Breaking News
light_mode
Beranda » Kabar Kampung » Mengunjungi Mayau, Pulau Terluar Kota Ternate (1)

Mengunjungi Mayau, Pulau Terluar Kota Ternate (1)

  • account_circle
  • calendar_month Sen, 4 Sep 2023
  • visibility 385

Merekam Masalah Infrastruktur hingga Layanan Dasar   

Kamis (24/8/2023) lalu saya berkesempatan  mengunjungi Pulau Mayau di Kecamatan Batang Dua. Pulau ini secara adminstratif berada di wilayah pemerintahan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara.

Di kecamatan ini ada dua  pulau yakni Mayau dan Tifure  dengan 6 kelurahan. Di Pulau Mayau ada 4 kelurahan.Sementara di Tifure ada dua kelurahan.   Dua pulau ini berdekatan dari Mayau ke Tifure butuh waktu tiga jam dengan long boat, Keduanya berada terluar dari wilayah Kota Ternate.

Sekadar diketahui di Kota Ternate  punya 8 pulau yakni Ternate, Hiri, Maka, Mano, Gura Mangofa, Moti, Mayau dan Tifure. Mayau dan Tifure  berbatasan langsung dengan Sulawesi Utara.  Tiga pulau tak berpenghuni sementara lima berpenghuni. Di Mayau jika warga ingin ke Ternate atau ke Bitung Sulawesi Utara hamper sama jarak tempuhnya. Dari Ternate ke Mayau atau sebaliknya berjarak kurang lebih 121,8 kilometer dengan lama perjalanan  menggunakan kapal sabuk nusantara 105,  12 jam.

Berdasarkan lama perjalanan bersama kapal yang saya tumpangi, kapal  lepas sauh pukul 19.10 WIT dari Pelabuhan Ahmad Yani Ternate dan Tiba di Kelurahan Bido Mayau pukul 06.00 WIT.  Sampai di sini  butuh waktu agak lama  penumpang dan berang  bisa  turun ke darat. Pasalnya di di Pulau ini kita tidak akan menemukan dermaga atau jembatan yang representative menjadi tempat sandar kapal  dan menurunkan penumpang. Hingga kini belum ada pembangunan pelabuhan yang  layak karena alasan cuaca ekstrim setiap waktu mengancam laut  dan pesisir pantai Pulau Mayau.

Tak hanya dermaga  dan pelabuhan berbagai sarana pendukung di pulau terluar ini terbilang minim. Warga tersandera   keterisolasian wilayah. Jalan rusak, tidak ada dermaga kapal bersandar, sarana komunikasi  terbatas, kesulitan air bersih, hingga pelayanan pemerintahan, kesehatan, pendididikan  dan lainnya. Semua masalah ini menjadi teman hidup warga  setiap saat. “Masalah ini sudah biasa dan seperti dinikmati warga setiap saat,” komentar Henoks tokoh masyarakat Kelurahan Bido Kecamatan Batang Dua 

Bagi warga di sana (Mayau dan Tifure,red) setiap   pergi  dan pulang  dari Ternate sudah biasa dalam perjalanan  dihadang angin dan gelombang besar.

Saat naik ke kapal saja menunggu waktu berangkat  tak menentu.  Pengalaman berangkat dari Ternate ke Mayau,  waktu keberangkatan kapal juga berubah- ubah. Semulai dikabarkan  pukul 15.00—WIT. Kemudian berubah pukul 17.00 WIT dan akhirnya baru berangkat pukul  19.00 WIT.

Saat tiba dan turun  di pelabuhan  juga selalu terancam bisa jatuh ke laut. Ini  karena penumpang dan barang turun lagi ke atas body perahu bermesin gantung,  selanjutnya diantar ke daratan.

Pelabuhan fery di Keramat Kelurahan Bido Pulau Mayau Kecamatan Batang Dua foto M Ichi

Di Mayau hingga saat ini tidak ada dermaga  tempat bersandar kapal. Karena itu seluruh penumpang dan barang harus diturunkan ke atas body perahu, selanjutnya diantar ke tepi pantai.  Begitu juga ketika berangkat penumpang harus berbasah basah naik ke atas perahu agar bisa diantar ke kapal. “Pernah ada barang dan penumpang jatuh ke laut saat aktivitas bongkar muat bertepatan dengan gelombang,” kata Andreas  salah satu warga Bido.

Saat saya  mengunjungi Mayau akhir Agustus lalu, bertiup angin selatan cukup kencang. Karena itu kapal tidak bisa merapat dan lego sauh di  Kelurahan Mayau Ibu Kota Kecamatan.  Seluruh penumpang dan barang turun di Kelurahan  Bido  bagian utara pulau Mayau yang berjarak kurang lebih 9 kilometer.Karena itu  juga penumpang dari 4 kelurahan di pulau ini  turun di Bido  nanti melanjutkan perjalanan ke  kelurahan masing masing. Saat tiba, laut Bido sangat  teduh.  Berbeda dengan di Mayau sudah sebulan lebih angin selatan bertiup dan gelombang besar datang  tak  kenal kompromi.

Saat kapal lego sauh sekira pukul 06.00 WIT. Belum ada body perahu mendekat. Nanti setelah agak siang  satu dua perahu bermesin  datang  menawarkan jasa angkutan  mengantar sampai tepi pantai. Sementara di   darat  juga  sudah menunggu  motor maupun kendaraan roda tiga dan mobil pick up yang bisa digunakan mengantar penumpang  dan barang sampai ke rumah.  

Kawasan Laut Kelurahan Mayau yang setiap saat selalu diwarnai kondisi cuaca tak bersahabat foto M Ichi

Ketika ada aktivitas naik turun barang dan penumpang, warga terlihat sangat kesulitan. Saat itu bisa  dibayangkan betapa pentingnya  sebuah dermaga  yang representative     bisa dimanfaatkan masyarakat ketika naik dan turun kapal  melakukan perjalanan dari dan ke Ternate maupun  Bitung  Sulawesi Utara.

Memang di Mayau  ada sebuah dermaga kecil tetapi itu juga tidak bisa dimanfaatkan  kala kondisi angin selatan bertiup kencang  disertai gelombang tinggi.

Yang ada saat ini di kawasan Keramat berjarak kurang lebih 3 kilometer dari Kelurahan Bido, ada pelabuhan kapal fery. Namun sepekan lalu  belum ada  armada  fery yang masuk ke Mayau karena gelombang tinggi dan angin kencang.  “Jadwal fery juga tidak menentu kadang sebulan sekali tetapi semua tergantung cuaca serta penumpang dan barang,” jelas Andres warga Bido.   

Sementara untuk pelabuhan  atau dermaga  tempat bersandar kapal barang dan penumpang,  rencana segera dibangun. Sesuai informasi yang dihimpun dari warga, menyebutkan bahwa  pemerintah telah membebaskan lahan di kawasan Karamat untuk pembangunan pelabuhan. “Kabarnya proyek ini dibiayai oleh Kementerian Perhubungan RI,” ujar Delfri Peo tokoh pemuda Bido. Meski sudah  diadakan pembebasan lahan tetapi menurutnya belum tahu kapan pelabuhan    tersebut akan dibangun.

Itu baru satu persoalan infrastruktur yang  terekam ketika menginjakkan kaki ke pulau ini. Untuk pembangunan dermaga sebagai salah satu kebutuhan mendesak, juga terkendala  kondisi cuaca yang  selalu berubah –ubah.    Mayau menjadi sasaran  cuaca ekstrim. Pulau ini jika  berlangsung  angin utara  terpaksa kapal berlabuh di Mayau karena laut sekitar kelurahan Bido seperti mendidih dihantam gelombang. Sementara jika berlangsung angin selatan daerah pesisir kelurahan Mayau tidak bisa kapal bersandar akibat angin dan tingginya gelombang.  Angin selatan  telah berlangsung sejak akhir Juli dan normal di  awal Oktober. Sementara angin Utara akan bertiup dari Oktober hingga Januari sehingga kapal penumpang yang masuk ke pulau Mayau bersandar di Kelurahan Mayau.

”Kapal masuk ke pulau Mayau ini berpindah pindah tergantung arah angin bertiup karena  selalu ada gelombang besar. Praktis hanya tiga bulan yang benar benar teduh yakni Februari hinga April,” kata Andreas.    

Aktivitas warga Bido Pulau Mayau Batang Dua, foto M Ichi

Pulau ini sebenarnya  memiliki kekayaan berlimpah. Dari hasil perkebunan seperti kelapa,cengkih dan pala, Jika Anda ke Mayau bisa menyaksikan dari pesisir hingga ke puncak gunung, pohon kelapa, pala dan cengkih menghiasi pulau dengan luas 78,60 kilometer persegi tersebut. Pulau kaya berbagai hasil bumi ini tidak sejalan dengan infrastruktur yang ada di sini.

Begitu juga lautnya. Berbagai  jenis bahkan berton ton ikan ditangkap dari laut sekitar Mayau dan Tifure. Sebut saja, pelagis kecil dan besar serta jenis demersal.  Banyak kapal  penangkap berseliweran di laut sekitar Mayau. .Dari hasil lautnya bisa disaksikan berpuluh kapal nelayan asal Sulawesi Utara yang  lego sauh dan mengambil hasil nelayan Pulau Mayau dan Tifure  

“Hampir semua hasil nelayan   dijual ke kapal penampung dari Bitung  yang setiap saat ada di laut  Bido dan Mayau,” kata Vasten Dalo nelayan asal Kelurahan Bido. Kalau menunggu kapal ikan penampung dari Ternate bisa bisa ikan rusak karena mereka tidak berada di Mayau. Dengan kegiatan ini otomatis keuntungan dari pajak yang dihasilkan dari  bidang perikanan masuk ke Sulawesi Utara. (*) (bersambung)    

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Penemuan Lebah pluto di Halmahera Jadi Perbincangan Ilmuan Dunia

    Penemuan Lebah pluto di Halmahera Jadi Perbincangan Ilmuan Dunia

    • calendar_month Jum, 1 Mar 2019
    • account_circle
    • visibility 188
    • 0Komentar

    Penemuan kembali lebah raksasa Wallace atau lebah pluto (Megachile pluto Smith 1861) di Maluku Utara menjadi perbincangan hangat di kalangan ilmuwan, terutama bidang zoologi. Rilis resmi yang dikeluarkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI  (Vhttp://lipi.go.id/siaranpress/penemuan-kembali-lebah-megachile-pluto-di-maluku-utara/21545), menyebutkan,   bahwa  lebah dengan rahang bawah (mandibula) yang sangat besar ini dikoleksi oleh Alfred Russel Wallace pada  1859 dan […]

  • Aksi Hari Tani, Desak Wujudkan Reforma Agraria

    • calendar_month Sel, 26 Sep 2023
    • account_circle
    • visibility 172
    • 1Komentar

    Peringatan Hari Tani yang diperingati setiap  24 September  diperingati juga oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara bersama sejumlah organisasi gerakan mahasiswa  di Maluku Utara. Perayaan Hari Tani 2023 yang bertepatan dengan 63 tahun kelahiran UU Nomor 5/1960 tentang Undang–undang pokok Agraria (UUPA) itu, para aktivis turut menyuarakan  berbagai ketimpangan terkait persoalan agraria di daerah […]

  • Hutan Orang Tobaru Terus Menyusut

    • calendar_month Kam, 11 Nov 2021
    • account_circle
    • visibility 205
    • 0Komentar

    Yusak Bulere (67 tahun) sibuk mengasapi kelapa yang telah diolah menjadi kopra. Saat ditemui di kebunnya Minggu sekira pukul 11.30 WIT pertengahan Februari 2021 lalu, Ayah tiga ini sibuk melemparkan  gonofu  (sabut kelapa dan tempurung kelapa,red) ke dalam api untuk menambah  api bafufu (pengasapan,red). Yusak sejak pagi menunggu kopra matang untuk segera dijual  kepada pedagang  […]

  • Nelayan Kecil Belajar Standar Keselamatan di Laut

    • calendar_month Sab, 25 Feb 2023
    • account_circle
    • visibility 267
    • 0Komentar

    Para nelayan mempraktikan cara menyelematkan korban di lautan foto MDPI

  • Warga Gane Keluhkan jadi Langganan Banjir

    • calendar_month Sen, 13 Feb 2023
    • account_circle
    • visibility 217
    • 0Komentar

    Banjir yang pernah melanda MAffa dan Kebun Raja, foto Sahril S

  • Isu Kelautan dan Perikanan Tak Disentuh Saat Debat Cawapres

    Isu Kelautan dan Perikanan Tak Disentuh Saat Debat Cawapres

    • calendar_month Rab, 31 Jan 2024
    • account_circle
    • visibility 240
    • 0Komentar

    WALHI: Regulasi Abaikan Wilayah Tangkap Nelayan Tradisional   Putaran empat debat Calon Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029  telah berakhir Minggu (21/1/2024) lalu. Banyak persoalan lingkungan diungkap ketiga Cawapres  dalam debat. Sayang, tidak ada satu pun  menyinggung langsung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal  tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut. Perspektif para […]

expand_less