Breaking News
light_mode
Beranda » Headline » Patgulipat  Harga Tanah di Lingkar PSN, Banyak Pihak Ikut Bermain (3) Habis

Patgulipat  Harga Tanah di Lingkar PSN, Banyak Pihak Ikut Bermain (3) Habis

  • account_circle
  • calendar_month Sel, 10 Jun 2025
  • visibility 633

Persoalan  pelik daerah lingkar Proyek Strategis Nasional (PSN), Weda Hamahera Tengah Maluku Utara,  adalah  lahan.  Saat ini lahan produktif untuk pertanian nyaris habis. Warga yang  dulu bertani  tak lagi bertani. Sebagian besar beralih menjadi pekerja tambang, serabutan  hingga juragang rumah sewa/kosan.

Lepasnya lahan  karena kebutuhan mendesak, juga kuatnya pengaruh berbagai pihak. Harga  lahan kebun  terbilang murah. Per meter hanya Rp9.000 hingga Rp12.000. Ini juga tergantung negosiasi. Kadang lebih mahal atau juga lebih murah.

Warga lantas menyoal tanah  tidak dibayar berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).  Padahal jika merujuk NJOP yang ditetapkan,  di desa lain seperti di Nusliko,  mencapai Rp32 ribu/ meter.

Penjelasan Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan Perbatasan Setdakab Halmahera Tengah, Sofyan Abdul Gafur, seperti dirilis media  pada Maret 2020 menyebutkan, Nilai  Jual Objek Pajak (NJOP) di Nusliko sebesar Rp 32 ribu.  “Kita punya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Rp. 32 Ribu,’ katanya  ketika merespon persoalan lahan proyek pembangunan jalan lingkar di Desa  Nusliko waktu itu.  Dengan dasar ini saja jika tanah warga dibayar berdasarkan  NJOP  sebesar itu, maka mereka masih bisa mendapatkan nilai jual tanah yang sesuai.

Masri Anwar, warga Desa Sagea  menyebutkan, harga tanah di Weda Tengah sampai saat ini tidak ada kejelasan. Masyarakat maupun Pemerintah Desa tidak tahu berapa nilai NJOP.  Padahal, wilayah Weda Tengah yang berada dalam kawasan industri, punya  harga tanah yang pasti berbeda dengan SK Bupati Halmahera Tengah saat ini. “Setiap wilayah, pasti memiliki nilai berbeda. Weda Tengah sampai ke Weda Utara ini masuk kawasan industry,” katanya.

 

Kehidupan warga di lingkar PSN seperti ini sudah jarang terlihat. Foto salah satu Ibu dari Wale Weda Utara yang baru-pulang dari kebun membawa-kayu bakar menggunakan saloi ini diambil pada 2020 lalu foto-M-Ichi

Anggota DPRD Halteng Munadi Kilkoda bilang, perusahaan membebaskan lahan warga tidak berdasarkan NJOP. Padahal saat ini PT IWIP ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).  Tanah atau lahan di kawasan Industri sudah bernilai strategis.  Dengan  begitu harga jual tanah mesti  berdasarkan NJOP yang ditetapkan Badan Pertanahan Nasional  (BPN).  “Di lapangan pembebasan lahan  justru tidak berdasarkan NJOP. Tapi berdasar  negosiasi perusahaan dengan warga,” katanya.

Lebih miris, Pemerintah Desa bekerja sama dengan perusahaan, mendorong warga menjual lahan dengan harga sangat rendah. Pemerintah desa beralasan nilai tanah per meter berdasarkan Peraturan Daerah.

Negosiasi jual beli lahan bukan antara perusahaan dengan warga namun dengan pemerintah daerah. Aparat desa yang mengurus penjualan tanah juga mendapatkan imbalan.

Sementara warga yang mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT)   di desa turut dikenakan biaya administrasi Rp100. 000 per surat yang diterbitkan. Bahkan  kadang bisa lebih lebih mahal.

“Pemerintah Desa menerima pembayaran tambahan dari pihak perusahaan setiap bulannya. Rata-rata, perusahaan yang  beli lahan warga memerlukan surat keterangan dari desa. Surat itu mencantumkan harga jual lahan  yang ditentukan. Tanpa surat itu perusahaan tidak akan membayar lahan warga. Karena itu, Pemerintah Desa terlibat memfasilitasi perusahaan membeli lahan warga dengan harga rendah.

Mahmud Ali warga Sagea menyebutkan, sebagian besar lahan warga di belakang kampung Sagea telah dijual ke perusahaan. Sayangnya standar harga jual tanah  per meternya  tidak diketahui secara pasti. Harga tanah itu bervariasi mulai dari Rp7000, Rp9000, Rp 12.000   hingga ada yang Rp 20.000.

“Lahan milik saya ada standar harga tertera di dalam sertifikat yaitu, Rp25 000 per meter, tapi harga yang perusahaan tawarkan di bawah harga sertifikat, jadi kami tidak mau jual,” katanya.

Mahmud bilang, Surat Keterangan Desa (SKD) membantu proses penjualan lahan, dan pemerintah desa pun akan mendapatkan jatah hingga Rp1 juta untuk setiap SKD yang diterbitkan. Tim  pengukuran lahan biasanya warga lokal yang bekerja di perusahaan.

Wati Samad (46) tahun warga Sagea mengatakan,  sebagian warga masih mempertahankan lahan mereka. Terutama yang masih dianggap berpotensi di masa depan.  Masyarakat yang paham  tidak  menjualnya.  Saat pembelian lahan,   harga ditentukan berdasarkan kesepakatan antarperusahaan dan warga.

Pada 23 Desember 2024, tim penulis mencoba menelusuri  NJOP  dari BPN Wilayah Maluku Utara, BPN Halmahera Tengah bahkan ke pemerintah daerah hingga kantor Pajak dan Kantor Perbendaharaan Negara untuk mengkroscek dokumen ini. Sayanganya para pihak yang ditemui  berbelit-belit. Saling lempar  tanggung jawab soal dokumen ini.

Bahkan saat tim mendatangi kantor BPN Halmahera Tengah untuk mengkonfirmasi nilai NJOP juga sama berbelitnya. Beberapa staf yang ditemui beralasan para pejabat berwenang termasuk Kepala BPN Halmahera Tengah  tidak berkantor. “Kami tidak bisa melayani karena  pejabatnya juga tidak ada,” kata Warno salah satu staf  kantor BPN di  Desa Nurweda,    Weda Tengah  Kabupaten Halmahera Tengah.  Terkait adanya kutipan dana oleh desa saat pembayaran lahan  karena  membantu perusahaan mempercepat  pelepasan lahan, ada benarnya.

Plt Kepala Desa Kiyaa Taslim Abdul Hamid dikonfirmasi, tidak menampik dugaan keterlibatan desa memuluskan perusahaan mengambil lahan  produktif milik warga. Contohnya di desa Kiya saat  ada pembebasan lahan oleh   PT IWIP dan PT First Pasifik Mining (FPM). Namun kejadian itu  dia belum menjabat.

Saat itu pemerintah desa berperan aktif mendampingi perusahaan mengukur lahan warga  dan menerbitkan surat keterangantanah (SKT). Hal ini karena dalam proses pembayaran lahan, perusahaan mewajibkan ada SKT maupun surat keterangan lahan dari desa bahwa lahan yang dijual tidak bersengketa.  “Kalau tidak ada surat dari desa tidak diproses pembayaran lahannya,” kata Taslim  Selasa malam (18/3/2025).

Kawasan perkebunan tepi pantai di ujung Utara desa Gemaf ini sudah tidak ada lagi, foto diambil 2020, foto M Ichi

Dia juga akui kutipan dana saat keluarnya SKT dari desa. “Biasanya warga menyerahkan uang Rp1.000.000  ke pemerintahan desa. Uang itu  untuk biaya operasional, alat tulis dan kertas (ATK), honor tenaga yang buat surat serta uang rokok bagi kades Rp200.000.  “Kalau surat jual beli yang diberikan desa tidak dipatok  tergantung keikhlasan penjual lahan,” akunya. Jika harga lahan terjual  hingga miliaran,  biasanya ada sumbangan untuk desa. Nilainya mencapai Rp20.000.000 untuk pembangunan  masjid.

Lalu apakah Pemdes juga menerima imbalan dari Perusahaan karena membantu memuluskan dan mempercepat pengambilan lahan lahan warga?

“Kalau Pemdes terima dari pihak perusahaan saya belum tahu. Yang  ada itu hanya dari pihak yang  jual tanah,” kilahnya.

Sementara soal harga tanah yang pasti, warga tidak tahu. Apakah  sesuai NJOP atau tidak. Sebab  penjualan lahan di Kecamatan Weda Utara  sama. Yang  memiliki dokumen sertifikat  atau tidak sama harga.

Pihak perusahaan memberi nilai jual tanah bukan karena berisi tanaman atau karena kekayaan mineral. Harga tanah  dinilai berdasarkan kondisi topografi. Bergunung, landai atau rawa. Contohnya saat PT Songhai (perusahaan asal China,red) yang punya konsesi di Sagea dan Kiyaa lakukan  pembebasan lahan, menggunakan spesifikasi lahan bergunung,  datar dan berawa.

Harganya tidak beda jauh dengan  yang punya sertifikat. Dihargai antara Rp 9 ribu hingga 12 ribu/meter. Nilai jual tidak berdasar NJOP ataupun keputusan pemerintah daerah tetapi sesuai negosiasi  perusahaan dan pemilik lahan. “Kami  juga bingung dengan penentuan harga lahan,” katanya.

Lalu berapa luasan lahan yang telah dilpas?  Berdasarkan dokumen  yang dipegang tim penulis,  sepanjang 2022  lalu pemerintah desa Desa Sagea setidaknya mengeluarkan 300 lebih SKT. Di Desa Kiya juga ada ratusan SKT dikeluarkan untuk memuluskan PT IWIP,  dan FPM  lakukan pembebasan lahan.

Kehilangan ruang hidup petani  ternyata  libatkan banyak pihak. Penelusuran  tim penulis menemukan  para pihak memiliki peran masing –masing. Untuk negosiasi,  eksekusi di lapangan.

Pengakuan seorang makelar tanah berinisial AS yang berperan penting dalam penjualan tanah di sejumlah desa lingkar tambang, mengakui, perannya memengaruhi warga agar lepas lahan.   AS  jadi salah satu aktor penting dalam pembebasan lahan warga desa Sagea dan Kiyaa.

Dikonfirmasi Rabu (19/3/205) malam di kediamannya, dia tidak menampik perannya di tim pembebasan lahan yang dipekerjakan perusahaan baik PT IWIP, Songhai dan PT FPM, terutama dalam   memengaruhi warga.

Dia bilang di setiap desa lingkar tambang, perusahaan menempatkan tim pengukur lahan serta tim pembebasan lahan. Di Sagea dan Kiyaa, sedikitnya ada enam warga lokal atau tim khusus ditunjuk perusahaan menangani  pembebasan lahan masyarakat.

“Saya koordinator pembebasan lahan. Tugas utama saya mengukur lahan dan memengaruhi warga melepas lahan mereka,” katanya.

AS juga  mengaku sempat menjadi karyawan di salah satu perusahaan dan masuk tim khusus yang dibentuk beberapa perusahaan itu. Dia, berperan aktif memengaruhi para petani melepas tanah dengan harga serendah mungkin.

“Jika warga tidak mau lepas,  tim pembebasan datang setiap waktu hingga bisa terpengaruh dan dilepas/dijual. Ada banyak cara  merayu dan iming-iming bahwa akan mendapatkan banyak uang,” katanya. Ada juga strategi lain. Yakni perusahaan membeli di sekitar lahan warga yang tidak mau  jual. Tujuanya  mereka sulit pergi ke kebun. Jika sudah begitu lahan pasti lepas.  Karena pasti sudah sulit ke kebun.

Warga juga mencurigai, tim yang dibentuk perusahaan   saat pembebasan lahan, sering  mengurangi luasan lahan. Misalnya saat mengukur menggunakan alat, tidak diukur dari batas lahan. “Kalau ukur lahan biasa dikurangi, nantinya sisa lahan pengukuran dijual kembali oleh tim ke perusahaan. Pengukuran lahan juga melibatkan perusahaan dan pemerintahan desa. Hal ini karena diberikan mandate langsung oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, mengawal pembebasan lahan.

“Biasanya dalam pengukuran, pihak perusahaan turun langsung bersama Pemdes. Setelah pengukuran, Pemdes mengeluarkan surat keterangan tanah baru dilakukan pembayaran,”  tandasnya.

Mengenai harga jual lahan  tidak berdasarkan aturan yang ditetapkan Pemerintah. Nilai jual lahan tergantung  negosiasi pemilik lahan dengan perusahan. Jika warga bisa  pertahankan lahan dengan harga yang diinginkan pihak perusahaan membayarnya.

“Sebaliknya jika harga dianggap terlalu tinggi diminta pemilik lahan,  pembayaran tidak diproses. Kita tahan dulu sampai dia mau jual dengan murah.  Saat pembebasan lahan  dan pembayaran akan dilihat lagi posisi lahan.  Ada tiga kategori yaitu tanah berawa, di pegunungan  dan datar,” katanya.

Soal pembebasan lahan, pihak PT IWIP memberikan tanggapan. Ada 6 pertanyaan  diajukan secara tertulis  oleh tim penulis  kepada media relation PT IWIP. Pertanyaan dilayangkan 23  Maret  2025, namun belum ditanggapi. Tim penulis kembali mengirimkan pertanyaan pada 16 April 2025 dan ditanggapi 28 April 2025.

Setya Yudha Indraswara Manajer Komunikasi PT IWIP dalam tanggapannya beralsan, pembebasan lahan sudah mengikuti regulasi yang diatur Pemerintah Republik Indonesia. Nilai lahan yang dibayar berdasarkan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah nomor 970/KEP/153/2018 tentang Klasifikasi dan Penetapan Besarnya NJOP Atas Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan. Dia bilang, nilai pembebasan lahan dapat meningkat dengan penambahan nilai tanaman  di lahan tersebut. “Selama proses pengukuran dan pembebasan lahan, tidak ada pemaksaan maupun pengurangan ukuran secara sepihak. Setiap pengukuran lahan selalu dilaksanakan bersama sama antara pengelola lahan, staf desa, dan perwakilan perusahaan,” katanya.  Dia bilang lagi hasil pengukuran juga memerlukan kesepakatan ketiga pihak tersebut, sebelum proses dilanjutkan.

Kebun pangan keladi seperti ini, sudah tidak terlihat lagi di kawasan lingkar PSN seperti Gemaf dan Sagea. Foto kebun pangan warga Wale  tetangga desa Sagea ini diambil pada 2020. foto M Ichi

Regulasi  Tak Jamin  Ruang Hidup Masyarakat  Aman

Problem  ruang hidup  di  lingkar PSN diteliti beberapa lembaga. Salah satunya Transparansi Internasional (TII).  Riset berjudul  “Laporan Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya–Studi Kasus di Halmahera Timur dan Tengah 2024 itu, tim peneliti mengungkapkan bahwa, perusahaan yang telah mendapat izin beroperasi di “tanah negara” tidak ada hubungan langsung dengan hak masyarakat sekitarnya. Meskipun ada lahan  milik masyarakat di atas wilayah konsesi itu, tanah diwariskan turun- temurun lebih dari 20 tahun  sekalipun tetap tidak diakui sebagai hak milik pribadi.

Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas  Khairun Ternate dipimpin Rusdin Alauddin dan rekan-rekan pada 2016 meneliti sengketa lahan akibat kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara. Riset mereka, menunjukkan konflik lahan dengan pelaku usaha pertambangan sulit dihindari bahkan cenderung meningkat  karena berbagai faktor.

Dalam hal regulasi,  nasional hingga lokal tidak menjamin penyelesaian masalah lahan secara efektif. Masyarakat sering kali jadi korban ketidakadilan  dari produk hukum yang dihasilkan.

Keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha juga  makin memperburuk posisi masyarakat. Menjauhkannya dari keadilan yang  harusnya mereka terima. Perasaan ketidakadilan itu membuat warga apatis ketika membahas kesejahteraan dan kemakmuran yang seharusnya dihasilkan dari perusahaan.

Kurangnya perhatian dari pelaku usaha dan pemerintah juga berdampak pada penolakan masyarakat. Kadang berujung anarkis, merugikan tidak hanya warga, tetapi juga perusahaan dan pemerintah.

Studi itu menunjukkan besaran ganti rugi lahan merupakan permasalahan utama. Ada 49% responden merasa dirugikan karena kompensasi tidak sesuai harapan.  20,67% responden mencatat adanya tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi penyebab konflik. Selain itu  beberapa pihak mengklaim hak atas sebidang tanah yang sama.

Ganti rugi tanaman juga menjadi titik persoalan. 10% responden melaporkan keberadaan perusahaan tambang menimbulkan konflik,  karena banyak tanaman warga belum mendapatkan ganti rugi yang layak. Umumnya terjadi di PT. WBN/IWIP di Halmahera Tengah.

Sengketa batas wilayah dan kurangnya komunikasi juga jadi masalah signifikan. Tidak hanya Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tetapi juga antardesa.   Terakhir, tanggung jawab social perusahaan (CSR)   belum dijalankan   dengan baik.

Riset ini merekomendasikan pemerintah daerah meninjau regulasi di bidang pertanahan, khususnya penentuan besaran ganti rugi lahan untuk masyarakat. Mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan kepentingan masyarakat lokal, terutama  di sekitar lokasi tambang.  (*)

Tulisan  ini adalah liputan bersama lima jurnalis yang mendapatkan fellowship liputan Investigasi PSN dari AJI – KURAWAL 2024

 Penulis: Mahmud Ici, Suryani Tawary, Mario Panggabean. Sahrul Jabid dan Fadli Kayoa.

  • Penulis:

Rekomendasi Untuk Anda

  • Peringati Hari Primata dengan Mengedukasi Siswa

    Peringati Hari Primata dengan Mengedukasi Siswa

    • calendar_month Sen, 29 Jan 2018
    • account_circle
    • visibility 138
    • 0Komentar

    Hari Primata Indonesia (HPI) yang diperingati setiap  30 Januari   dirayakan juga di Maluku Utara dengan beragam  kegiatan. Seperti yang dilaksanakan ProFauna Indonesia yang bekerjasama dengan pemerintah Kota Tidore dan Ternate dalam dua hari ini. Dalam peringatan itu turut dilaksankaan kampanye  sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat terutama siswa  agar bisa paham  tentang upaya perlindungan primate di […]

  • Kawasan Segitiga Terumbu Karang  Didorong  Dapat  Pendanaan Berkelanjutan  

    • calendar_month Ming, 14 Sep 2025
    • account_circle
    • visibility 215
    • 0Komentar

    Sejumlah Negara termasuk Indonesia yang masuk kawasan segitiga terumbu karang dunia mendapat perhatian khusus. Perhatian itu salah satunya adalah dalam bentuk pendanaan berkelanjutan. Saat ini Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong penguatan skema pendanaan berkelanjutan sebagai langkah strategis mencapai tujuan Regional Plan of Action (RPOA) 2.0 Coral  Triangle Initiative on Coral Reefs, […]

  • Fitako Sumber Energi Terbarukan yang Belum Dilirik

    • calendar_month Kam, 6 Jan 2022
    • account_circle
    • visibility 157
    • 1Komentar

    Buah fitako ataunyamplung yang telah matang dan jatuh foto Mongabay Indonrsia

  • Warga Obi Sulit Air Bersih, Tagih Janji Bupati  

    • calendar_month Sab, 11 Feb 2023
    • account_circle
    • visibility 156
    • 1Komentar

    Air bersih menjadi kebutuhan paling urgen. Mulai dari makan minum hingga  mandi, cuci dan kakus (MCK). Setidaknya, hal ini juga sedang dialami warga  Desa Aer Mangga Kecamatan Obi Pulau Obi Halmahera Selatan. Saat kabarpulau co.id mengunjungi Desa itu Senin (6/2/2023) pekan lalu, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat menyuarakan  keluhannya terkait masalah yang mereka hadapi […]

  • Ocean Eye akan Diuji Coba di Morotai

    • calendar_month Ming, 11 Okt 2020
    • account_circle
    • visibility 191
    • 0Komentar

    Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Morotai foto/Mahmud Ichi/kabarpulau

  • Potensi Laut Malut Besar Tapi Minim Perhatian

    • calendar_month Sel, 18 Mar 2025
    • account_circle
    • visibility 617
    • 0Komentar

    Perairan Maluku Utara terbilang paling potensial.  Wilayah lautnya   bersinggungan langsung dengan empat Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Keempatnya adalah  WPPNRI 714 (meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), dan 717 (Perairan […]

expand_less