Dua karung gabah teronggok di dapur Yosep Ugu (60). Gabah kering itu rencana diolah menggunakan mesin penggilingan padi di desa setempat. Gabah padi telah lama dikeringkan, tersimpan dalam karung dan baru dibawa ke kampung sehari sebelumnya.
“Di dalam gabah padi ini, ada banyak jenis ikut tercampur. Ini sisa panen tahun lalu dan sampai sekarang belum habis dikonsumsi. Tahun ini saya sempat menanam sedikit saja. Tidak banyak sekira tiga kulak atau sekira ¼ hektar. Saya tidak bisa menanam di kebun yang agak luas karena turun hujan hamper sepanjang tahun, membuat kebun tidak bisa bersihkan,” jelas Yosep saat ditemui di rumahnya Desa Togoreba Sungi Kecamatan Tabaru Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara pertengahan Februari lalu.
Yosep mengaku, sisa padi di musim tanam 2020 itu sebagian masih di lumbung padi yang dibuat di rumah kebun. Padi-padi itu masih aman tersimpan meski panennya sudah agak lama. Di lumbungnya padi hasil panen bisa disimpan hingga satu tahun.
“Saya tetap menanam padi setiap tahun karena tidak suka makan nasi yang berasnya dari toko atau yang didatangkan dari luar. Karena itu harus selalu menanam padi untuk bisa memenuhi kebutuhan,” jelas Yosep.
Yosep adalah satu dari sekian warga Tabaru yang tetap mempertahankan tradisi menanam padi dan mengkonsumsi beras dari padi lokal. Beras dari padi lokal itu oleh warga Tobaru dan masyarakat Maluku Utara mengenalnya dengam istilah bira sung atau beras baru.
Tanaman padi sesungguhnya adalah tanaman pembuka ketika seseorang membuka lahan hutan atau kebun baru. Sebagaiamana tradisi umumnya warga asli Halmahera, jika ada kebun yang dibuka dari hutan primer atau hutan sekunder, padi biasasnya menjadi tanaman pertama sebelum tanaman pangan lain. Orang Tobaru menyebutnya membuka kebun padi.
“Dalam tradisi menanm padi juga sudah diatur waktunya Yakni Oktober November hingga Desember. Saat menanam, benih yang ada di isi dalam satu ruas bambu. Tempat itu oleh orang Tobaru dikenal dengan nama Otiba. Otiba ini biasanya dipegang oleh perempuan,” jelas Yosias Palangi tokoh masyarakat Tobaru.
Dijelaskan, jika luas kebun itu 1 hektar biasanya mereka tanam padi kurang lebih 8 kula, di mana 1 kula 15 cupak atau bekas kaleng susu. Sementara orang yang melubangi tanah disebut yotuduku sementara alatnya disebut Otu-tuduku.
Para perempuan yang biasanya menaruh bibit di dalam lobang atau menghambur bibit di dalam lobang, yang disebut dengan yonoa. Setelah proses yonoa selesai maka tahapan terakhir adalah Yodidumu atau menutupi lobang. Alatnya disebut dengan O-didimu. Untuk satu hektar dibutuhkan tiga empat orang bekerja menutup lobang menggunakan o-didimu.
Setelah aktivitas ini, proses menanam selesai. Tidak ada lagi aktivitas mengolah kebun atau menebang pohon di hutan dekat dengan kebun yang baru ditanami padi. Kepercayaan mereka jika dilakukan hal-hal seperti ini akan mengundang hama tikus datang dan memakan benih yang baru ditanam tersebut. Tradisi ini masih hidup dan dipakai sampai sekarang ketika proses menanam.
“Ketika menanam juga waktunya harus bersamaan karena berpengaruh pada serangan hama atau penyakit. Sementara jika sampai padi yang diusahakan terserang hama atau penyakit para petani tidak menggunakan pestisida dalam memberantasnya. Kebanyakan mereka memberantas hama atau penyakit padi menggunakan daun dan kulit kayu yang berbau tajam. Jika ada daun yang berbau tajam ditaruh di dekat kebun banyak hama datang mendekat dan akhirnya mati sendiri,” jelasnya.
Tawas Tuluino kepala adat masyarakat Tobaru dari Desa Togoreba Tua bilang, tradisi tanam padi ini berlangsung setiap tahun. Tidak terkecuali dalam kondisi apa pun petani di masyarakat Tobaru tetap menanam. Dalam kondisi iklim yang ekstrim misalnya tetap ada satu dua warga tetap menanam.
“Kadang tidak semua orang menanam padi tiap tahun. tetapi karena sudah tradisi, setiap musim tanam ada saja petani yang menanam. Hal ini dilakukan sudah turun temurun. Tentu menggunakan bibit asli dari masyarakat Tobaru,” katanya.
Banyak padi lokal di masyarakat Tobaru. Tergantung siapa yang suka menanam jenis apa. Saat ini banyak ditanam itu misalnya pulo lenso, gamtala, Pangalo, Bidoi, padi aluss, bugis atau kayeli.
Aktivitas menanam padi di kalangan orang Tabaru juga tidak menggunakan lahan berpuluh hektar. Paling banyak satu hektar. Itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Yang penting setiap tahun menanam secara berkelanjutan. Meski hanya sekali hasilnya bisa dinikmati hingga setahun berikutnya.
Padi yang ditanam warga Tabaru benihnya dikembangkan turun-temurun. Padi local yang ditanam warga Tobaru ada beberapa jenis sudah jarang ditemukan. Ini lebih karena sudah jarang ditanam. Ada 4 jenis masih sering ditanam warga. Yang lainnya makin jarang dan sudah hilang karena ditanam tidaknya tergantung warga mau tanam jenis apa. Kalau mereka suka makan beras dari jenis padi tertentu mereka akan tanam terus jenis tersebut.
Orang Tobaru menyebut ada beberapa nama padi local misalnya nipon, kayeli, suuru atau sahu dan gumilang. Jenis ini masih ada dan terus dikembangkan. Setiap panen warga tetap menyisakan benih untuk ditanam di musim tanam berikutnya. Di setiap lumbung juga selalu disimpan benih. Jika gagal panen mereka tetap mencari atau membeli benih di kampung atau tetangga kampung yang berhasil panennya.
Tawas bilang lagi banyak jenis padi local yang oleh warga juga sudah tidak tahu menyebut Namanya. Beras pulut saja ada banyak jenis dari hitam, putih dan merah. Belum lagi jenis lainya. Ada puluhan jenis yang sudah berpuluh tahun tidak lagi ditanam.
Herman Ime salah satu petani dari Desa Togoreba Tua mengaku bibit yang mereka tanam itu tidak dibeli. Berbagai jenis padi ada, dan setiap musim tanam tetap ditanam. Misalnya bidoi dan kayeli. Sementara yang hilang itu misalnya kapuraca, misiri, suuru, atau pulo Tibobo.
Di Desa Togoreba Tua yang warganya ada 180 KK adalah petani dan tetap berkebun dengan menanam padi. Bahkan ada pegawai juga ikut menanam padi. Menanam padi selalu ditumpangsarikan dengan jenis tanaman lain. Ada pisang, jagung hingga kacang-kacangan.
Petani Tabaru tidak menggunakan pupuk atau pestisida ketika menanam. Warga akui seringkali pemerintah menyerahkan pupuk dan pestiaisida tetapi tidak digunakan. Apalagi bantuan pupuk dan pestisida yang diserahkan kadang tanpa penjelasan atau pendampingan. Hanya diserahkan begitu saja tanpa ada penjelasan penggunaan pupuk.
“Bantuan pupuk juga saya terima beberapa karung tapi tidak digunakan. Akhirnya rusak percuma,” kata Herman Ime petani desa Togoreba Tua.
Sebagian warga desa menganggap beras yang telah diproduksi melalui pengawetan paling banyak beracun “Bayangkan saja mulai dari benih sudah ditaruh zat kimia sampai panen diolah lalu diisi dalam karung juga masih tetap menggunakan zat kimia,” ujar Yosep Ugu salah satu tokoh masyarakat Tobaru.
Lalu bagaimana upaya pemerintah daerah mendukung tradisi menanam padi ladang yang dikembangkan masyarakat Tobaru dan Halmahera Barat umumnya?
Kepala Dinas Pertanian Halmahera Barat Totari Balatjai bilang mereka juga punya program bantuan benih lokal yang setiap tahun dibagikan kepada petani. Ada beberapa varietas lokal yang sudah disertifikasi yang dibagikan kepada petani. Nama lokalnya Kayeli, pako atau jenis pulut serta bidoi. Jenis padi ladang yang dikembangkan oleh petani di Halmahera Barat ini katanya mencapai 250 hektar. “Pas waktu pandemic Covid-19 ini petani yang mengusahakan padi ladang naik hampir 100 persen. Dalam catatan Dinas Pertanian Halbar ada lebih dari 500 hektar padi ladang yang diusahakan petani di Halmahera Barat termasuk oleh masyarakat Tobaru,” kata Totari.
Berdasarkan hasil inventarisasi keragaman sumberdaya genetic tanaman pangan Halmahera Barat dan Kota Tidore Kepulaua di Maluku Utara yang dilakukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara menunjukan tingginya keragaman sumberdaya genetic khusus padi gogo atau padi ladang. Hasil inventarisasi di Kabupaten Halmahera Barat diperoleh 15 aksesi padi gogo. Seluruh sumberdaya genetik padi gogo termasuk golongan cere berumur 4–6 bulan, jenis aromatik, dan rasa nasinya pera. Umumnya padi lokal ditanam 1 tahun sekali, dengan awal tanam pada bulan November dan Desember. Tinggi tanaman rata-rata 2 m sehingga pada waktu panen, padi
direbahkan dahulu untuk memudahkan panen dengan ani-ani. Terdapat dua aksesi yang memiliki malai panjang dan lebat, seperti lokal Jingodi dan Kayoan. Warna beras semua aksesi beragam, yaitu putih, hitam, dan merah.
Ketua Program Studi Antropologi Univeristas Khairun Ternate Syafrudin Abdurahman menjelaskan, menanam padi itu menjadi tradisi penting masyarakat Tobaru. Bahkan katanya sebenarnya dalam tradisi orang di Maluku Utara dalam menanam padi ada kesamaan-kesamaan. Hanya saja di kalangan orang di Halmahera Barat Terutama di Kecamatan Sahu dan Ibu ada kehususan dengan upacara dalam memperlakukan padi.
Diakui Syafrudin, warga Tobaru mengkonsumsi juga beras yang didatangkan dari luar tetapi dalam urusan menanam padi, menjadi tradisi yang tetap dilaksanakan. Sebenarnya tanaman padi itu berhubungan dengan keselamatan memenuhi hajat hidup sehari hari. Karena itu masyarakat Tobaru terutama petaninya begitu berharap melakukan berbagai acara hingga ritual untuk menyelamatkan pangannya agar terhindar dari penyakit dan gagal panen. “Harapanya agar tanaman yang ditanam itu berhasil dan bisa makan,” katanya.
Karena itu urusan yang mampu dijangkau dan tidak mampu dijangkau yang berhubungan dengan mistis juga dilakukan untuk mengharapkan keberhasilan tanaman pangan yang ditanam. Ketika mereka menanam dan berhasil maka akan membuka benih untuk musim tanam berikutnya. Mereka juga membuka bagian untuk ritual dan pesta sisanya itu dikonsumsi. Karena dulu orang makan nasi tidak setiap hari seperti sekarang ini. Orang mengandalkan pangan lainnya seperti pisang sagu dan ubi-ubian lainnya.
Kalau dulu makanan beratnya pisang dan popeda atau sagu ditutup dengan nasi. Tetapi sekarang praktek hidup ini terbalik. Nasi sebagai makanan utama dan pangan yang lainnya hanya sebagai tambahan.
Begitu juga urusan keyakinan di gereja ada syukuran padi baru. Ritual ini yang memacu mereka untuk tetap menanam padi tidak hanya untuk kebutuhan makan tetapi juga karena kebutuhan ritual. Ritual padi baru atau bira sung. Ada penganan nasijaha kembar yang dibuat menggunakan beras baru atau padi ladang. Rata rata persembahan untuk syukuran. Penganan dari padi ladang ini tidak bisa menggunakan beras lain. Misalnya penganan wajik menggunakan pulut yang ditanam dari kebun kebun mereka. Ternyata padi dan beras adalah makanan yang istimewa untuk persembahan atau syukuran dari hasil panen. “Tradisi menanam padi itu sebenarnya berhubungan juga dengan ritual. Jika dulu sebelum masuk agama mereka melakukan persembahan ke alam. Sekarang beralih dengan syukuran yang dilakukan di tempat ibadah. (*)
CEO Kabar Pulau