitar 40,000 tahun melalui temuan gerabah di Halmahera, Ceruk Uattamdi Pulau Kayoa, Morotai dan Gebe pada tahun 1989 hingga 1996. Artefak kuno ini membuktikan peradaban telah ada di kawasan Maluku Utara sejak lama yakni 1300 SM hingga 2000 tahun lalu. 4 Pada catatan lama Mpu Prapanca, dalam karyanya Negarakertagama (1365), juga telah menyebut kata Moloku. Kawasan Kepulauan Maluku kemudian diketahui telah didatangi manusia sejak awal sejarah nusantara karena menjadi tujuan pencarian rempah Nusantara seperti cengkih dan pala, sejak awal peradaban manusia.
Gaius Plinius Secundus (Pliny the Elder, 23-79 AD), seorang panglima armada dan filsuf abad awal Romawi, yang menulis Naturalis Historia (1469), menyebutkan bahwa rempah nusantara telah digunakan sejak era Yunani kuno. Gaius adalah penulis ensiklopedia pertama dalam sejarah manusia ini, merujuk catatannya pada naskah-naskah Yunani kuno. Pada naskah Sanskrit kuno lainnya, Ramayana yang ditulis pada 200 SM, juga telah menyebut cengkih Maluku Utara, yang melintasi Mesir, China, India hingga Mesopotamia. Sedangkan China tercatat sejak era Confucius (551-479 SM), telah mengenal rempah nusantara, terutama cengkih, pala dan jahe.
Sebuah riset dan ekskavasi arkeologis yang dilakukan oleh Prof. Giorgio Buccelati (1983) di situs Terqa di tengah Eufrat, Suriah sekarang, telah menemukan artefak cengkih dari periode Mesopotamia (1700 SM).5 Rekan Buccelati, seorang ahli paleo botani, Kathleen Galvin, memastikan bahwa temuan itu adalah cengkih dari Maluku Utara. Mesopotamia sendiri adalah kawasan peradaban Babylonia, yang disebut sebagai induk peradaban dunia, telah mengenal cengkih melalui jalur rempah yang menembus hingga istana Ratu Sheba. Ratu Sheba (Ratu Bilqiz) mempersembahan rempah kepada King of Solomon pada periode 992 SM.
Disebutkan Ratu Sheba menyerahkan batu permata, emas, dan rempah kepada King of Solomon sebanyak 3,000 pounds.6 Ramses II, Fir’aun ketiga dari Dinasti ke-19 di Mesir, yang disebut sebagai salah satu penguasa terbesar dan paling terkenal, yang hidup sampai usia 96 tahun selama 60 tahun masa kekuasaanya (1279-1213 SM), pada 1821 dilakukan eksplorasi dan ekskavasi di Lembah Para Raja (Luxor), namun pada 1881 barulah ditemukan mumi Ramses II tersebut. Pada tahun 1975, Maurice Bucaille, seorang dokter Perancis memeriksa jenazah Ramses II dan ditemukan rempah nusantara pada mumifikasi jasadnya, setelah diteliti di Museum Etnologi Paris pada 1976.
Bucaille juga menemukan sisa kadar garam Laut Merah pada paru-paru Ramses II, dan menyebutkan bahwa ia meninggal karena tenggelam di laut. Halmana kemudian dikaitkan dengan kisah Moses (Musa AS), baik dalam Taurat maupun Al-Qur’an yang membelah Laut Merah ketika dikejar Fir’aun dan pasukannya. Joanna Hall Brierly dalam Spices: The Story of Indonesia’s Spice Trade (1994) mencatat nilai pala dan cengkih Maluku demikian tinggi senilai emas. In the 14th century, the price of nutmeg in Europe was still extremely high. The price of 1 pound (0.45 kilograms) of nutmeg was said to be equivalent to seven fat cattle, kata Brierly.
Perdagangan rempah sangat bernilai tinggi sebagaimana nilai emas dan berlian. Rempah Maluku Utara, telah dikenal diperdagangkan pada era Alexander the Great (Iskandar Dzulkarnain), ketika ia menaklukkan pusat perdagangan rempah East and West di kota Tyre, sebuah pusat perdagangan Yunani pada 332 SM. Tahun yang sama Alexander the Great juga menaklukkan Alexandria (Iskandariah), Mesir, sebagai kota utama perdagangan rempah dari Timur (Orient) dan kawasan Mediterania. Adapun selama Perang Salib (1096-1291 M), Kota Pelabuhan Venesia lah yang menjadi pusat perdagangan rempah nusantara untuk kawasan Mediterania. Brierly malah dengan berani menyatakan bahwa renaissans Eropa terjadi karena persentuhan perdagangan di Venesia ini.
Hingga jatuhnya ibukota Byzantium (Romawi Timur) Konstantinopel pada 1453 ke tangan Ottoman, menyebabkan Eropa kehilangan mata rantai perdagangan dan distribusi rempah nusantara. Hal inilah yang menyebabkan Bangsa Eropa mulai mencari jalur sendiri ke kepulauan rempah (spice islands). Brierly menyebut: “clove were native to only five islands in Moluccas: the rival sultanates of Ternate and Tidore as well as Motir, Makian (Machian), and Batjan (Bachian), all lying off western coast of the giant Halmahera (once known as Gilolo) in the northern Moluccas. These were original Moluccas. Later, the name also included the nutmeg and mace islands of Banda to the south, of which Neira, Lontar, and Ai were centers. ” Adapun penemuan arkeologis cengkih pada situs Terqa yang diekskavasi oleh Prof. Buccelati, di kawasan Babylonia tersebut adalah sebuah kawasan pemukiman kelas menengah, di mana di dapurnya ditemukan artefak cengkih pada mangkok porselen kuno yang berusia 1700 SM.
Halmana menandai bahwa perjalanan rempah nusantara berawal dari Maluku Utara, telah menembus pusat-pusat peradaban dunia masa lampau dalam lintasan jarak waktu yang sedemikian panjang. Perjalanan rempah ini, menggunakan kapal-kapal pada jalur laut dan darat, menurut Jack Turner (2004). Euforia perdagangan rempah yang terjadi pada abad ke 16, adalah kelanjutan dari ribuan tahun sejarah perjalanan rempah Maluku Utara, dimana para pedagang Arab telah memperdagangkan pala (nutmeg), fuli (mace), dan cengkih (cloves) yang kesemuanya diangkut dari Maluku Utara, kata Jack Turner.
Perjalanan ini menembus Pantai Malabar, India, lalu dikapalkan lagi menuju Teluk Persia dan lembah sungai Eufrat di Mesopotamia, sebagaimana yang ditemukan kemudian oleh arekolog Buccelati di atas. Tidak mengherankan jika nilai tinggi rempah Maluku ini, telah menyebabkan banyak penjelajah mencari rute untuk menemukan Maluku Utara.
Giles Milton dalam Nathaniel Nutmeg (1999) menyebutkan penjelajah Inggris Sir Hugh Willoughby dan para kru kapalnya, hingga mati beku di Kutub Utara pada 1553, ketika mencari rute ke Kepulauan Maluku Utara. Bandar terkaya pada abad pertengahan pun tercipta karena jalur rempah ini. Kata sejarawan Prof. Susanto Zuhdi, pertarungan memperebutkan Bandar terkaya Malaka, yang ditaklukkan Portugis (1511), adalah contohnya. Karena Malaka merupakan pelabuhan hub atau transito terkemuka dan terkaya di belahan Timur, yang mengumpul semua rempah nusantara, terutama Maluku Utara, sebelum menuju tujuan manca negara. Hanya berselang tiga bulan setelah jatuhnya Bandar Malaka, pelaut Portugis Antonio de’Abreau dan Fransisco Serrao, telah tiba di Ternate. Bahkan menurut Kenneth Hall (2010) dalam A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development 100-1500, menyatakan bahwa 9 perdagangan telah berlangsung jauh sebelum datangnya bangsa Barat. Telah ada trade (emporium) sebelum terbentuknya state (imperium).
Roderich Ptak (1992) dalam China and the Trade in Cloves, Circa 960- 1435, dan The Northern Trade Route to the Spices Islands: South China Sea – Sulu Zone – North Moluccas (14th to Early 16th Century), menjelaskan jalur rempah dari Ternate, Tidore, Makian, Bacan, Moti dan Ambon melalui jalur utara Laut Sulu, dan jalur selatan melalui Laut Jawa, Natuna Utara menuju Asia Timur.
China sendiri, disebut telah melakukan perdagangan ke Maluku Utara sejak periode Dinasti Han (206 SM-220 M), dimana kata cengkih sendiri berasal dari bahasa China tkeng-his (scented nails, tumbuhan paku), karena setiap orang diwajibkan mengunyah cengkih sebelum bertemu Kaisar Han. Miller (1969) juga mencatat epos Ramayana yang telah menyebut tentang cengkih sejak 200 SM. (bersambung)