Kota Ternate dengan empat pulau berpenghuni, masing-masing Ternate, Moti, Hiri dan Batang Dua menghadapi masalah zonasi wilayah untuk pengembangan ekowisatanya. Pulau Ternate contohnya saat ini mengeksplore beberapa wilayah di daerah puncak Gunung Gamalama sebagai destinasi ekowisata.
Persoalan ini mengemuka dalam Forum Grup Diskusi (FGD) yang digelar Duta Kreator Indonesia (DKI) bersama berbagai stakeholder Sabtu (9/1/2021) lalu. Kegiatan ini menghadirkan pemerintah daerah, komunitas penggerak pariwisata, akademisi dan media.
Bertema Gerakan Cepat (Gercep) Gerakan Bersama (Gerber) dan Gaspoll Pulihkan Pariwisata Malut dan Lestarikan Hutan, coba mengungkap persoalan yang dihadapi dan menemukan solusi yang mesti segera dilakukan.
Dosen Arsitek Fakultas Tekhnik Universitas Khairun Mualana Ibrahim menganggap ada persoalan yang perlu segera diselesaikan di dalam mengembangakan destinasi wisata di Kota Ternate. Yakni berhubungan dengan dokumen tata ruang atau RTRW dan dokumen Rencana Induk Pariwisata (RIPDA)
“Sederhana saja rumah dan permukman di Ternate, harus dibatasi area terbangunnya. Batasnya sampai di mana. Perlu dibuat batasan yang jelas, lalu masyarakat diedukasi agar tidak merusak alam. Tujuannya tidak ada lagi masalah seperti terjadi di Taman Love Puncak Moya saat ini. Dari sisi arsitektur jadi masalah baru. Ketika jalan terbuka Moya Buku Bendera lahan kavling mulai ramai dijual. Jadi perlu ada aturan yang mengatur.
Daerah destinasi wisata juga wajib dibuat zonasi dimana batas pemukiman. Paling gampang cari benang merahnya itu aturan ditegaskan. RTRW, RIPDA Malut juga belum ada. RIPDA MALUT itu mengatur kawasan stragetis ekowisata ada di mana.
Sofyan Ansar dari Generasi Pesona Indonesia (GENPI) Malut mengatakan, yang jadi persoalan di Pulau Ternate adalah belum adanya zonasi untuk wilayah pulau Ternate di mana kawasan wisata terutama ekowisata dan di mana batas pemukiman. Zonasi wilayah ini sangat penting.
Bagimana dengan wisata geologi? Dedy Arief dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia mengatakan, Ternate ini dibangun di atas gunungapi. Geowisata Ternate punya 28 geo site akan diusulkan ke pusat. Ternate sebagai pulau dengan karakteristik geologi daerah tektonik. Terutama batu angus dan pantainya ada hubungan dengan letusan gamalama.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate Dr Risal Marsaoly bilang, Ternate adalah kota berkarakter pulau. Ada beberapa keunggulan objek wisata yang jadi daya pikat wisata.
Untuk mengangkat destinasi wisata di Ternate, sejak 2020 sudah coba libatkan beberapa komunitas. Menghidupkan warisan geologi di Ternate dengan 28 site-nya. Contohnya di Tongole ini dulu hanya hutan pala dan cengkeh dan belum dilirik. Tetapi dengan konsep ekowisata kawasan ini dikelola menjadi salah satu destinasi wisata yang memikat,” kata Risal.
Begitu juga dengan kawasan taman love di Kelurahan Moya Ternate. Meski demikian dia mengakui memang dalam pengembangan ekowisata ini ada beberapa hal butuh ketegasan. Terutama pemanfaatan ruangnya.
Ada beberapa masalah di sana. Misalnya perlu dibatasi akses pemukiman baru. “Konsekwensi ekowisata baru membuka ruang ekonomi baru tetapi perlu perlindungan guna menjaga lingkungan ke depan,”katanya.
Dia bilang ada betonisasi bangunan di Taman Love. Ke depan perlu mempertegas agar bangunan di kawasan ekowisata fasilitasnya menggunakan bambu dan kayu. Di sana orang bisa menikmati pemandangan dari puncak Kota Ternate dengan menikmati udara segar pegunungan. Karena itu perlu dijaga hutannya.
Ditambahkan Risal, Di Kota Ternte diakui fasilitas yang dimiliki tempat wisata masih minim. Tolire misalnya, tidak hanya datang melihat view danau, tetapi bagaimana pengelola Tolire berkolaborasi dengan berbagai pihak membuat destinasi ini lebih menarik. Misalnya memanfaatkan komunitas di daerah ini.
Dulu kawasan Batu Angus tidak pernah dipikirkan menjadi tempat wisata bahkan tidak dilirik. Tetapi ketika tempat disentuh dengan pengelolaan, menjadi rebutan dan menimbulkan masalah.
Dalam hal kebersihan tempat tempat wisata juga butuh perhatian. Ini juga adi masalah sekaligus menjadi tugas pemerintah memaksa pengolala destinasi wisata menerapkan kawasan destinasi wisata yang bersih dengan lingkungan yang baik.
Cris Samsudin pengelola destinasi wsata Cengkeh Afo Ternate mengatakan, bicara pengelolaan destinasi berhubungan dengan tata kelola. Tujuannya agar tercipta sustainable ecoturism. Ini menjadi sesuatu yang wajib dan tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh pemilik destinasi. Indonesia timur katanya lebih mengembangkan ekowisata dengan pemberdayaan masyarakat local. Itu adalah konsep utama yang harus dilakukan. Kedua, banyak destinasi wisata kolaps dalam waktu tertentu karena dalam pengelolaan tidak mengikuti prinsip prinsp pengembangan destinasi yang sewajarnya distandarkan.
“Lebih ke pemahanaman tata kelola dan SDM jadi kendala besar. Semua berpikir mencari pengunjung sebesar besarnya, tetapi tata kelola dalam memanggil pengunjung datang itu tidak ada,” cecarnya.
Dia bilang, berdasarkan hasil kajian, 80 persen destinasi wisata itu kolaps karena tanpa tata kelola dan permintaan pasar. Pengembangan pariwisata juga selaras dengan alam di mana detinasi itu berada. Dalam pengelolaan destinasi wisata, yang pertama dan menentukan adalah SDM pengelola. Percuma bicara pengelolaan jika SDM tidak memenuhi.
Selain itu, Destination Management Organization (DMO) belum berjalan baik. DMO itu terutama struktur tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup perencanaan, koordinasi, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik. Melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah. Ini bertujuan meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat di mana destinasi berada. “Di Malut belum ada badan promosi pariwisata daerah. Padahal BPPD punya peran penting,” kata Cris. (*)
CEO Kabar Pulau