Laut Obi Dalam Tekanan Destruktif Fishing dan Tambang?
- account_circle
- calendar_month Kam, 19 Jun 2025
- visibility 381
Laut Kepualaun Obi Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara kaya sumberdaya perikanan. Dari jenis ikan pelagis maupun demersal, setiap saat ditangkap untuk menghidupi masyarakat setempat. Tidak itu saja, ikan–ikan itu juga dijual antarpulau ke Ternate, untuk kebutuhan lokal maupun eksport.
Seiring waktu, saat ini kondisi sumberdaya laut Obi tidak baik-baik saja. Ada dua persoalan serious ikut menekan kekayaan laut yang dimiliki. Yakni aktivitas destructive fishing dan dampak industry tambang. Destruktif fishing oleh sebagian orang tidak bertanggung jawab benar- benar mengancam. Setiap saat kasus destructive, baik bom ikan, maupun penggunaan potassium marak terjadi di Pulau Obi dan wilayah laut Kabupaten Halmahera Selatan secara keseluruhan.
Terbaru ada 6 nelayan ditangkap petugas dari Direktorat Polairud Polda Maluku Utara karena diduga melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak atau bom ikan di perairan Pulau Bisa Kecamatan Obi Timur Halmahera Selatan (Halsel), Minggu (15/6/2025). Tidak itu saja aktivitas menangkap ikan dengan panah dengan alat bantu kompresor juga marak terjadi.
Terkait penangkapan warga yang bom ikan, terjadi sekitar pukul 07.30 WIT setelah terdeteksi ada aktivitas mencurigakan di sekitar perairan Pulau Bisa. Dalam penangkapan tersebut petugas mengamankan satu unit longboat yang baru saja lakukan pengeboman ikan serta 6 nelayan diamankan bersama alat bukti. Mereka berinisial MM, LOH, ALS, SLH, LAAB, dan S.
“Kita sudah amankan satu unit long boat bermesin 15 PK. Satu unit kompresor selam beserta selang 70 meter, tiga pasang kacamata selam, dua drakor, satu pasang sirip selam (fins), serta 50 kilogram ikan yang diduga merupakan hasil penangkapan ilegal,” jelas Kombespol Bambang Suharyono.Para pelaku dijerat menggunakan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan juncto Pasal 55 KUHP yang mengatur larangan penggunaan bahan peledak dan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem laut.
Tim Subdit Penegakkan Hukum (Gakkum) Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Ditpolarud) Polda Maluku Utara juga berhasil mengungkap dugaan tindak pidana perikanan menggunakan alat tangkap tidak sesuai ketentuan. Hal ini terjadi pada 11 hingga 14 Juni 2025. Sejumlah nelayan panah ditahan pihak kepoilisian setelah melakukan aksi penangkapan ikan menggunakan panah dan kompresor. Mereka diamankan karena, ada salah satu dari mereka jadi korban di wilayah perairan Desa Sosepe, Kecamatan Obi Timur, Kabupaten Halmahera Selatan. Langkah ini juga dilakukan setelah adanya laporan warga terkait kecelakaan saat penangkapan ikan menggunakan panah dan kompresor.
“Sebelumnya, warga Desa Sosepe Halmahera Selatan juga sudah keluhkan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap panah dan kompresor. Hal ini menyebabkan hasil tangkapan nelayan lokal menurun,” kata Kompol Riki Arinanda selaku Kasubdit Gakkum Ditpolairud Polda Malut lewat rilisnya. Usai terma informasi, tim lidik Subdit Gakkum langsung lakukan pemeriksaan tiga unit kapal perikanan yang tangkap ikan gunakan panah dan kompresor menuju ke Pos Polairud BKO wilayah Halmahera Selatan KP. XXX-2006 di Desa Jikotamo, Kecamatan Obi. Ada sjumlah barang bukti diamankan berupa kapal KM Usaha Baru 02 dan alat tangkap panah 6 buah, kompresor 1 unit, selang kompresor 15 meter dengan 3 cabang, fins 6 buah, drakor 5 buah, kacamata selam 6 buah dan ikan campuran kurang lebih 15 kg.

Barang bukti nelayan panah berupa panah bersama kompresor dan-kapalnya saat diamankan polisi, foto Polairud
Ada juga kapal Ayu Indah Jaya bersama 4 buah panah, kompresor 1 unit, selang kompresor 100 meter dengan 3 cabang, fins 3 buah, drakor 6 buah, kacamata 6 buah dan muatan ikan campuran kurang lebih 30 kg. Kapal Cahaya Bulan dengan alat tangkap panah,kompresor 1 unit, selang kompresor kurang lebih 50 meter dengan 2 cabang, fins 2 buah, drakor 2 buah, kacamata 2 buah serta ikan campuran kurang lebih 10 kg.
Selain barang bukti, beberapa pelaku turut diamankan masing-masing AR selaku nakhoda KM Usaha Baru 2, DA nakhoda KM Ayu Indah Jaya, dan DAF nakhoda Cahaya Bulan. Selain itu ada tiga orang lainnya diamankan, yakni AR alias Abdul ABK KM Usaha Baru 2, AR selaku ABK KM Ayu Indah Jaya, dan SU ABK perahu motor Cahaya Bulan. Tiga kelompok nelayan berhasil diamankan tim lidik Subdit Gakkum dan dikenai Pasal 7 ayat (2) huruf D jo Pasal 100 c UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Lalu bagaimana dengan pengawasan laut instansi terkait?
Kepala Seksi Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, Abdullah Togubu dikonfirmasi Kamis (19/6/2025) mengakui sangat kesulitan melakukan pangawasan di daerah kepulauan. Pasalnya, butuh pembiayaan cukup besar. Sementara ploting anggaran daerah yang minim, menyebabkan pengawasan tidak berjalan maksimal. “Terpaksa yang kita lakukan hanya koordinasi dengan aparat terkait, jika ada laporan dari masyarakat. Misalnya ke Polairud Polda, dan pihak Pangkalan Angkatan Laut di Ternate,” katanya. DKP sudah memiliki Pokmaswas. Tetapi pengawasan dari bawah ini tidak maksimal karena menjalankan tugasnya butuh juga biaya menggerakan alat transportasi yang dimliki.
Apalagi di saat adanya efesiensi anggaran seperti sekarang, pengawasan sulit dilakukan. Harusnya ada peran Kabupaten/Kota yang punya wilayah laut, Namun soal pengawasan bukan menjadi tanggung jawab mereka jadi anggaran juga mereka tidak sediakan. Hal ini jadi masalah yang perlu dipikirkan jalan keluarnya.
Soal dampak destruktif yang dilakukan, Dr Abdul Muthalib Angkotasan, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Khairun Ternate mengatakan, terumbu karang Halmahera Selatan, alami kerusakan paling parah. Hampir semua terumbu karang di daerah itu rusak dengan ciri-ciri kena bom dan potasium.
Angkotasan yang beberapa tahun terakhir konsen riset terumbu karang dan kondisi biodiversitas perairan laut bilang, praktik bom dan potasium terbilang masif di Halmahera Selatan. Beberapa kawasan perairan yang diriset menunjukan kondisi terumbu karangnya sangat memprihatinkan. Hal ini bisa disaksikan di beberapa titik seperti, perairan laut Kayoa, Bacan , dan Obi serta Gane Barat dan Gane Timur. “Efek langsung bom itu terkena terumbu karang dan ekosistem. Gema bom ikan memiliki kekuatan dahsyat yang menyebabkan kerusakan dengan luasan besar,” katanya.
Menurut dia, bukti lapangan dampak bom adalah koloni terumbu karang ada patahan-patahan kecil dengan cakupan begitu luas. “Jika daya ledak kuat, luasan kerusakan juga sangat besar,” ujarnya. Yang jadi soal juga, katanya, perusakan karena bom ikan untuk perairan laut Halmahera Selatan, terjadi berulang bahkan hampir setiap saat.
Karena itu dia menyarankan, Pemerintah Malut dan Halmahera Selatan riset untuk mengidentifikasi titik-titik kerusakan parah dan kerawanan ancaman bom di laut Malut. Dari data riset ini diambil berbagai langkah, baik persuasif preventif dan kuratif dengan berbagai pendekatan. “Baik kepada neyalan maupun penegak hukum terutama penegakan regulasi destructive fishing (penangkapan ikan merusak-red).”

Kawasi dilihat dari laut. Desa ini menjadi pusat industri nikel yang sedang dikeruk oleh PT Harita
Tekanan Juga Datang dari Aktivitas Tambang
Tekanan pada laut dan biotanya juga dari tambang nikel yang saat ini gencar dilakukan di Obi. Aktivitas ini berdampak langsung dengan adanya dugaan bahan cemaran tambang masuk laut. Hal ini bisa dibaca dalam hasil riset Tamrin dan Muhammad Aris dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate tahun 2019. Riset ini dipublikasikan di Jurnal Ilmiah PLATAX Universitas Sam Ratulangi Januari hingga Juni 2022, Riset berjudul Peringatan Pencemaran Logam Berat Berdasarkan Indeks Saprobik Di Periaran Pulau Obi Maluku Utara itu, menemukan adanya dugaan cemaran. Melalui Analisis saprobik indeks (SI) dan tropik saprobik indeks (TSI) menunjukan perairan berada dalam kategori tercemar ringan sampai sedang. Perairan berada pada tingkat β- Mesosaprobik (nilai 0,5 s/d 1,5). Indeks saprobitas sebagai indikator biologis dapat memberikan petunjuk terjadinya pencemaran di suatu lingkungan perairan.
Penelitian ini mengungkapkan peringatan dini terkait pencemaran logam berat. Dijelaskan bahwa, hal ini perlu dicermati mengingat sifat logam berat yang sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan dan biota perairan serta keberadaannya secara alami sulit dihilangkan. Aris di berbagai media menjelaskan ada beberapa parameter kunci yang menjadi penanda suatu ekosistem mengalami gangguan atau mengalami ketidakseimbangan lagi. Hal itu yang diteliti untuk mendapatkan hasilnya. Riset pada 2019 itu, ada lima titik pengambilan sampel. Lima sampel itu diambil berdasarkan jarak dan distribusi perairan dengan tetap mengacu pada pola arus di perairan tersebut.
Lima titik sampel itu tersebar di masing-masing lokasi, yaitu tiga titik sampel di depan pusat industry nikel PT Harita di Kawasi, satu titik di daerah Akegula yang jauh dari kawasan industri, dan satu titik sampel di perairan Soligi desa tetangga Kawasi.
“Daerah Kawasi kami anggap sangat rentan, kemudian dua titik sampel sebagai pembanding. Ternyata ikan yang kami temukan di sekitar perairan Kawasi, kita tidak temukan lagi ikan yang sehat secara ilmu histologi,” paparnya. Semua jenis ikan mengalami kerusakan jaringan. Ini artinya dalam ilmu histologi (jaringan tubuh), merupakan satu penanda bahwa ekosistem tidak lagi seimbang. Hasil riset itu juga mampu dipertangungjawabkan secara saintis sesuai bidang keilmuan yang dimiliki. Menurutnya, terjadinya akumulasi dari berbagai organisme itu nantinya akan berdampak terhadap manusia sebagai level terakhir memanfaatkan sumberdaya, di perairan.
Riset ini sempat dibantah pihak perusahaan dan menganggap tidak berdasar karena apa yang dimuat jurnal itu tidak menjelaskan secara gamblong lokasi pengambilan sampelnya. Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi, dalam keterangan persnya menyebutkan, hasil penelitian Dr. Muhammad Aris, tidak bisa menjadi kesimpulan bahwa ikan-ikan di Pulau Obi sudah tercemar, karena dari penelitian itu tidak disebutkan lokasi titik sampelnya di mana dan tercemarnya karena apa. Namun menurut Aris apa yang disampaikan pihak perusahaan secara normatifnya iya, namun realitanya tidak demikian. Dia bilang sudah berulangkali mengunjungi kawasan perusahaan di Kawasi dan memang kerusakannya sudah sangat tampak. Seperti perubahan bentang alam dan perubahan ekosistem. “Hasil penelitian beberapa teman meskipun tidak dipublikasi, tetapi sudah saya baca, ternyata kerusakan terumbu karang di sana di level yang cukup tinggi. Jika terumbu karang sudah mengalami kerusakan maka satu elemen ekosistem mata rantai makanan juga telah terputus,” katanya. (*)
- Penulis:
