“Di kampong Lelilef Sawai warga yang masih mempertahankan lahan kebunnya sekira 10 orang. Mereka masih bisa ke kebun menanam atau memanen kelapa dan pala yang dimiliki,”
Nikodemus Takuling Tokoh Masyarakat Lelilef Sawai
Kehabisan lahan produktif menyebabkan, bahan pangan seperti pisang, sagu atau hasil kebun lainnya, terpaksa didatangkan dari luar desa. Pisang misalnya, kebanyakan didatangkan dari Tobelo Halmahera Utara.
“Di kampong ini juga mau cari pisang saja susah, tidak ada yang punya kebun pisang,”kata Nemo.
Tidak hanya itu, sayur mayur seperti cabe misalnya, dijual oleh warga transmigrasi yang masuk ke desa ini menggunakan motor. Di Weda Tengah ada dua kawasan transmigrasi yakni Wale dan Kobe. Warga trans inilah banyak memasok berbagai hasil pertanian untuk warga di lingkar tambang. Itu setidaknya sedikit gambaran kondisi kesharian yang terjadi di beberapa desa yang memiliki akses langsung dengan industry tambang di Weda Halmahera Tengah. Izin konsesi ini juga telah menyebabkan masyarakat Sawai di dekat wilayah pertambangan, kehilangan akses pada lahan yang telah dibudidayakan secara turun temurun. Mereka juga kehilangan akses terhadap hutan bahkan untuk berkebun.
Data AMAN Maluku Utara menyebutkan konsesi pertambangan berdasarkan KK PT WBN di Weda Halmahera Tengah ini seluas 76.280 Luasan itu tumpah tindih dengan kawasan hutan seluas + 72.775 ha, terdiri dari, Hutan Lindung (HL) Ake Kobe seluas 35.155 ha. Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 20.210 ha Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 8.886 ha. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) seluas 8.524 ha.
Ada tiga komunitas masyarakat adat Sawai dalam Kawasan Industri tambang nikel yang saat ini sedang dikerjakan oleh PT IWIP . Yakni Lelilef Woebulen dengan 385 KK, Lelilef Sawai 279 KK dan Gemaf dengan 266 KK. Sebagian besar dari mereka telah kehilangan tanah.Mereka tinggal tidak jauh dari pantai, dan sehari hari sebagai pertani.
Kehilangan ruang hidup ini bukan berarti tanpa ada perlawanan. Beberapa warga hingga kini masih tetap mempertahankan lahannya. Kalau pun terpaksa dijual, karena sudah tak ada pilihan. Yakni sulit mengakses lahan karena di sekitarnya sudah terjual habis dan didikelola perusahaan.
Perintah Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) 35 No. 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Dalam soal ini, masyarakat adat Sawai sebagian telah membuat plang atas tanah dan hutannya yakni Desa Gemaf. Meski demikian, plang itu setelah terpasang dicabut lagi. Mereka dianggap masuk wilayah konsesi PT WBN.
“Dipasang berulang-ulang tetapi tetap dicabut petugas. Saat ini plang itu sudah tidak ada karena dianggap berada dalam izin konsesi,” jelas Supriyadi Sawai Humas AMAN Malut yang bersama warga memasang plang hutan adat kala itu. Padahal katanya, bicara masyarakat adat Sawai, punya sejarah dan budaya yang menunjukan mereka sebagai masyarakat adat yang berhak sebagaimana tertuang dalam PMK 35 itu.
Hingga kini wilayah adat masyarakat Sawai juga belum masuk data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). “Wilayah masyarakat adat Sawai sebagian besar belum dilakukan pemetaan wilayah adatnya,” katanya.
Masyarakat Adat Sawai
Alfonsius Gabariel Budiman, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora-Universitas Halmahera (Uniera) dalam riset tentang orang Sawai, menjelaskan, Cekel disebut menjadi cikal bakal keturunan Sawai yang mendiami pesisir Weda bagian Timur yakni desa Kobe Gunung, Kobe Peplis, Lelilef Wo’e Bulan, Lelilef Sawai, Gemaf, Sagea, Yeke, Sepo, Wale, Mesa dan Dote.
Orang sawai percaya Cekel, selalu melindungi mereka ketika berada dalam ancaman bencana alam, manusia yang ingin membunuh atau juga ketika sakit. Selain itu mereka yakin ketika ada orang masuk hutan Sawai tanpa izin dari masyarakat setempat akan mendapat malapetaka. Karena itu jika ada perusahaan masuk wilayah ini harus minta ijin melalui tua– tua adat Sawai dengan membuat upacara khusus meminta ijin pada roh nenek moyang Cekel agar selamat dari bahaya.
Menurutnya, Sawai memiliki makna air yang terpancar. Warga suku Sawai penduduknya beragama Islam dan Kristen Protestan, umumnya hidup pada satu kelompok masyarakat, mereka percaya bahwa dalam kehidupan ada yang lebih berkuasa. Hanya saja orang sawai sendiri tidak tahu kalau yang lebih tinggi itu siapa.
“Dari pandangan mereka lebih tinggi itu disebut Jou (Tuhan). Ada juga yang melihat bahwa Jou itu sebutan Kepada Sultan,”tulis Alfonsius dalam risetnya.
Masyarakat Sawai hingga kini juga masih punya kepercayaan pada pohon, batu, dan goa–goa yang dianggap keramat. Bagi mereka ada kekuatan khusus. Selain itu satu kepercayaan yang diandalkan adalah kepercayaan terhadap Legae Peay, setelah moyang suku Sawai Cekel, meninggal yang dimakamkan di satu tempat yang diberi nama Lagae Lo’y (orang/paitua besar, red). Tempat ini selalu dipakai sebagai tempat berziarah bagi orang Sawai.
Di Halmahera Tengah selain masyarakat adat Sawai, juga ada Tobelo Dalam yang hidup di pedalaman hutan Halmahera Tengah. Mereka diperkirakan datang dari Tobelo Halmahera Utara. Sebagian dari mereka ini masih nomaden di tengah hutan Halmahera. Sekali- sekali turun ke daerah pantai, bahkan ada yang telah bersosialisasi dengan masyarakat.
Perda MA Terkatung-Katung
Saat ini pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat Sawai juga masih lemah. Peraturan Daerah (Perda) Masyarakat Adat (MA) juga belum ada. Perda masyarakat adat yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara pada 2013 lalu ke Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah yang saat itu dipimpin Bupati M Al Yasin sempat ditolak. Alasan penolakan waktu itu, jika Perda ini diterima akan mengangganggu investasi yang masuk ke Halmahera Tengah. Sebab lahan lahan yang telah masuk dalam izin konsesi akan dibatalkan dan dimasukkan dalam wilayah hutan adat masyarakat Sawai. “Bupati kala itu menolak usulan itu dengan berbagai alasan,” jelas Munadi Kilokoda yang kala itu menjadi Ketua AMAN Maluku Utara.
Kemudian diajukan lagi pada kepemimpinan Bupati baru Edy Langkara Abdurahim Odeyani 2018. Pengajuan itu telah masuk ke pemerintah daerah. Sayang hingga 202i ini belum ada kabar akan dilakukan pembahasan.
Kelanjutan pembahasan usulan kedua ini, kata Munadi Kilkoda anggota komisi III DPRD Halmahera Tengah belum, 2020 belum dibahas 1 Perda pun yang masuk Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2020. “Tahun 2021 diagendakan dalam Propemperda Perda Masyarakat Hukum Adat akan dibahas,”katanya.
Nasib Warga Pasca Pengesahan Omnibus Law
Masyarakat daerah lingkar tambang yang menjual tanahnya diprediksi akan sangat susah. Pasalnya saat uang penjualan lahan sudah habis dan tidak ada kebun maka tak bisa lagi menanam.
Pengurus Daerah AMAN Kabupaten Halmahera Tengah Arkipus Kore bilang, belum ada Undang-undang Omnibuslaw atau cipta kerja saja lahan sudah habis apalagi undang– undang ini diberlakukan. Kampung juga bisa dipindahkan dengan mudah. “Kalau mau jujur tanpa Undang-undang itu saja lahan lahan sudah habis. Apalagi ada Undang undang baru ini kampung juga gampang dipindahkan,”katanya. Dia mengkhawatirkan tiga kampong di dalam KI Industri IWIP ikut terancam.
Sementara Munadi Kilokoda anggota DPRD Halmahera Tengah dari Partai Nasdem bilang, Omnibuslaw akan membentengi kepentingan besar investasi. Posisi masyarakat adat Sawai yang hidup di sekitar kawasan industri tidak akan bisa berbuat apa-apa. Hutan mereka hilang, laut, sungai dan udara mereka akan tercemar, tapi mereka tidak bisa bicara sampai memengaruhi kebijakan penting berkaitan dengan kepentingan industri tadi. Ini karena UU Omnibus tidak memberi ruang soal itu. Sederhananya pembahasan AMDAL, keterlibatan masyarakat adat Sawai akan sangat minim, padahal ada ancaman yang berbahaya terhadap kehidupan mereka. Mereka tak miliki hak menolak, minimal bicara soal itu.
Kawasan industri ini bukan cuma 1, ke depan investasi akan terus masuk terutama yang orientasinya pada kepentingan eksploitasi sumberdaya alam. “Itu bagian dari semangat dan paradigma Omnibus. Artinya kepentingan penguasaan lahan dan hutan juga akan semakin meningkat. Dipastikan masyarakat di wilayah sekitar industri akan kehilangan akses pada hak tersebut.
Dengan begitu kearifan tradisional mereka dalam menjaga alam juga akan hilang. Bukan saja kehilangan akses tanah dan hutan akan ikut melahirkan kemiskinan dan konflik.
“Saya kuatir Omnibus ini melemahkan proses pengakuan masyarakat adat. Perda Masyarakat Adat diharapkan bisa menjadi jawaban di tengah ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat. Perda MA akan dibenturkan dengan kepentingan Omnibus yang orientasinya berbeda. Kita berharap tidak terjadi di Halmahera Tengah,” katanya.
Hendra Kasim Dosen FH Universitas Muhammadiyah Maluku Utara bilang, pengesahaan UU Cipta kerja akan menambah beban baru bagi rakyat. Sependek pengamatannya, UU Cipta Kerja khusus untuk klaster lingkungan hidup menganut paradigma domein verklaring atau azas “negaraisasi tanah” di masa pemerintahan kolonial yang telah dihapus UUPA, justru dihidupkan lagi oleh UU Cipta Kerja. Caranya dengan menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah melalui rumusan-rumusan bermasalah Hak Pengelolaan (HPL) dalam UU ini. Seolah Negara adalah pemilik tanah. “Inikan jelas dan nyata bentuk pelanggaran lain terhadap konstitusi. Dengan dalih seperti ini, Negara dapat menguasai lahan atau tanah milik warga dengan mitos pembangunan yang sebenarnya modus memuluskan investasi,” katanya.
Di Maluku Utara, lahan masyarakat Gemaf Lelilef sawai dan Lelilef Waibulan tergerus karena masuk dalam kawasan idustri PT IWIP. Artinya adanya Omnibus semakin memuluskan habisnya lahan masyarakat adat.
“Menurut kami, keberpihakan pemerintah perlu di titik ini. Pemerintah tidak hanya eksekutif, tapi juga legislative. Wajib mengeluarkan produk hukum untuk memastikan perlindungan terhadap masyarakat melalui pembentukan Perda Masyarakat Adat. Dengan begitu, setidaknya perlindungan atas hak teritorial masyarakat adat dapat dilindungi. Sayangnya, sampe hari ini Perda Masyarakat Adat Halmahera Tengah belum juga disahkan. (*)
Tulisan ini didukung The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ)/Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia.
CEO Kabar Pulau