Ternate Punya 157873 Unit Kendaraan
Penulis Mahmud Ichi/Mubarak Falahi
Penggunaan transportasi sulit dipisahkan dari aktivitas sehari-hari, terutama masyarakat yang berada di perkotaan. Ketergantungan akan transportasi ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lain, membuat transportasi menjadi faktor signifikan pada besarnya jejak karbon yang dikeluarkan setiap individu.
Jejak karbon adalah jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan (aktivitas) manusia pada kurun waktu tertentu. Jejak karbon yang dihasilkan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan di bumi, seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrim dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.
Ada tiga aktivitas manusia yang menimbulkan jejak karbon. Pertama Penggunaan Kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil seperti bensin, solar, atau gas. Proses pembakaran bahan bakar menimbulkan jejak karbon. Bepergian menggunakan kendaraan pribadi, berkontribusi menghasilkan lebih banyak gas emisi (CO2). Semakin banyak kendaraan berbahan bakar fosil digunakan, akan menambah lebih banyak pelepasan jejak karbon ke udara.Kedua. Penggunaan Energi Listrik dan Air. Penggunaan energi listrik untuk keperluan sehari-hari, misalnya TV, AC, lampu, kulkas, mesin cuci, microwave dan berbagai peralatan listrik lainnya berbanding lurus dengan dihasilkannya gas emisi. Hal ini karena sumber energi listrik sumbernya dari pembakaran bahan fosil pada pembangkit listrik. Begitupun dengan penyalahgunaan air. dibutuhkan banyak energi mengelola air bersih, dan itu masih didapat dari penggunaan energi fosil.
Ketiga Konsumsi Makanan. Makanan yang menjadi salah satu sumber gas emisi. Terutama jika makanan berpotensi menjadi gunungan sampah. Mulai dari ekstraksi bahan baku, proses produksi, proses distribusi, hingga barang sampai di tangan manusia ternyata meninggalkan jejak karbon.
Sektor transportasi merupakan satu dari tiga sektor yang mendorong peningkatan jejak karbon dari penggunaan energi ke level yang tinggi. Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, sektor transportasi Indonesia menyumbang 5% dari total emisi. Secara global, sektor transportasi adalah penyumbang seperlima emisi dari total jejak karbon global. Serta menyumbang 24% emisi karbon dalam penggunaan energi seluruh dunia. IPCC juga melaporkan bahwa 62% penggunaan bahan bakar berasal dari sektor transportasi.
Sebuah contoh bisa diambil dari Maluku Utara dengan 9 kabupaten dan 2 kota memiliki jumlah kendaraan tidak sedikit. Ternate adalah kota yang memiliki kendaraan paling banyak. Meskipun berada di sebuah pulau kecil, kendaraan roda dua saja sudah mencapai 142609 unit. Berdasarkan data Registrasi dan Identifikasi Elektronik yang dikeluarkan Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara menyebutkan jumlah kendaraan terbanyak ada di Kota Ternate. Sesuai data yang diperbaharui hingga 23 Februari 2024 lalu, mobil penumpang saja ada 10807 unit, bus 32 unit, mini bus 4807 unit, kendaraan roda dua 142069 unit, kendaraan khusus 40 unit. Total kendaraan di Kota Ternate termasuk Moti, Hiri dan Batang Dua mencapai 157873 unit atau 42 persen total kendaraan 11 kabupaten dan kota di Maluku Utara. Kendaraan sebanyak itu melewati 311 ruas jalan atau total panjangnya mencapai 319,79 kilometer (BPS Malut, 2020).
Sementara untuk Bahan Bakar Minyak yang digunakan untuk kebutuhan kendaraan per harinya sesuai data PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding Commercial dan Trading Regional Papua Maluku tahun 2022 mencapai 25 ribu hingga 32 ribu liter (25 (KL hingga 32 KL). Di dalam 1 liter bahan bakar minyak (BBM) menghasilkan emisi karbon sebesar 2,4 kilogram CO2e. Secara ekuivalen, 1 liter BBM sama dengan 1,5 Kwh.
Perkotaan Penyumbang Terbesar Emisi Gas Rumah Kaca
Kota menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, disebut-sebut menjadi salah satu penyumbang terbesar terjadinya krisis iklim. Dari sisi konsumsi energy, perkotaan mengonsumsi 78% pasokan energi utama, dan menghasilkan lebih dari 60% emisi gas rumah kaca global.
Doddy S. Sukardi, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Indonesia awal Maret 2024 ini mengatakan, ada beberapa faktor yang mendasari perkotaan menjadi salah satu kontributor terbesar terjadinya krisis iklim.
Pertama, di perkotaan masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktifitas sehari-hari masih jamak dijumpai. Sedangkan, umumnya kendaraan pribadi yang digunakan itu masih didominasi kendaraan berbahan bakar fosil. Padahal selain pesawat, motor maupun mobil yang menggunakan bahan bakar fosil ini bisa menimbulkan jejak karbon yang cukup besar.
Secara nasional data dari Kementerian Perhubungan mencatat, sektor transportasi di Indonesia menyumbang 5% dari total emisi. Sementara secara global, sektor transportasi merupakan penyumbang seperlima emisi dari jejak karbon global.
Bukan hanya itu, dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC menyebutkan bahwa sebanyak 62% penggunaan bahan bakar berasal dari sektor transportasi.
Terapkan Prinsip Rendah Emisi
Di kota besar adanya pembangunan yang pesat seperti gedung-gedung tinggi maupun pabrik-pabrik di perkotaan, secara langsung maupun tidak, dapat mengubah karakteristik tanah, begitu pun dengan sirkulasi udara, serta gerakan angin jadi terhambat. Hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya olakan dan turbulensi yang bergerak naik.
Sedangkan angin yang bergerak ke atas itu akan membawa partikel-partikel seperti asap kendaraan, polusi, debu ke atmosfer permukaan.
Tidak hanya itu, gedung-gedung bertingkat berdinding kaca yang terus menjejali perkotaan itu akan memantulkan radiasi panas dari matahari yang menyebabkan daerah sekitarnya juga mengalami peningkatan panas.
“Umumnya, kota-kota besar merupakan penyebab terjadinya partikel-partikel halus atau asap industri maupun asap kendaraan bermotor ke dalam lapisan atmosfer,” katanya.
Beberapa gas buangan yang diemisikan ke dalam atmosfer akan bertindak sebagai gas rumah kaca yang transparan dengan radiasi gelombang yang pendek matahari, serta menyerap radiasi gelombang panjang bumi sehingga pemanasan bumi meningkat. Akibatnya, seiring perkembangan perkotaan suhu udara akan semakin naik.
Faktor ketiga yaitu gaya hidup masyarakat perkotaan. Menurutnya, peningkatan populasi perkotaan tentu berbanding lurus dengan kebutuhan energi listrik yang semakin tinggi. Peningkatan ini terjadi hampir semua sektor industri, sektor rumah tangga, maupun sektor komersial.
Secara tren, sejak tahun 2017 konsumsi listrik perkapita terus mengalami peningkatan. Terbaru, berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2023 realisasi konsumsi setiap orang di Indonesia rata-rata mencapai 1.285kWh/kapita. Angka ini disebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 1.173 kWh/kapita.
“Untuk itu saya menghimbau kepada pemerintah maupun masyarakat agar memulai mengimplementasikan prinsip-prinsip hidup yang rendah emisi, jadi bagaimana merubah gaya hidup, merubah pembangunan agar tidak boros emisi,” tuturnya.
Cukup Adaptif
Pada saat bersamaan, selain menjadi kontributor terbesar krisis iklim, masyarakat miskin perkotaan juga dinilai menjadi kelompok yang rentan terdampak perubahan iklim. Ari Mochamad, Program Director Climate Change and Circular Economy, Save the Children-Indonesia mengatakan, rentannya kelompok masyarakat miskin kota ini dilandasi karena keadaan lingkungan mereka yang kurang memadai.
Ari menyoroti, tanpa ada perubahan iklim, kota juga memiliki persoalan yang sangat kompleks. Misalnya, kurangnya ruang resapan, drainase yang kecil dan tidak terpelihara dengan baik membuat perkotaan lebih mudah banjir.
Selain itu, sedikitnya ruang terbuka hijau di perkotaan juga dapat menyebabkan berkurangnya oksigen dan rusaknya kualitas ozon.
Walaupun mempunyai tingkat ancaman yang besar, lanjutnya, wilayah perkotaan umumnya juga memiliki kemampuan daya tangkal yang tinggi, atau cukup adaptif untuk melakukan mitigasi ancaman perubahan iklim.
Hal ini dilatarbelakangi karena perkembangan infrastruktur, kemampuan finansial, juga aplikasi teknologi untuk mendorong perbaikan kualitas lingkungan hidup di perkotaan lebih bagus.
“Dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih baik, otomatis orang-orang yang menikmati fasilitas pendidikan itu jauh lebih paham terhadap isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Sebuah studi yang rilis dalam laporan “The Future of Urban Consumption in a 1,5 celcius World” tahun 2021 menunjukkan peran besar masyarakat perkotaan terhadap penanganan perubahan iklim.
Dari sisi emisi karbon saja, seluruh wilayah perkotaan menyumbang sedikitnya 10 persen dari emisi karbon global.
Studi ini dilakukan di 96 kota besar di dunia, termasuk Jakarta. Sedangkan pendekatan yang digunakan merupakan enam pola konsumsi penduduk, yaitu pakaian/tekstil, makanan dan minuman, industri penerbangan, pembangunan ifrastruktur, kendaraan bermotor, dan teknologi.
“Ini seharusnya menjadi momentum kepada para pemimpin kota maupun kabupaten mulai dari daerah atau provinsi, serta pelaku usaha agar menyadari, bahwa pembangunan ke depan merupakan pembangunan yang ramah lingkungan,” pungkasnya.(*)
Diolah oleh Mahmud Ichi dari berbagai sumber dan mongabay.co.id
CEO Kabar Pulau