Pulau Kecil Masalah Besar, “Dijual hingga Diperebutkan”
- account_circle
- calendar_month Jum, 11 Jul 2025
- visibility 608
Sebuah Catatan dari Kisruh Pulau di Maluku Utara
The Jakarta Post media berbahasa Inggris terbitan 9 Juli 2025, menurunkan artikel berjudul Pulau Kecil, Masalah Besar. Dalam artikel itu diungkap sejumlah persoalan yang dihadapi pulau-pulau kecil saat ini. Salah satu yang diangkat adalah munculnya penjualan pulau-pulau kecil secara illegal, di berbagai situs internasional.
Bagi The Jakarta Post, munculnya persoalan ini tidak selalu karena celah peraturan, tetapi lebih akibat dari kurangnya kesadaran atau bahkan ketidaktahuan penduduk setempat dan pemerintah akan pentingnya menjaga dan melindungi pulau-pulau kecil yang ada.
Meskipun sudah ada peraturan yang jelas melarang penjualan tanah, termasuk pulau-pulau kepada pihak asing kerap terjadi. Ini bukanlah isu baru. Kejadian ini selalu berulang. Memang ada aturan yang hanya mengizinkan investor mengelola pulau-pulau, bukan membelinya secara langsung. Namun praktek di lapangan aturan-aturan yang dibuat sering dilanggar. Demikian The Jakarta Post menulis.
Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh kasus pulau-pulau. Di Halmahera Timur tepatnya di Pulau Woto beredar informasi ada pihak asing yang masuk mengelola pulau itu. Ini setelah lahannya dijual pemiliknya. Berdasarkan penjelasan beberapa nelayan, lahan telah dibeli warga asing. Bahkan saat ini sedang dibangun sejumlah vila. Soal ini apakah sudah diketahui pemerintah daerah baik kabupaten/maupun provinsi, belum ada informasi jelas.
Sahril salah satu nelayan Desa Kasuba Maba Selatan mengungkapkan, di pulau itu sedang ada proses pembangunan. Dia menyebutkan ada warga asal Australia yang membangun sarana berupa vila di pulau itu. Persoalan pulau Woto ini pernah dikeluhkan salah satu kepala desa di Maba Selatan saat survei pengumpulan data rencana penetapan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Patani Bicoli dan Pulau Sayafi yang kami lakukan. Kala itu Kepala desa Bicoli Abdul Gani Saban dalam forum pertemuan stakeholder mengungkapkan, kekesalannya terkait pengelolaan pulau Woto. Dia mempertanyakan kehadiran orang asing yang menguasai pulau ini dengan membangun vila untuk mereka, datang dan menetap di pulau tersebut. Menurutnya warga lima desa di Maba Selatan juga tidak bisa mendapatkan apa apa dari pemanfaatan pulau itu. Pasalnya, mereka mau menarik retribusi kehadiran orang asing di pulau itu berbulan-bulan juga tidak bisa karena tidak punya dasar dukungan regulasi. Dia pertanyakan pengelolaan pulau ini berada dalam wilayah siapa.

Kondisi pulau-pulau di Halmahera Timur saat ini, foto M Ichi
“Sekali waktu ada 40 turis datang dan tinggal di pulau ini berbulan-bulan untuk bersilancar. Kita hanya menonton dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan menarik retribusi dekat ke pulau itu saja tidak bisa. Kami mau lakukan sesuatu tapi tidak didukung regulasinya,” katanya akhir Desember 2024 lalu.
Pulau Woto sebenarnya menjadi pusat kegiatan nelayan di Kawasan Maba Selatan, terutama yang menangkap ikan julung. Mereka mengaku kuatir nelayan yang melaut dan menyinggahi pulau ini untuk beberapa hari takut ada larangan. Kekuatiran muncul jika pulau ini dikuasai warga asing. Dengan begitu akan menganggu aktivitas nelayan. Orang seperti Sahril yang bekerja sebagai nelayan ikang julung sangat kuatir karena bisa mengganggu aktivitasnya.
Jika informasi ini benar, setidaknya menambah panjang daftar masalah pulau yang dikelola atau diperjualbelikan. Karena itu butuh perhatian semua pihak.
Kasus yang sama pernah terjadi untuk gugusan Pulau Widi pada 2024 lalu, yang sempat heboh di situs internasional juga akan dijual. Muncul kabar Kepulauan Widi yang terdiri dari 83 pulau dijual melalui situs Sotheby’s Concierge Auctions di New York, Amerika Serikat. Hal itu menimbulkan polemik. Berbagai pihak angkat bicara. Pemerintah Provinsi Maluku memberikan klarifikasi seperti dikutip dari Tempo 2 Agustus 2024, Pemerintah Provinsi Maluku melalui Karo Humasnya mengaku hanya memberikan kewenangan kepada pengembang pengelolaan pariwisata. Namun rencana pengembangan itu berbeda dari kesepakatan pihak perusahaan dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara. Pemerintah Maluku Utara saat itu memberikan izin kepada PT Leadership Islands Indonesia (LII) mengajukan permohonan pengelolaan sekitar 16 pulau. PT LII merupakan badan usaha dari penanaman modal asing yang dimohonkan untuk kegiatan wisata bahari di 15 pulau dan 2 atol (pulau cincin).
PT LII mendapat izin pengembangan wisata dengan pemberian obyek pengelolaan hanya di satu titik. Namun terjadi problem karena pengelolaan Kepulauan Widi memasuki area konservasi yang tidak masuk dalam perizinan seperti diajukan LII.
Belakangan PT LII tak berhasil mengelola pulau itu sebagai tempat wisata karena beralasan tak punya modal yang cukup. Kesepakatan membangun tempat wisata di Pulau Widi dilakukan pada 2016. Nota kesepahaman itu ditandatangani pemerintah Maluku Utara, pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan pihak LII.
Penjualan maupun apa pun model pengelolaan pulau kecil, sebenarnya membawa konsekuensi terhadap penduduk local. Aktivitas mereka ikut terhambat ketika pulau-pulau itu telah dijual maupun dikelola pihak asing. Penduduk setempat kehilangan akses, bahkan untuk kebutuhan dasar seperti merapatnya perahu kecil mereka saat melaut juga sudah dilarang. Masalah ini sebenarnya membuat masyarakat kehilangan kesempatan mengelola sumber daya mereka.
Perlu diketahui Peraturan di Indonesia cukup spesifik mengatur mengenai pengelolaan pulau. Investor hanya dapat mengelola maksimal 70 persen dari total luas pulau, dengan setidaknya 30 persen dicadangkan untuk negara. Selain itu, di dalam lahan yang mereka kelola, investor harus mengalokasikan 30 persennya sebagai ruang terbuka hijau untuk melindungi ekosistem yang rapuh. Hanya saja regulasi yang ada sering dilanggar terutama jika masuk industri ekstraktif.
Di Maluku Utara pelanggaran terhadap ketentuan yang mengatur pulau kecil sangatlah nyata. Lihatlah 6 di di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah sejak lama dieksploitasi massive. Bisa disaksikan kondisi pulau-pulau tersebut saat ini.
Terkadang, penjualan pulau kecil secara ilegal lebih disebabkan ketidaktahuan penduduk setempat yang memiliki sertifikat atau hak atas tanah tersebut. Penduduk pulau, yang terbiasa dengan kondisi yang tenang dan murni, mungkin tidak menyadari potensi yang dimiliki pulau-pulau mereka jika dikelola dengan baik.

Pulau Pagama di Kepulauan Sula yang kini telah nyaris hilang
Karena itu dalam persoalan seperti ini pemerintah daerah punya tanggung jawab besar meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu dapat meminimalisir praktek penjualan tanah di pulau kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan punya tugas dan wewenang dalam hal penagakan aturan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sayang, seperti apa yang bisa dilihat dan disaksikan, perhatian ke persoalan ini belulmah serius. Butuh partisipasi aktif semua tingkat pemerintahan daerah. Level Provinsi Kabupaten hingga ke desa. Pemerintah Desa dan warga sebagai penduduk setempat yang memiliki informasi yang cukup, memainkan peran penting ketika ada transaksi tanah. Perjanjian-perjanjiannya perlu dicatat dalam catatan desa.
Bicara soal pulau, tidak hanya terkait jual beli dan pengelolaan. Di Maluku Utara sedang terjadi saling klaim kepemilikan pulau antara Kabupaten Halmahera Tengah dengan Provinsi Papua Barat Daya. Saling klaim juga terjadi antara Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara dan Maluku sejak beberapa tahun lalu.
Pada 2022 lalu Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) melayangkan protes karena provinsi tetangga seperti Papua Barat dan Maluku mengklaim pulau-pulau di Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan. Klaim sejumlah pulau di wilayah Malut telah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri dan dalam pertemuan tersebut menghasilkan sejumlah kesepakatan/rekomendasi dan dituangkan dalam Berita Acara Rapat Verifikasi Status Pulau. Konsultasi Status Wilayah Administrasi Pulau di Provinsi Maluku Utara dengan Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan telah dilakukan sejak 15 Juni 2022. Kemudian dilanjutkan ketersediaan data dukung pulau-pulau di Provinsi Maluku Utara, dan konsultasi pemerintah provinsi dengan Direktorat Batas dan Toponim Kementerian Dalam Negeri dan Badan Informasi Geospasial langsung dilakukan pertemuan antara Pemkab Halteng dan Halmahera Selatan
Sejumlah pulau yang diklaim provinsi tetangga diantaranya Pulau Siloyang, Pulau Waitenger, Pulau Tapiola, Pula Pisang, dan Pulau Pisang Kecil di Kabupaten Halmahera Selatan. Berdasarkan Perda RTRW Malut Nomor 20 Tahun 2012 secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari milik Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Malut. Bahkan, Pulau Sain/Sayang, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas berdasarkan KEPMENDAGRI Nomor 050-145 Tahun 2022 merupakan milik Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan tidak dapat diganggu gugat Papua Barat.
Setelah sempat menghilang saling klaim pulau tersebut, kini muncul lagi antara Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya terhadap sejumlah pulau di Halmahera Tengah.
Gubernur Papua Barat bahkan mengusulkan agar Komisi II DPR RI kembali meninjau ulang Pembakuan Rupa Bumi sesuai Peraturan Badan Informasi Geospasial (BIG) supaya tiga pulau itu kembali menjadi milik Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Persoalan pulau-pulau ini begitu peliknya.Tidak hanya soal isyu penjualan tetapi juga muncul saling klaim seperti yang terjadi sekarang. Satu hal yang mesti menjadi catatan penting, kadang pulau-pulau kecil tak berpenghuni itu dianggap hanyalah pulau kosong tak bermakna. Padahal pulau kecil yang jauh dari perhatian itu menyimpan berbagai potensi yang berguna bagi daerah dan negara. Dalam hal klaim atas sebuah pulau tidak hanya sebatas soal geografis tetapi juga terikat sejarah masa lalu terutama dalam hal penguasaan pulau tersebut.
Ada ragam persoalan menyertai. Dari politik hingga pertarungan sumberdaya. Pengalaman-pengalaman seperti ini perlu segera dicari solusi menyeluruh agar tidak mendatangkan masalah baru yang lebih pelik dan sulit terselesaikan.
Pengalaman penyelesaian konflik pulau harus segera diejawantahkan dalam tataran praksis. Dalam hal hak- hak kewargaan pulau, ada perhatian hak hidup layak sebagai warga negara pulau yang dibatasi akses antara darat dan lautan. Dalam konteks ini, semua level negara harus turut serta menyelesaikan. (*)
- Penulis:
