Dari Tambang, Sampah hingga Matinya Mamalia Laut
Studi dari Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), menyebutkan bahwa sekitar 72 persen bagian dari bumi tertutup air. 97 persen air yang ada adalah lautan.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan 17.499 pulau besar dan kecil memiliki luas wilayah sekitar 7,81 juta kilometer persegi (km2). 3,25 juta km2 lautan dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif. Hanya sekitar 2,01 juta km2 berupa daratan. Negara ini paling luas di Asia Tenggara, dan memiliki garis pantai paling Panjang dengan jumlah pulau mencapai 17 ribu lebih.
Data Badan Informasi Geopasial (BIG), luas wilayah daratan Indonesia ialah 1.922.570 km² dan perairan 3.257.483 km². Bila ditotal, luas wilayah Indonesia adalah 5.180.053 km².
Luas wilayah Provinsi Maluku Utara ada 145.801,10 km2, terdiri dari luas lautan 113.796,53 km2 atau 69,08 persen dan luas daratan 32.004,57 km 2 atau 30,92 persen.
Provinsi ini secara administratif memiliki batas wilayah di sebelah Timur berbatasan dengan Laut Halmahera; – Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Maluku; – Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik; dan – Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram.
Luasnya laut, tidak hanya menjadi potensi. Saat ini banyak masalah tidak hanya mengancam lingkungan dan manusia.Keanekaragaman sumberdaya hayati di dalamnya menghadapi masa masa suram.
Hari-hari ini, sejumlah isu penting menjadi bahasan. Terutama berkaitan dengan kondisi laut yang tidak lagi “sehat” mendukung kehidupan manusia.
Sebut saja dampak kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim. Sampah plastic hasil aktivitas antropogenik, hingga industry ekstraktif pertambangan di daratan, yang berdampak langsung ke pesisir dan peraiaran. Tiga masalah ini dampaknya mulai dialami di pulau-pulau kecil di Malut beberapa waktu belakangan ini.
Dampak kenaikan permukaan air laut misalnya, sudah begitu nyata terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil. Tidak hanya hilang terkikis abrasi, sejumlah pulau kecil bahkan nyaris hilang tersapu kenaikan air laut.
Kasus pulau Pagama di Kepulauan Sula, Pulau Mtu Mya di Halmahera Tengah, hingga pulau-pulau kecil lainnya yang membanteng di sejumlah gugusan pulau, jadi bukti nyata dampak kenaikan permukaan air laut itu begitu nyata.
Untuk masalah sampah plastic, saat ini pulau-pulau di Malut mendapat imbas paling serius. Sampah kiriman dari berbagai wilayah memenuhi kawasan pesisir pulau pulau di Maluku Utara. Kasus yang terjadi di Pulau Morotai, di mana pesisirnya dipenuhi beragam jenis sampah dari beberapa wilayah, di waktu waktu tertentu juga ditengarai ada sampah kiriman dari negara tetangga, semisal Filipjna China hingga Jepang. Pihak DKP Morotai sempat mengidentifikasi ada sampah plastic yang dibawa arus hingga masuk ke daerah Morotai.
Kasus dampak industry tambang terhadap air laut juga nyata terjadi. Di daerah daerah yang memiliki industri tambang besar, lautnya sudah mulai dicemari kerokan tambang yang terbawa baniir pasca turun hujan.
Kasus di Pulau Obi Halmahera Selatan dan Lelief Halmahera Tengah yang lautnya berwarna merah akibat masuknya kerokan tambang ke badan air seperti sungai dan dibawa ke laut, menjadi bukti betapa aktivitas tambang tidak hanya menimbulkan masalah di darat tetapi juga di lautan. Riset yang pernah dilakukan Dr Muhammad Aries dari FPIK Universitas Khairun di Pulau Obi, menunjukan adanya dugaan cemaran material tambang merusak pesisir laut dan biota di kawasan itu.
Masalah yang tidak kalah menariknya soal kondisi laut Maluku Utara saat ini adalah matinya beberapa jenis mamalia purba seperti Paus dan dugong. Tidak itu saja mati dan rusaknya terumbu karang akibat bleacing atau pemutihan pada karang yang melanda hamparan terumbu karang di beberapa kawasan laut perlu mendapat perhatian.
Di kawasan laut Malut berulang kali ditemukan matinya mamilia laut jenis paus. Terbaru seekor paus (physeter macrocephalus) dengan panjang kurang lebih 10 m dan lebar 7 meter oleh warga Kelurahan Seli Kota Tidore Kepulauan. Hewan laut raksasaa itu dalam kondisi mati membusuk lalu terdampar, Senin (12/6/2023) pukul 16.40 WIT lalu. Mamalia ini terdampar di titik koordinat 0°38’17.5″ LU 127°26’04.5″ BT, tepatnya di Kelurahan Seli, Kota Tidore Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
Atas temuan itu warga melaporkan ke DKP Tidore Kepulauan. Kemudian dikordinasikan dengan Satwas PSDKP Ternate dan Loka PSPL Sorong Wilayah Kerja Maluku Utara.
Koordinator Satwas SDKP Ternate, Stasiun PSDKP Ambon, Sunapit M. Taher bilang saat paus ditemukan, sudah dalam keadaan membusuk tingkat lanjut.
“Kondisi kematiannya kode IV (mati membusuk tingkat lanjut),” jelasnya. Bagian ekor dan perut sudah membusuk dan mengeluarkan bau menyengat, meskipun perut belum pecah. Kondisi membusuk itu akhirnya mengeluarkan bau menyengat dan mengganggu warga sekitar.
Lokasi terdamparnya paus di medan berat di pantai yang berbatu tak terlalu jauh dari pemukiman. Selain itu tubuh paus yang besar membuat petugas kesulitan lakukan penanganan.
Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti pada Selasa (13/6/2023) pagi sekira pukul 09.30 WIT. Tim tiba di lokasi kemudian lakukan pemeriksaan dan penanganan. “Paus sperma itu bisa ditangani tim Loka PSPL Sorong, Satwas SDKP Ternate dan DKP Maluku Utara,” kata Mansur salah satu warga Seli
Karena paus terdampar di lokasi sulit dilakukan penguburan, tim PSDKP PSPL Sorong bersama DKP Tikep lalukan evakuasi ke pulau Mare atau sekira 6,5 mil dari Tidore. Evakuasi bangkai paus sperma ini dilakukan juga atas bantuan masyarakat nelayan di Kelurahan Seli. Selain itu bantu penarikanya dengan 2 kapal nelayan dari DKP Tidore
Evakuasinya dilakukan sekira 3 jam perjalanan yakni 10.30 dan tiba di Pulau Mare sekira pukul – 14.40 WIT. Paus ini kemudian ditambatkan di kawasan hutan mangrove, atau bagian barat Pulau Mare yang jauh dari pemukiman dan aktivitas warga.
Pihak LPSPL Sorong memperkirakan paus ini sudah cukup lama mati dan berada di laut sebelum terdampar ke pantai. Diperkiraan sudah mati 2-4 minggu. M. Arsyad, S.Pi Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Ahli Pertama Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong. Meski begitu Dimas yang turun ke lokasi dan lakukan identifikasi pada Selasa pagi itu belum bisa memastikan penyebab kematian paus ini.
Penyebab kematian paus physeter macrocephalus menurut dia, belum bisa disimpulkan karena kondisi biota saat terdampar sudah mengalami pembusukan. Pihaknya sudah tidak bisa lagi mengetahui pasti luka yang didapatkan hingga menyebabkan kematian.
Untuk mengidentifikasi kematiannya butuh kualifikasi dan pengalaman ahli/pakar di bidangnya. Terutama dokter hewan atau peneliti yang memiliki kualifikasi tersebut.
Sekadar dietahui dalam tiga bulan ini, yakni Maret hingga Juli 2023 lalu ada seekor paus raksasa ditemukan mati dan terdampar dalam kondisi sudah membusuk di daerah Pulau Taliabu Maluku Utara. Paus yang ditemukan mati dan terdampar di Pulau Tabalaa, Desa Lede, Kecamatan Lede Kabupaten Pulau Taliabu, itu panjangnya mencapai 10 meter dan lebar sekitar 5 meter.
Pihak LOKA Pengelola Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong mencatat mamalia laut yang mati di wilayah Timur Indonesia 36 persen ada di laut Maluku Utara. Baik paus, dugong maupun lumba lumba.
Kepala LPSPL Sorong Santoso Budi Widiarto dalam rilis resmi KKP di Sorong, menjelaskan bahwa, jenis paus mendominasi kejadian mamalia laut terdampar di wilayah timur Indonesia baik yang masih hidup maupun yang mati. Jumlahnya hampir 52% yaitu 13 kejadian jenis paus terdampar, 10 kejadian jenis dugong terdampar dan 2 kejadian lumba-lumba terdampar. Banyaknya mamalia yang ditemukan di wilayah ini dikarenakan menjadi jalur migrasi mamalia laut dan terdiri dari pulau-pulau membentang dari Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik.
Dr Zulham Harahap yang juga Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan Universitas Khairun Ternate menyatakan, berulangkali ditemukan matinya mamalia laut di perairan Malut karena beberapa kemungkinan. Ada kemungkinan dua faktor.
Pertama kecelakaan di laut, luka berat akibat tertabrak kapal seperti terkena baling baling baling dan lain lain seingga mati mengambang, dan terbawa arus ke pantai. Kedua, mati terdampar di pantai karena ‘tersesat’. “Hal ini yang belum bisa dijelaskan dengan baik. Boleh jadi karena banyak sampah di laut menjadikan sistem navigasi paus yang menggunakan gelombang suara menjadi tidak berjalan baik. Atau juga akibat kenaikan suhu air laut, sehingga terjadi perubahan kecepatan gelombang suara. Namun ada kemungkinan terkecil terdampar akibat badai. Kemungkinan kecil, karena paus bertubuh besar, dan bisa menyelam dalam,” katanya.
Senada Dr Nurkhalish Wahidin Peneliti Kelautan dari Universitas Khairun Ternate juga menyampaikan bahwa mamalia laut berkomunikasi menggunakan gelombang suara. Sistem gelombang suara yang dipantulkan akan diterima kembali oleh mamalia laut melalui sensor di otaknya untuk diterjemahkan menjadi jarak, kedalaman, rintangan bahkan mendeteksi kawanannya.
Prinsip gelombang suara merambat di dalam air akan dipantulkan jika dalam proses perambatanya mengenai objek yang lebih padat dari media air.
Perambatan gelombang suara di air laut dipengaruhi oleh densitas, salinitas dan suhu. Perubahan iklim dianggap sebagai salah satu faktor yang merubah kondisi perairan yang mengganggu perambatan suara sebagai media navigasi mamalia laut. Tapi menurutnya, faktor yang paling menjadi masalah saat ini untuk komunikasi mamalia laut dengan memancarkan gelombang suara adalah terhalang oleh sampah di laut. Pantulan gelombang suara oleh mamalia laut menjadi spekular, tidak teratur dan ini sangat mempengaruhi mereka untuk bernavigasi. Misalnya mendeteksi apakah perairan dangkal atau perairan lebih dalam. Kacaunya navigasi maka mamalia laut akan disorientasi terhadap posisinya dan kehilangan arah ruaya. “Itu kurang lebih masalah utama mengapa mamalia laut semakin banyak terdampar ke perairan dangkal dan terjebak,” katanya.
Pada saat terjebak ke perairan dangkal maka pantulan gelombang suara akan lebih kacau karena pulau, terumbu karang atau dasar oerairan yang lebih dangkal. Dia bilang
jika paus mengalami disorientasi dan terjebak di perairan dangkal, akan mengalami stress. Jika dalam waktu lama tidak bisa keluar dari daerah dangkal maka stres menyebabkan paus akan menjadi lemah dan mati.
CEO Kabar Pulau