Dari Togutil ke Tobelo Dalam: Jejak Sejarah dan Transformasi Suku Pedalaman Halmahera
- account_circle
- calendar_month Ming, 5 Okt 2025
- visibility 283
Penulis: Jamal Adam.
Animal Keeper Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata, Halmahera
Pulau Halmahera di Maluku Utara tidak hanya kaya akan keanekaragaman hayati, tetapi juga menyimpan sejarah panjang masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam. Salah satu yang menarik untuk ditelusuri adalah perjalanan suku Togutil, yang kini dikenal sebagai suku Tobelo Dalam.
Mereka bukan sekadar masyarakat pedalaman, tetapi juga bagian dari mozaik sejarah yang telah mewarnai perjalanan Kesultanan Tidore di masa lalu.
Jejak Awal di Masa Kesultanan Tidore
Sejarah mencatat bahwa pada masa kejayaan Kesultanan Tidore, wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Halmahera, termasuk daerah pedalaman di mana suku Togutil hidup.
Walaupun mereka hidup jauh dari pusat pemerintahan, suku Togutil memiliki peran penting sebagai penjaga wilayah darat dan hutan-hutan strategis di pedalaman Halmahera.
Sumber lisan dan catatan budaya lokal menyebutkan bahwa kelompok-kelompok Togutil dulu dikenal sebagai orang yang hidup di hutan yang tunduk pada aturan kesultanan, meski tidak terlibat langsung dalam birokrasi atau sistem perdagangan. Mereka sering dianggap sebagai penyambung pesan, penunjuk jalan, sekaligus pelindung jalur darat yang menghubungkan wilayah Halmahera bagian timur dan barat, terutama saat masa-masa peperangan antara Tidore dan Ternate.

Masyarakat adat Tobelo Dalam di hutan Halmahera, foto Opan Jacky
Dalam pandangan Kesultanan Tidore, masyarakat Togutil dihormati sebagai “orang gunung” yang menjaga wilayah-wilayah sakral dan sumber air. Beberapa kisah bahkan menyebut mereka sebagai penjaga hutan keramat atau tempat peristirahatan leluhur para bangsawan. Hubungan itu bersifat resiprokal: pihak kesultanan menghormati eksistensi Togutil, sementara Togutil menunjukkan loyalitas simbolik melalui hasil hutan seperti damar, madu, dan rotan yang diserahkan dalam ritual adat tertentu.
Masa Peralihan dan Keterisolasian
Namun, ketika pengaruh kolonial mulai masuk ke Maluku Utara pada abad ke-17 hingga 19, struktur sosial Kesultanan Tidore mengalami perubahan besar.
Wilayah pedalaman semakin terpinggirkan, dan masyarakat Togutil perlahan terputus dari sistem sosial dan ekonomi luar.
Banyak dari mereka memilih kembali lebih dalam ke hutan untuk menghindari kontak dengan kolonial, sehingga kehidupan mereka menjadi semakin tertutup.
Keterisolasian inilah yang kemudian membuat masyarakat luar memberi label “Togutil”, yang dalam konteks lokal sering diartikan sebagai “orang yang bersembunyi di hutan”.
Sayangnya, seiring waktu, istilah ini mendapat konotasi negatif — seakan menggambarkan mereka sebagai kelompok primitif atau tertinggal. Padahal, di balik itu tersimpan kearifan ekologis dan filosofi hidup yang mendalam tentang keseimbangan dengan alam karena mereka ( Suku ini ) adalah pemilik konservasi sejati.
Transformasi Identitas: Dari “Togutil” ke “Tobelo Dalam”
Memasuki masa kemerdekaan dan pembangunan nasional, perhatian pemerintah terhadap masyarakat pedalaman semakin meningkat.
Peneliti antropologi dan lembaga konservasi yang bekerja di kawasan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata mulai mengkaji ulang istilah “Togutil”. Mereka menemukan bahwa masyarakat ini sebenarnya merupakan bagian dari rumpun Tobelo, hanya saja hidup di pedalaman hutan. Oleh karena itu, untuk menghapus stigma dan menghormati identitas budaya, istilah “Togutil” mulai diganti dengan “Tobelo Dalam”, yang berarti “masyarakat Tobelo yang hidup di dalam (hutan)”.
Perubahan istilah ini secara resmi mulai digunakan oleh pemerintah daerah Maluku Utara dan Kementerian Sosial melalui program Komunitas Adat Terpencil (KAT) sejak awal tahun 2000-an.
Kehidupan Modern dan Upaya Pelestarian
Kini, sebagian kelompok Tobelo Dalam mulai berinteraksi dengan dunia luar. Mereka mengikuti pendidikan dasar, menerima layanan kesehatan, dan terlibat dalam kegiatan konservasi di taman nasional.
Namun, sebagian lainnya masih memilih untuk tetap hidup dengan cara lama: berburu, meramu, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai siklus alam.
Pemerintah daerah dan Balai Taman Nasional Aketajawe-Lolobata berupaya melakukan pendekatan budaya, bukan paksaan. Tujuannya agar Tobelo Dalam bisa menikmati manfaat pembangunan tanpa kehilangan identitas dan kearifan lokal mereka. Program seperti pemberdayaan berbasis adat, pelatihan konservasi, dan perlindungan lahan tradisional menjadi bagian penting dari langkah ini.
Makna Historis dan Sosial
Perjalanan dari Togutil hingga menjadi Tobelo Dalam adalah simbol transformasi yang sarat makna.
Dari masa Kesultanan Tidore hingga era modern, mereka tetap menjadi penjaga hutan dan nilai-nilai leluhur Halmahera. Meski banyak hal berubah di dunia luar, kehidupan masyarakat Tobelo Dalam tetap berpegang pada prinsip harmoni dengan alam — warisan yang telah mereka jaga sejak masa para Sultan Tidore.
Bagi masyarakat Maluku Utara masa kini, mengenal Tobelo Dalam berarti juga menghargai akar sejarah yang menghubungkan adat, kesultanan, dan konservasi alam dalam satu benang merah.
Seperti yang dikatakan oleh Kepala Balai Taman Nasional Aketajawe-Lolobata,Iwan Efendi,S.Pi.,M.Sc., “Selama hutan masih berdiri, semangat Suku Tobelo Dalam (MTD) tetap hidup.”
Sumber:
1. Mongabay Indonesia. (2023). Tobelo Dalam, Menjaga Tradisi di Tengah Hutan Halmahera.
2. Balai Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. (2022). Laporan Pemberdayaan Masyarakat Tobelo Dalam.
3. Kementerian Sosial RI. (2021). Data Komunitas Adat Terpencil (KAT) Provinsi Maluku Utara.
4.Wikipedia Bahasa Indonesia. (2024). Suku Togutil.
5. Lembaga Kebudayaan Tidore. (2020). Catatan Adat dan Masyarakat Pegunungan Halmahera Timur.
- Penulis:
