Dikelola Bersama Hasilnya Dibagi Merata
Jumat (25/8/2023) pagi sekira pukul 08.00 WIT di kawasan Pantai Kelurahan Bido Pulau Mayau Kecamatan Batang Dua Kota Ternate Maluku Utara, terdengar riuh. 30 an orang nelayan beres-beres jaring/pukat persiapan menangkap ikan cakalang.
Terdengar teriakan-teriakan saling menyahuti meminta agar percepat serta rapikan pukat atau jaring yang ada. Kebetulan juga pagi itu, ada kapal penumpang dan barang, program Tol Laut Sabuk Nusantara 105 menyinggahi kelurahan ini. Kapal ini lego sauh dan menurunkan penumpang di sini karena angin selatan serta gelombang sangat kencang. Itu juga memaksa kapal tidak bersandar di ibu kota kecamatan yakni Mayau. Penumpang dari empat kelurahan yakni Bido, Perum Bersatu, Mayau dan Lelewi turun di pelabuhan kampong ini meski tanpa dermaga.
Banyaknya penumpang naik dan turun menambah ramai aktivitas persiapan nelayan jaring pagi itu. Mereka menarik dan meletakannya di atas perahu nelayan yang sudah ada di tepi pantai. Ada tiga perahu dari tiga kelompok nelayan menyiapkan jaring mereka. Pagi itu mereka berencana menangkap ikan cakalang. Jaringnya terbilang lebar dari biasanya. Rata rata berukuran 17 sampai 20 meter dengan panjang mencapai 100 hingga 120 meter. Aktivitas naik turun penumpang dengan bodi perahu di tepi pantai tersebut tak menganggu aktivitas para nelayan. Karena itu setelah kurang lebih sejam pukat yang sebelumnya ada di atas pasir pantai, semua ditarik ke dalam perahu nelayan dan siap dijatuhkan.
Aktivitas nelayan Kelurahan Bido Pulau Mayau pagi itu adalah menyiapkan alat tangkap jaring/pukat untuk menangkap ikan cakalang yang sewaktu- waktu bermain tak jauh dari kampong. “Torang (kami,red) persiapan pukat cakalang ini untuk kase jatong (menangkap ikan,red) di laut depan kampung, saat ikan cakalang muncul ,” kata Vasten Dalo salah satu ketua kelompok nelayan di Kelurahan Bido.
Sekadar diketahui praktek menangkap ikan cakalang menggunakan jaring oleh nelayan Pulau Mayau, dari 4 kelurahan di pulau itu, ditemukan di dua kelurahan yakni Bido dan Lelewi. Cara menangkap ikan cakalang menggunakan jaring ini juga sama yakni dilakukan secara bergotong royong.
Vasten bilang, pagi itu mereka menyiapkan pukat karena sejak pagi ada nelayan yang melihat ikan cakalang yang muncul tak jauh dari pantai. Karena itu kemudian mereka siapkan pukat. Ternyata hingga malam pukat yang sudah siap di perahu itu, belum juga dijatuhkan karena ikan yang diharapkan bisa ditangkap belum juga muncul.
Vasten mengaku di kelurahan Bido ada 13 kelompok nelayan pukat baik cakalang maupun ikan layang atau sorihi. Kelompok nelayan yang ada jika ada aktifitas jatuhkan pukat atau menangkap ikan, dilakukan bersama- sama. “Ketika ikan masuk ke sekitar laut Kelurahan Bido akan dijaring bersama. Sisitimnya dikerjakan gotong royong,”jelasnya.
Dari 13 kelompok masing- masing beranggotakan 12 hingga 15 orang jika ada hasil tangkapannya akan dibagi merata. “Ini untuk ikan cakalang. Kalau ikan layang atau sorihi beda lagi. Tergantung siapa yang menjaring. Kalau tiga kelompok berarti mereka saja yang berbagi,” jelas Vasten.
“Kalau ada tiga kelompok yang bekerja bersama maka hasilnya dibagi ke tiga kelompok itu saja,”imbuhnya.
Lantas bagaimana model gotong royong menangkap ikan cakalang dengan jaring/pukat itu?
Vasten bilang ketika pukat satu kelompok sudah dijatuhkan melingkari ikan cakalang yang bermain, maka pukat lainnya melapisi. Begitu seterusnya sampai dipastikan ikan dalam pukat terkurung dan tidak lolos keluar. Yang menarik lagi, ketika ikan ini muncul agak jauh ke tengah laut, mereka berbondong bondong mengusirnya dari laut agar mendekat ke kawasan pesisir. “Banyak nelayan di sini yang bertugas mengusir ikan cakalang itu lebih mendekat ke pantai. Mereka loncat ke laut dan berenang mengusir ikan agar lebih mendekat ke pantai,” jelasnya.
Jika ikan sudah mendekat sekira 100 sampai 200 meter dari pantai, baru pukat-pukat yang ada dijatuhkan melingkari ikan cakalang secara berlapis. Pukat itu juga mereka tidak tarik sampai ke pantai. Ada semacam parangkap atau nelayan setempat menyebutnya salapa nanti ada yang menyelam dan mengikatkan ke pukat yang telah ditarik. Dengan begitu ada semcama penangkap ikan yang sudah terkurung tidak bisa keluar lagi. “Jadi ada semacam perangkap ikan yang akan diikatkan di jaring,” jelas Vasten.
Kadang ikan yang telah terkurung secara berlapis oleh pukat nelayan, namun belum diambil. Jika belum ada pembeli dengan kapal penampung masuk ambil ikan, mereka biarkan ikan dalam pukat selama satu malam.
Diakui memang cukup rawan karena ketika malam tiba ikan itu berusaha keluar, akan loncat maupun menabrak pukat hingga jebol. Vasten bercerita beberapa tahun lalu karena mereka menunggu kapal penampung membeli ikan mereka , ikan yang sudah dikurng dibiarkan dalam pukat dan dijaga semalam. Ternyata esok paginya mau diambil ikan tersebut tersisa setengahnya. Sebagian besar sudah lolos meloncat atau menabrak pukat yang ada. “Waktu itu karena tidak ada kapal penampung ikan akhirnya dibiarkan bermain dalam pukat. Ternyata sebagian besar lolos,” ujarnya. Karena pengalaman tersebut setelah pukat dilingkari , ikan langsung diambil.Jika belum ada kapal penampung atau pembeli maka diolah sendiri oleh para istri nelayan.
Model penangkapan ikan itu bersama maka hasilnya juga dibagi merata kepada semua kelompok nelayan. Model pembagiannya, jika hasil tangkapan satu kali kegiatan 20 ton maka dibagi ke 13 kelompok secara merata. Dari hasil yang diterima per kelompok itu nanti dibagi dua antara anggota kelompok dengan pemilik. Dalam pembagian hasil ini juga tidak hanya dibagi ke kelompok tetapi juga 1 bagian untuk gereja dan pendeta serta janda dan keluarga tak mampu.
“Semua pihak punya bagian dari hasil tangkapan yang dikelola secara bersama tersebut. Mulai dari kelompok nelayan yang ada, gereja, pendeta dan janda secara fakir miskin,” jelas Albert Tumpeo Ketua Adat Kelurahan Bido. Praktek ini menjadi kesepakatan bersama dan sudah dilakukan turun temurun. Di sini pengelolaanya dilakukan secara komunal tidak menguntungkan satu kelompok atau pemilik modal saja. “Ikan itu pemberian yang maha kuasa untuk semua maka harus dikelola dan dinikmati hasilnya oleh semua masyarakat,” katanya.
Soal model pengelolaan ini katanya merupakan bentuk kesepakatan tidak tertulis yang telah dibangun masyarakat sejak lama. Dia akui ini bukan sebuah adat yang dijalankan tetapi bentuk kesepakatan bersama.
Andreas Peo salah satu pemilik pukat cakalang yang usahanya ikut mempekerjakan 11 nelayan di kampong tersebut mengaku, pada Juli 2023 lalu aktivitas 13 kelompok nelayan selama 4 hari mendapatkan tangkapan ikan cakalang mencapai 32 ton.
Per ekor ikan cakalang yang ditangkap menggunakan jaring itu memiliki bobot 7 hingga 8 kilogram. Dijual dengan harga Rp 11 ribu hingga Rp12 ribu per kikogram.
Hasilnya dinikmati semua masyarakat sesuai bagian mereka. Model pengelolaan perikanan ini katanya akan tetap dipertahankan. “Selama masih ada ikan cakalang muncul dan bisa ditangkap maka tetap dilakukan penangkapan secara bergotong royong,”tutupnya.
Hasil Tangkapan Dijual ke Sulawesi Utara
Banyak kapal penampung hasil tangkapan nelayan asal Bitung Sulawesi Utara terparkir di laut sekitar Kelurahan Bido Kecamatan Batang Dua Kota Ternate Minggu (27/8/2023). Ada kurang lebih 7 kapal penampung sudah beberapa bulan ini lego sauh di sekitar laut Pulau Mayau. Kapal penampung ini mengambil hasil tangkapan nelayan selanjutnya dibawa ke Kota Bitung Sulawesi Utara.
Sekadar diketahui Mayau dan Tifure adalah dua pulau berada paling luar dari Kota Ternate dan Maluku Utara. Sangat dekat dan berbatasan dengan Kota Bitung Sulawesi Utara.
Dua pulau ini memiliki potensi perikanan luar biasa. Berbagai jenis ikan pelagis besar dan kecil serta ikan karang setiap hari ditangkap di sekitar perairan dua pulau ini. Mayau dan Tifure yang berjarak kurang lebih 121 kilometer dari pulau Ternate ini juga banyak didatangi nelayan Sulawesi Utara lengkap dengan armada tangkap dan kapal penampung hasil tangkapan.
Kapal penampung tersebut, memudahkam nelayan di Pulau Mayau dan Tifure menjual ikan tinimbang dibawa ke Ternate. “Kalau dibawa ke Ternate jauh. Kita tunggu kapal penampung dari Ternate datang ambil, ikan akan rusak karena lama. Kita tetap jual ke kapal penampung yang sudah ada,” jelas Andreas. (*)
CEO Kabar Pulau