Lebih dari 70% Jurnalis Alami Serangan, Ancaman, atau Tekanan
Tiap 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia oleh jurnalis dan organsasi jurnalis. Pada 2024 ini, UNESCO, badan khusus PBB yang didirikan tahun 1945 sebagai Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan menerbitkan studi yang menganalisis serangan yang dilakukan terhadap jurnalis yang meliput isu lingkungan hidup. Rilis resmi yang dikeluarkan UNESCO bertepatan Jumat (3/5/2024) saat World Press Fredom Day ini, mengungkap sejumlah data yang mencengangkan terkait serangan terhadap jurnalis. Baik kekerasan, ancaman bahkan pembunuhan.
Riset ini menggunakan meta- analisis dari berbagai sumber. Contohnya laporan dari UN Special Rapporteurs tentang Keselamatan Jurnalis dari berbagai wilayah, laporan media dan laporan polisi.
Dalam riset ini sebanyak 44 jurnalis yang melaporkan isu lingkungan hidup, telah dibunuh dalam 15 tahun terakhir, dan hanya lima kasus berujung hukuman.
Menurut Observatorium UNESCO tentang Jurnalis yang dibunuh dalam lima tahun terakhir meningkat sepertiga lebih tinggi dari lima tahun sebelumnya. Terjadi 16 pembunuhan dibandingkan dengan 12. Selain itu, setidaknya 24 jurnalis selamat dari percobaan pembunuhan.
”Setidaknya 749 jurnalis, kelompok jurnalis, dan outlet berita yang melaporkan isu lingkungan telah diserang di 89 negara sejak tahun 2009,’’ tulis Unesco dalam laporannya.
Dijelaskan, para jurnalis dan media ini meliput berita dari berbagai topik, mulai dari penyebab perubahan iklim, pertambangan, deforestasi, dan bahan bakar fosil, hingga isu-isu khusus komunitas seperti agribisnis, perampasan lahan, proyek mega-infrastruktur, dan dampak dari cuaca ekstrim.
Dalam kasus ini aktor negara, seperti polisi, militer, pejabat pemerintah, dan pegawai negeri, melakukan setidaknya setengah dari 749 serangan. Pelaku swasta, termasuk perusahaan industri ekstraktif, kelompok kriminal, pengunjuk rasa, dan komunitas lokal, bertanggung jawab atas setidaknya seperempat serangan tersebut.
‘Sejak tahun 2009, setidaknya 204 jurnalis dan media berita yang meliput isu lingkungan hidup, menghadapi tuntutan hukum. Pemerintah mengajukan tuntutan pidana terhadap 93 kasus yang merupakan jenis tuntutan hukum paling umum. Selain itu, 39 jurnalis telah dipenjara, terutama di Asia dan Pasifik, terkait pelaporan mereka tentang isu lingkungan.
Gugatan pencemaran nama baik juga sering digunakan untuk menekan pelaporan investigasi lingkungan dengan setidaknya 68 kasus.Jumlah kasus lebih tinggi terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Laporan itu juga menyebutkan, telah terjadi setidaknya 193 serangan terhadap jurnalis dan media saat meliput protes lingkungan 15 tahun terakhir, terutama di Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin dan Karibia.
Polisi dan aparat militer adalah pelaku paling umum dengan 46% serangan, sementara pengunjuk rasa menyumbang 17% serangan.
Survei yang dilakukan UNESCO dan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) ini menerima tanggapan lebih dari 900 jurnalis, 41% di antaranya perempuan, dari 129 negara (Pembagian regional – Afrika: 43%; Asia dan Pasifik: 19%; Amerika Latin dan Karibia: 16%; Eropa dan Amerika Utara: 14%; Negara-negara Arab: 8%).
Temuan utama Unesco adalah serangan, ancaman, atau tekanan saat meliput masalah lingkungan.
Lebih dari 70 persen jurnalis yang disurvei melaporkan mengalami serangan ancaman atau tekanan saat meliput isyu lingkungan. Di antara mereka yang melaporkan serangan, ancaman, atau tekanan: 60% terindikasi menjadi korban pelecehan online 41% mengalami serangan fisik. Seperempatnya mengatakan mereka dituntut secara hukum 75% mengatakan hal ini berdampak pada kesehatan mental mereka.
Hampir separuh jurnalis melaporkan telah melakukan praktik sensor mandiri, dan mengatakan bahwa hal ini didorong oleh ketakutan akan potensi serangan, narasumber terpapar bahaya, dan/atau kesadaran bahwa liputan isu lingkungan hidup mungkin bertentangan dengan kepentingan pemberi kerja atau pemasang iklan.
«Secara gender Lebih dari 80% jurnalis wanita yang melaporkan menjadi korban serangan saat meliput isu lingkungan menerima ancaman psikologis atau tekanan, » tulis laporan tersebut. Dari seluruh responden yang melaporkan menjadi korban setidaknya satu serangan. Responden perempuan mengatakan bahwa mereka lebih sering mengalami serangan digital dibandingkan laki-laki (62%). Hal ini sejalan dengan tren global yang diidentifikasi dalam laporan Chilling bahwa jurnalis perempuan lebih sering menjadi sasaran kekerasan online dibandingkan laki-laki.
Terkait Disinformasi dan Perubahan Iklim riset itu juga menemukan bahwa lebih dari dua pertiga jurnalis berpendapat bahwa disinformasi terkait perubahan iklim telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan menganggap jurnalisme belum berbuat banyak untuk melawannya. Dari jumlah tersebut, 68% melaporkan bahwa hal ini terkait konflik kepentingan dengan pemangku kepentingan bersangkutan.(*)
CEO Kabar Pulau