Gane Timur adalah salah satu wilayah di Pulau Halmahera bagian selatan. Daerah ini menjadi produsen kopra dengan memiliki topografi datar. Ketika memasuki wilayah ini melalui jalan darat, tidak merasakan jalanan mendaki atau berbukit. Dari perbatasan Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan yakni desa Foya Tobaru hingga masuk ke Matuting di wilayah Gane Timur Tengah hingga ke selatan, jalanan melewati tepi pantai yang rata.
Ketika kabarpulau.co.id menyusuri perjalanan darat dari Sofofi ibukota provinsi Maluku Utara menuju daerah itu, akhir Januari 2023 lalu ikut merasakan perjalanan darat yang memukau. Kendaraan meluncur mulus di atas jalanan yang licin tak ada ‘bopeng’ hingga ke desa Fida. Setelahnya melewati desa Botonam merasakan jalanan seperti gelombang karena rusak sana sini.
Ketika memasuki perbatasan Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan memotong jalan sebuah sungai yang oleh warga sekitar mengenalnya dengan nama Kluting. Sungai ini menurut pengakuan warga Desa Foya Tobaru Gane Timur jadi salah satu sumber banjir di desa mereka di kala datang musim hujan. Kondisi akan lebih parah jika di laut juga terjadi pasang naik. Air sungai meluber masuk kampung tak terbendung.
“Sungai yang berada tak jauh dari batas Halmahera Tengah dan Halsel ini menenggelamkan kampung hampir setiap saat hujan. Apalagi jika datang pasang naik maka kampung tergenang hingga setinggi lutut,” jelas Roy Katedu tokoh masyarakat Desa Foya Tobaru.
Dia bercerita pada 2020 lalu kampung mereka tengelam kurang lebih satu minggu. “Waktu itu BPBD Halsel juga turun mengambil gambar dan mengukur panjang talud penahan banjir kurang lebih 500 meter. Tapi sayang sampai saat ini tidak jelas kapan dibangun,” ujarnya.
Soal banjir sudah menjadi langganan warga ketika datang musim hujan. Karena kondisi wilayah yang datar ketika air di beberapa sungai di kawasan Gane Timur meluap kampung menjadi tenggelam.
Apalagi di Desa Maffa ibukota kecamatan dan Kebun Raja, di bagian belakang kampung ini terdapat banyak sungai yang melubar ke dua kampung tersebut jika terjadi banjir.
Pada 2020 lalu puluhan rumah dan beberapa objek vital di Desa Maffa dan Kebun Raja terendam banjir.
Kala itu banjir hingga setinggi lutut orang dewasa. Hujan terjadi sekitar pukul 08.00 WIT. Air irigasi dan sungai Ake Taba meluap dan menggenangi jalan poros Desa Maffa dan Desa Kebun Raja. Selain jalan raya, air juga menggenangi rumah warga.
Kala itu objek vital seperti PLN, sekolah dan perkantoran juga terendam banjir. Akibat banjir tersebut buah kelapa yang selesai panen dan sudah terkumpul juga hanyut dibawa air.
“Ini pengalaman yang terjadi berulang kali dan untuk mengatasinya perlu segera dibangun talud penahan banjir di daerah ini untuk mengatasi persoalan banjir,” kata Sulfi Kader tokoh masyarakat Desa Kebun Raja belum lama ini.
Taha M Kasim tokoh masyarakat Kebun Raja mengaku usulan membangun talud penahan banjir ini sudah diasuarakan. Bahkan saat kejadian banjir 2020 lalu pemerintah provinsi melalui Dinas PU sudah turun melakukan pengecekan lokasi dan pengukuran bantaran sungai yang akan dibangun. Hanya saja sampai saat ini tindaklanjutnya belum juga jelas sampai sekarang.
Saat dilakukan pengukuran panjang talud penahan banjir yang akan dibangun di perbatasan desa Mafa dan Kebun Raja sekira 500 meter.
“Sayang pembangunannya belum jalan. Padahal ini masalah paling strategis berhubungan dengan hajat hidup orang banyak,” katanya.
Lantas apa yang menyebabkan banjir berulangkali di kawasan ini?
Warga setempat mencurigai banjir yang melanda desa mereka setiap ada hujan itu, karena eksploitasi hutan yang berlebihan di kawasan Gane Timur beberapa waktu lalu. Terutama hutan di daerah belakang kampung Mafa dan Kebun Raja yang sudah berlangsung lama.
“Kita tidak menyalahkan siapa siapa tetapi kalau ada penebangan di daerah hulu pasti menimbulkan kerusakan dan dampaknya adalah banjir. Mereka eksploitasi hutan sudah berlangsung lama menyebabkan ada penggundulan di hulu,” kata Sulfi.
Mereka menyebut ada beberapa perusahaan HPH yang mengeksploitasi hutan daerah Gane Timur PT TW dan SND yang setelah mengeksploitasi hutan,tapi tidak melakukan penanaman ulang dan menyebabkan penggundulan. “Akhirnya masyarakat yang jadi korban saat ini,” katanya.
Saat ini untuk menjawab kegelisahan warga terkait bencana banjir berulang salah satunya harus segera mempercepat pembangunan talud penahan banjir di sungai yang ada di belakang desa tersebut. “Kita tinggal berharap pemerintah punya itikad baik untuk bangun talud. Jika tidak maka hujan dan banjir warga selalu menjadi korban,” harap Sulfi. (*)
CEO Kabar Pulau