Kuliah Bersama Masyarakat (Kubermas) tahap I Universitas Khairun Ternate di Desa Sebelei Kecamatan Makean Barat, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara selama satu bulan (Agustus 2023) telah tuntas. Program kerja mereka,salah satunya membuat Tugu Kenari sebagai salah satu ikon Desa Sebelei.
Sekadar diketahui, tugu ini memiliki makna filosofis mendalam. Pohon kenari disebut- sebut sebagai salah satu tanaman kehidupan warga pulau Makeang termasuk warga di Sebelei dipilih sebagai symbol utamanya.
Buah dari pohon kenari sebenarnya menjadi mesin penghasil uang, selain cengkih dan pala. Dari kenari banyak warga bisa naik haji, menyekolahkan anak hingga dijadikan tabungan hari tua. Pohon kenari juga menjadi identitas. Banyak pihak mengidentikan Makean sebagai pulau Kenari.
Beberapa literature menyebutkan, kenari menjadi salah satu tumbuhan yang diintroduksi Belanda ke di saat VOC, perusahaan dagang Belanda di zaman penjajahan, membeli dan membumihanguskan cengkih dari Pulau Makean. Kegiatan ini lebih dikenal dengan istilah pelayaran hongi atau hongitochten.
Dosen Sejarah Universitas Khairun Ternate Irfan Ahmad pernah menjelaskan, keberadaan kenari tidak terlepas dari sejarah cengkih zansibar.
Berdasarkan Histoy Das Maluccas laporan Gubernur Antonio Galvao, sejak dahulu kualitas cengkih terbaik berada di Pulau Makean. Hal ini diakui para pedagang Eropa sebagaimana isi laporan Gubernur Antonio Galvao dalam “History Das Maluccas”. Karena itu juga pulau Makean selalu menjadi rebutan.
Bahkan sempat memunculkan kemarahan Sultan Khairun di zamannya karena ada intervensi Portugis dalam melakukan transaksi dagang langsung ke pulau Makean.
Pulau Makean menjadi salah satu wilayah sasaran program penebangan tersebut. Pada 1652-1654 terjadi penebangan besar-besaran cengkih. Untuk menghindari konflik terbuka masyarakat Makeang dengan VOC-Ternate maka dibuatlah cerita bahwa pembelian harga akar dan batang cengkeh itu lebih mahal dari buahnya. Di saat yang sama VOC juga memperkenalkan jenis tanaman baru yakni Kenari.
Tipu daya penjajah Belanda membeli batang hingga akar cengkih ini membuat masyarakat Makeang berlomba-lomba menjual akar dan batang cengkih lalu diganti menanam pohon kenari.
Pohon kenari ternyata memiliki banyak manfaat. Menjelang abad 19 Belanda mengajarkan cara membuat minyak goreng mengunakan kenari jauh sebelum orang Makean mengetahui minyak goreng dari kelapa.
Hingga kini, kenari selain menjadi pelindung pulau tumbuh dari pesisir pantai hingga ke puncak puncak bukit, dia sudah menjadi pohon sumber kehidupan warga 15 desa yang mendiami pulau ini. “Jadi kenari di Makean didatangkan Belanda dan khusus untuk orang Makean. Beda dengan kenari di tempat lain seperti Ambon, Seram dan Hitu yang juga menjadi sasaran “penebangan cengkih kala itu,” jelas Irfan.
Hubungannya dengan tugu kenari yang dibangun para mahasiswa dengan masyarakat Desa Sabelei, ternyata tidak sekadar soal kenari. Tetapi juga memiliki hubungan keterkaitan dengan masuknya orang Minang Sumatera Barat ke Pulau Makean.
Kepala Desa Sebelei Samiun Asari mengatakan apa yang dibangun para mahasiswa bersama masyarakat di sana adalah sebuah kegiatan fenomenal. Kehadiran tugu ini memiliki filosofi penting bagi masyarakat sebelei dan Makean umumnya.
“Pembuatan tugu kenari termasuk fenomenal. Memiliki filosofi sejarah masyarakat di Desa Sebelei,” ujar Samiun. Tugu yang dirancang dengan simbolisasi kenari menjadi pembeda bagi masyarakat Desa Sebelei. Tugu ini berisikan 11 buah kenari yang menjadi symbol kedatangan orang Minang pertama kali di Maluku Utara.
“Konon nama Sebelei sendiri adalah penyebutan dalam bahasa Minang sabakle yang artinya angka 11. Konon pada waktu orang Minang menginjakkan kaki di Desa Sebelei, di situ hanya terdapat 10 rumah penduduk. Mereka lantas meminta izin membangun satu buah rumah dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Selanjutnya mereka menyebut kampung 11 (artinya terdapat 11 rumah) dengan penyebut Sabakle, yang kemudian dituturkan penduduk setempat dengan sebutan Sebelei,” paparnya.
Tugu kenari yang dikerjakan bersama mahasiswa Kubermas dengan masyarakat Sebelei ini akan menjadi kenangan terindah masyarakat di Desa Sebelei.
Lalu bagaimana dengan diaspora Minang di Pulau Makean?
Sekadar diketahui, suku bangsa Makean di Maluku Utara memiliki akar cerita yang kuat dengan Minang. Beberapa kampong di Pulau Makean diduga memiliki keterikatan turunan dari Minang Sumatera Barat. Mau bukti? Ada marga besar Minangkabau di Makeang. Marga ini tersebar di sejumlah kampong di Makeang Timur dan Makeang Barat.
Sebut saja Di Desa Ngoifa Kiaha, Desa Mailoa Makeang Timur serta sebagian desa di Makeang Barat. Desa Sabelei menjadi bukti bahwa nama itu, berasal dari Bahasa Minang yang artinya sebelas.
Sayangnya, cerita soal kedatangan orang Minang ke Pulau Kenari ini hanya dituturkan turun temurun dan hingga kini belum ada riset atau referensi awal kehadiran mereka, karena apa dan seperti apa proses kedatangan mereka.
Banyak tuturan dengan berbagai versi berkembang turun temurun di kampong kampong yang memiliki marga Minangkabau. Di Desa Mailoa misalnya, ada peti dan beberapa piring antic serta keris yang diklaim sebagai barang tinggalan orang Minang pertama yang menginjakan kaki di Makean. Sementara di Sebelei ada begitu banyak bukti seperti nama Sebelei sendiri dan tinggalan tuturan cerita diwariskan turun temurun.
Irfan Ahmad Dosen Sejarah Fakultas Sastera Universitas Khairun Ternate yang coba diminta tanggapannya soal sejarah diaspora orang Minang di Pulau Makeang, mengaku soal ini juga dia dengar melalui cerita cerita namun belum dalam bentuk hasil riset yang mengungkapnya. Karena itu dia mengusulkan perlu dilakukan riset mendalam mengumpulkan data dan informasi keterkaitan diaspora Minang dengan Makean.
Dia bilang, ada hal menarik karena selain diaspora ini juga memiliki hubungan dengan Gamrange.
“Turunan Minangkabau sangat banyak di Pulau Makeang. Sayang tidak teridentifikasi karena belum adanya riset. Di sekitar abad ke 19 ada satu pemukiman Minang di Kecamatan Patani Halmahera Tengah. Sayangnya pemukiman itu sekarang telah hilang. Kampong Minang di Patani itu bersebelahan dengan Kampung Banemo sekarang,” jelas Irfan.
Sementara Dr Syaiful Bahri Ruray salah satu peminat sejarah di Maluku Utara bercerita, dia punya sedikit catatan tentang orang Sebelei dan diaspora Minang di Makean. Di Sebelei yang dalam bahasa Padang berarti sebelas itu masih tersisa kultur berdagangnya.
Dari hasil percakapannya dengan almarhum dokter Zein Patiiha salah satu dokter yang meminati sejarah dan diaspora orang Minang di Malut pernah beberapa kali berkunjung ke Sebelei dan menyebutkan, jika di kampong ini dulu ada peninggalan mangkuk porselen tua yang diyakini dari Padang. Barang tersebut sebagai artefak tersisa di Sebelei.
Saiful juga bilang, dari hasil obrolan dengan dokter Zein kala itu, kemudian dia cross chek ke pasar dan ruko di kawasan Bastiong, ditemukan warga dari Sebelei banyak dan ulet berbisnis atau berdagang. “Ini menunjukan karakter berdagang orang Minang turun di sebagian warga Sebelei.
Wartawan dan penulis asal Sumatera Barat Syofiardy Bachyul bilang ada persoalan mendasar sejarah Minangkabau. Menurutnya, catatan Minang nyaris tidak ada sebelum masuknya kolonial Belanda. Apalagi bicara soal diaspora orang Minang di berbagai tempat di Indonesia. “Ada persoalan serius tidak ada yang mencatat di masa lalu atau di mana hal ini dicatat. Kalau dari sisi sejarah Sumatera yang saya telusuri dari literature Portugis, Prancis Inggris, dan Belanda sama sekali tidak ada,” katanya saat diskusi via aplikasi WhatsApp. Karean itu katanya yang bisa dilakukan adalah membuat catatan melalui tutur lisan.
Termasuk misalnya refrensi diaspora Minang di Makeang ini. “Beberapa tahun lalu saya sudah coba telusuri secara literature Makeang dan diaspora lain di Kalimantan dan kawasan timur Indonesia. Sayang sekali data data yang lama dikumpulkan di hardisk itu alami masalah sehingga datanya tidak bisa diakses lagi,”sesalnya.
Meski demikian kata Syofiardi Sebelei atau Makeang sulit terlacak. Karena itu yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan story lisan dari penduduk yang berusia lebih tua dan mengetahui cerita ini, akan menjadi semakin bagus. “Akan lebih bagus jika didukung peninggalan kuno. Diaspora Minang ini tidak hanya di Makeang ada juga di Waerebo Flores. Di sana juga banyak artefaknya,”katanya. (*)
CEO Kabar Pulau