Membangun kesadaran anak muda bicara dan peduli lingkungan sekitar bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya mereka perlu diberi pengetahuan dan bekal informasi yang cukup. Terutama masalah lingkungan dan dampaknya bagi kehidupan manusia. Hal itu akan menjadi pengetahuan yang bisa ditularkan kepada masyarakat dan lingkungan sekitar.
Atas dasar tersebut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara mengumpulkan puluhan anak muda dari sejumlah kampus di Kota Ternate pada Kamis (8/6/2023) sore hingga malam untuk penyadartahuan terkait pentingnya anak muda paham dampak kerusakan lingkungan di Maluku Utara. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni lalu. Kegiatan ini digelar dalam bentuk diskusi dengan menghadirkan beberapa pembicara.
Dalam diskusi bertema Anak Muda Bicara Lingkungan itu menghadirkan akademisi Universitas Khairun Ternate bersama aktivis WALHI Maluku Utara. Keduanya bicara kerusakan lingkungan di Maluku Utara dan dampaknya serta, Maluku Utara sebagai Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K).
Nursin Gusao mewakili WALHI menyampaikan kepada mahasiswa terkait kondisi kekinian lingkungan Maluku Utara. Dia paparkan Potret Kerusakan Lingkungan dan Keberlanjutan Generasi di Masa Depan.
Dia bilang, membaca kondisi Maluku Utara hari ini dengan kondisi luasan hutannya yang sudah dikapling untuk izin industri ekstraktif seperti tambang, HPH dan perkebunan monokultur mestinya menyadarkan orang muda seperti para mahasiswa ini untuk berpartisipasi aktif melihat kerusakan lingkungan yang terjadi dan ikut melakukan kampanye perlindungannya.
Luas hutan Maluku Utara misalnya setiap tahun terus berkurang karena aktivitas industry tambang dan pembukaan lahan untuk kepentingan lain. Adanya industry ekstraktif dan HPH serta izin perkebunan monokultur sawit memunculkan konflik di masyarakat sekaligus mengancam ruang hidup masyarakat.
Kerusakan itu tidak hanya di daratan tetapi juga berimplikasi pada perairan atau lautnya.
“Jika terjadi kerusakan di hulu akibat aktivitas tambang , HPH dan perkebunan monokultur akan ikut menyebabkan terganggunya perairan,” katanya.
Yang jelas katanya ketika hulu terganggu maka berimplikasi juga pada lautnya. Aktivitas tambang, HPH dan perkebunan monokutur juga memunculkan konflik ruang dengan masyarakat. Banyak contoh kasus di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Gane dan Obi Halmahera Selatan. Hal ini nyata terjadi. Tidak hanya menghancurkan lingkungan tapi juga membatasi akses dan ruang hidup warga. Di sini sebenarnya mula munculnya konflik.
“Fakta ini adalah ancaman serius manusia tidak hanya saat ini tetapi juga generasi 20 sampai 30 tahun nanti,” jelas Nursin. Dia lalu tekankan bahwa daya dukung lingkungan untuk keberlanjutan generasi di masa depan harus dipahami bersama anak muda untuk selanjutnya diperjuangkan penyelamatannya.
“Hutan yang berkurang maupun rusak akan mengurangi relasi manusia dengan alam. Jika hutan tidak bisa lagi menyediakan cadangan pangan sebagai penyangga kehidupan maka itu ancaman kepada generasi,” tutupnya.
Di tempat sama Dr Adityawan Ahmad yang juga Dosen Fakultas Perikanan Universitas Khairun menjelaskan beberapa pemahaman dasar kepada anak muda yang ikut serta diskusi ini. Misalnya soal pesisir pulau kecil dan ekosisitemnya. Maluku Utara mayoritas wilayah dan penduduknya berada di pesisir. Karena karakteristik wilayahnya pesisir dan pulau pulau kecil (WP3K) maka ikut menghadapi beragam kerentanan. Tidak hanya karena dampak perubahan iklim tetapi juga karena aktivitas manusia.
Ada tiga ekosistem di kawasan WP3K yakni hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Tiga ekosistem ini memiliki keterkaitan. Karena itu saat ekosisitem hulu rusak akan berdampak pada ekosistem pesisir hingga dalam laut.
Di daerah pesisir katanya, ada multi aktivitas yang berimbas kepada pantai dan laut. Dengan ruang dan sumberdaya yang terbatas, pulau kecil juga memiliki kerentanan secara ekologi.
“Ada keterkaitan ekologi. Mangrove yang rusak atau ada kerusakan di hulu akan berdampak sampai ke terumbu karang. Karena itu ekosistem yang ada harus dijaga.” kata Adityawan.
Dia contohkan terumbu karang, untuk tumbuh satu cm saja butuh setahun. Terumbu karang yang kita saksikan ada di laut saat ini misalnya, butuh waktu ratusan hingga ribuan tahun. Karena itu jika rusak karena ada aktivitas manusia atau dampak industry ekstraktif dipastikan generasi saat ini dan ke depan tidak akan melihatnnya lagi. “Nah kesadaran seperti ini harus dibangun untuk terus menjaga lingkungan yang kita miliki,” ujarnya.
Dia bilang lagi, pulau kecil memiliki sumberdaya yang lebih. Begitu juga manusianya beragam. Dia juga gambarkan beberapa karakteristik masyarakat pulau terutama kondisi social ekonominya. Di mana sangat dipengaruhi jenis kegiatan mereka sehari hari. Hal ini juga karena ruang hidup yang kecil. Struktur masyarakatnya juga sederhana dan belum banyak dipengaruhi pihak luar. Pekerjaan orang di pesisir dan pulau kecil juga sebagian besar adalah nelayan. “Ada satu ciri umum yag dikenal dan sering disematkan pada masyarakat di pulau pulau kecil adalah soal kemiskinan,” ujarnya.
Tidak itu saja, dia bilang selain kerentanan masyarakat yang hidup di pesisir dan pulau kecil seperti di Maluku Utara ada juga ruang hidup yang sering kali terancam oleh beragam masalah. Hal ini sudah sangat dirasakan. Misalnya dampak perubahan iklim, abrasi pantai, penambangan pasir, alih fungsi lahan, alihfungsi hutan mangrove dan alih fungsi karena pertambangan. Serta ancaman krisis air bersih. “Aktivitas yang menganggu bentangan alam pesisir dan pulau pulau kecil juga berdampak pada kehidupan masyarakat di pesisir,” katanya.
Dalam kegiatan ini para peserta diskusi yang rata rata mahasiswa sangat antusias. Ini terbukti dengan berbagai pertanyaan dan gagasan yang diajukan dalam diskusi tersebut untuk mendorong anak muda selalu peduli pada soal soal lingkungan.
Rahman salah satu peserta dari Universita Khairun misalnya, mengajukan pertanyaan terkait dampak industry tambang yang ikut meningkatkan urbanisasi. Dampaknya kemudian terjadi perebutan sumberdaya hingga masyarakat local banyak yang meninggalkan kebun maupun bekerja sebagai nelayan yang merupakan basis hidup mereka. “Kita lihat gelombang urbanisasi hingga warga setempat ikut meninggalkan kebun dan laut yang turun temurun jadi sumber hidup mereka ,” ujarnya. (*)
CEO Kabar Pulau