Desak Bebaskan Halmahera dari Kehancuran Ekologi
Dampak lingkungan dan social yang ditimbulkan akibat industri tambang di Pulau Halmahera Provinsi Maluku Utara, mendapat protes warga. Mereka protes karena merasakan dampak industry tersebut secara langsung. Jumat (7/12/20223) masyarakat Halmahera Timur (Haltim) Maluku Utara terdiri dari Aliansi Masyarakat Buli Peduli Watowato, Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Halmahera Timur Jabodetabek menggelar unjuk rasa di kawasan Istana Negara, Jakarta Pusat. Massa yang datang menggunakan truk dan kendaraan roda dua itu, selain berorasi juga membentangkan spanduk yang berisikan protes terkait beroperasinya sejumlah perusahaan tambang di Halahera Timur dan Halmahera Tengah.
“Halmahera Bangkrut Selamatkan ruang hidup warga. Halmahera Butuh Pemulihan, Bukan Industri kapitalis,” demikian tulisan beberapa spanduk yang dibentangkan peserta aksi di depan istana negara.
Dalam orasi mereka turut menyampaikan 5 tuntutan penting kepada pemerintah pusat. Pertama, cabut izin PT Priven Lestari di Gunung Wato wato, lindungi daerah aliran Sungai Sagea dan kawasan karst Gua Bokimoruru. Pulihkan pesisir Tanjung Buli, Pulau Gee, Pakal, dan kawasan pesisir Moronopo. Evaluasi izin tambang di Teluk Weda dan moratorium pemberian izin tambang di Maluku Utara. Terakhir menolak rencana pembangunan pabrik elektrik vehicle (EV) di Halmahera Timur.
Said Marsaoly Warga Desa Teluk Buli yang juga menyampaikan orasi dalam aksi tersebut mengatakan alasan 5 poin tuntutan itu disampaikan karena lebih dari dua dekade, Pulau Halmahera menjadi sasaran empuk industry oligarki .
Dia bilang eksploitasi Pulau Halmahera diklaim sebagai mitigasi perubahan iklim, mendukung propaganda ekonomi hijau yang rendah karbon di negara berkembang. Padahal klaim ini bertentangan dengan realitas yang ada. Aktivitas penambangan dan beroperasinya smelter nikel dilengkapi pembangkit listrik batubara, justru memicu kerusakan di daratan dan perairan Halmahera. Kesehatan warga juga terancam, bahkan memicu lahirnya kemiskinan terstruktur.
“Kerusakan lingkungan akibat dari tambang sudah terjadi di hamper di seluruh Pulau Hamahera. Misalanya dampak yang ditimbulkan di pesisir dan laut Teluk Buli. Termasuk pulau kecil Gee dan Pakal di Halmahera Timur. Pencemaran sungai Sagea di Halmahera Tengah dan penggusuran warga di Pulau Obi, Halmahera Selatan,” cecarnya.
Baginya pemerintah pusat maupun daerah tidak lakukan pemulihan, malah melegitimasi izin tambang baru seperti PT Priven Lestari, yang konsesinya berada di kawasan Gunung Wato-wato, sehingga mengancam ruang hidup warga Haltim karena beroperasi di kawasan hutan, pemukiman, serta lahan pertanian dan sumber air minum warga.
“Gunung Wato- wato ini sumber air hampir 20 ribu warga di Kecamatan Maba. Sumber air yang sama juga digunakan warga di Subaim Kecamatan Wasile, yang saat ini diklaim sebagai lumbung pangan padi di Maluku Utara,” ujarnya.
Gunung Wato-wato juga terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang telah ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2021. Fungsinya sebagai wilayah resapan air dan fungsi esensial lainnya.
“Dari kawasan hutan Wato-wato ini terdapat lahan pertanian dan perkebunan warga yang ditanami pala, cengkeh, dan nanas. Semua itu sumber perekonomian warga setempat,” ujarnya.
Kini, Gunung Wato-wato akan dibongkar. Salah satu modusnya mengutak-atik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur dan memasukan kawasan itu ke dalam kawasan tambang.
Hal yang sama juga dirasakan warga di Desa Lelilef dan Gemaf di Halmahera Tengah, PT IWIP beroperasi. Termasuk di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, tempat dimana Harita Group beroperasi.
“Dua wilayah itu masuk zona pengorbanan, dimana tambang nikel dan operasi pabrik smelter serta PLTU meninggalkan kerusakan, kehilangan dan mewariskan penyakit yang sulit dipulihkan. Melenyapkan hak veto rakyat,” tuturnya.
Dia bilang tambang nikel telah mengokupasi daratan, mencemari pesisir dan perairan, serta memporak-porandakan pulau kecil seperti Pulau Gee dan Pulau Pakal,” katanya.
Karena dampak serius tamang gelombang penolakan dan perlawanan warga makin massif dilakukan. Pemerintah justru abai dengan hal itu. Bahkan ada upaya kriminalisasi warga menggunakan tangan aparat kepolisian.
“Ini ditandai dengan munculnya surat panggilan dari polisi kepada 13 warga Kecamatan Maba yang menolak tambang pada Juli 2023 lalu, dengan tuduhan mengada-ada, yakni penganiayaan, pengancaman, dan pengerusakan,”tegasnya.
Hingga saat ini, ada warga Buli memilih ke Jakarta ingin menyuarakan tuntutan mereka. Meski dengan berbagai konsekuesi.
“Ini jadi alasan kuat kami gelar aksi di depan Istana Negara. Semua lembaga di bawah naungan presiden telah kehilangan akal sehat, lebih mementingkan kepentingan bisnis tambang dibanding kehidupan warga Halmahera,” pungkasnya.
CEO Kabar Pulau