Home / Kabar Kampung

Rabu, 23 September 2020 - 21:22 WIT

Literasi Lingkungan dari Pulau Tulang Halmahera

Fahri duduk di samping plang yang tertulis jenis sampah yang sulit terurai

Fahri duduk di samping plang yang tertulis jenis sampah yang sulit terurai

Cerita Fahri Lolahi dan Rumah Botol Plastik untuk Perangi Sampah  

Cuaca siang di Sabtu akhir Agustus lalu itu agak mendung. Ketika tiba dengan mobil di Tobelo dari Kao, saya dijemput oleh Fahmi Lolahi. Tujuan saya menuju pulau Tulang. Setelah menunggu sekira 30 menit, saya  melanjutkan perjalanan menuju Pulau Tulang.    

Fahmi Lolahi adalah kakak  Fahri Lolahi. Fahri yang saat ini membangun gerakan literasi lingkungan di pulau Tulang.  Fahri  kemudian menemani saya  menuju  pulau itu.

Sebelum meluncur, saya menunggu sebentar karena Fahri mengangkut beberapa batang pohon bambu china  dan 4 karung   botol plastik yang  dikumpulkan   relawan di Kota Tobelo. Usai menaikkan barang-barang itu ke  body perahu katinting, selanjutnya kami  berangkat. Menuju pulau ini tak cukup tiga menit, karena jaraknya begitu dekat dengan pelabuhan Tobelo. Sementara barang yang diangkut, nanti digunakan untuk pembangunan rumah  botol plastik yang digagas  Fahri.  “Ini  adalah  botol hasil donasi kawan-kawan kepada saya untuk pembangunan rumah botol plastik di Pulau Tulang,” ujar Fahri saat mengangkut  botol dan bambu ke atas  ketinting.

Pesan jaga laut yang disuarakan dari Pulau Tulang foto mahmud ici

Sekadar diketahui,  Pulau Tulang di Tobelo Halmahera Utara terbilang sangat kecil. Dulunya hanya berisi 4 pohon kelapa dengan padang ilalang. Namun kini pulau ini telah diubah. Sudah ada tembok penahan ombak mengelilingi pulau.  Belakangan pulau ini juga viral di media social karena ada gerakan tidak biasanya, dilakukan  Fahri  Lolahi seorang anak muda  dari Desa Dufa- dufa Tobelo. 

Dari namanya  memancing  orang  dan akan bertanya- tanya kenapa nama pulau ini identik dengan kerangka manusia.  Ternyata disebut Pulau Tulang karena dulunya menjadi tempat pertarungan para jagoan dalam menyelesaikan masalah.

Ketika  ada yang  tewas terbunuh,  mayatnya terbiar  dan tulang belulang mereka  berserakan.    Dulu pulau Tulang  paling seram. Orang dengan kapal atau   nelayan yang  lewat  di pulau ini juga  enggan  singgah  atau  sekadar lego sauh  di laut  pulau  ini.

Pulau berukuran sangat kecil di Halmahera Utara ini kemudian dimasuki kakek Fahri  bermarga Lolahi. Dialah   yang  membersihkan  tulang-tulang  manusia di pulau ini kemudian  dimakamkan  di sebuah tempat di Tobelo Selatan.

“Namanya  pulau tulang.  Ada beberapa versi cerita. Dulu di pulau ini banyak tulang manusia, menjadi tempat eksekusi.  Ada  juga versi  orang tua tua, jika  ada masalah di Tobelo  mereka saling mengundang ke pulau ini  untuk berduel,” cerita Fahri.   

Fahri “Ari” Lolahi  ternyata baru menggondol  gelar sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhmammadiyah Maluku Utara 2019 lalu. Meski didorong orang tuanya untuk bekerja  sebagai karyawan atau pegawai dia menolaknya.

“Awalnya bingung  karena keinginan orang tua  harus  bekerja ini dan itu. Saya sejak kuliah  sudah terbiasa   dengan  gerkan seperti ini. Karena itu saya bilang ke orang tua agar mempercayakan kepada saya mengelola pulau Tulang. Orang tua saya setuju karena itu saya awali dengan membangun literasi,” jelasnya.  

Fahri lantas coba membangun kesadaran bersama melalui  literasi lingkungan  dari pulau Tulang.  Pulau Tulang menjadi tempat  awal gerakan ini   karena  berada tepat di depan pelabuhan Tobelo Halmahera Utara Maluku Utara yang jaraknya hanya sekira 150 meter.  Pulau dengan ukuran  20×80 meter itu  berdiri di atas karang keras. Selain terancam berbagai aktivitas antropogenik, terutama sampah, juga menerima  dampak reklamasi yang sudah dilakukan di kawasan pantai Tobelo.  

Pulau ini menerima imbas cukup serius dengan banyaknya  sampah plastik kiriman dari Kota Tobelo. Selain menjadi tempat persinggahan sampah, juga terancam hilang disapu  abrasi. Beruntung Pemkab Halmahera Utara cepat membuat tanggul penahan ombak,  akhirnya  sementara bisa terlindungi dari  abrasi.

Sampah plastik ini sebenarnya menjadi persoalan serius. Karena itu butuh penanganan.  Membaca kondisi ini, Fahri “Ari” Lolahi anak pemilik lahan pulau Tulang  coba mengelolanya dari ancaman sampah plastik.  Fahri memulai dengan membangun gerakan literasi sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Gerakan ini diawali dengan membangun rumah dari botol plastik. Dari rumah botol plastik membumikan narasi lingkungan lewat pesan- pesan menarik.  Misalnya tentang bahaya dan ancaman sampah plastik.

Baca Juga  Toyom, Pohon Penyembuh Luka dari Halmahera

“Awalnya saya searching melihat-lihat beberapa video dan artikel  tentang bahaya sampah plastik hingga membuat rumah dari botol plastic,” katanya.

Ketika mendapatkan informasi itu, Fahri kemudian menyampaikan kepada bapaknya Musa Lolahi untuk merealisasikan idenya.  Fahri juga membuat gerakan donasi botol plastik  untuk membangun  rumah dan variasi lainnya dari botol. Meski belum seratus persen selesai, rumah botol plastic sudah berdiri dan bisa digunakan. Dia kini masih  butuh donasi ribuan botol plastic untuk menyelesaikan  mimpinya menjadikan Pulau Tulang basis literasi lingkungan. Sekaligus membebaskan pulau- pulau  di sekitarnya dari ancaman sampah plastik dan bahaya reklamasi.

sunrise dari pulau Tulang foto/mahmud ichi

Bagi Fahri, sampah plastik merupakan ancaman yang  sangat serius. Terutama  untuk kawasan pulau-pulau di Halmahera Utara bahkan Maluku Utara umumnya. Karena itu tidak salah membangun literasi untuk mengetuk kesadaran warga. Caranya membuat pesan pesan   jaga lingkungan kepada public. Tujuannya mereka  sadar dan tidak menghasilkan sampah plastic.   Jika ada sampah mereka juga harus memprosesnya  sehingga tidak mengotori lingkungan dan pulau.  

Langkah ini katanya, perlu dilakukan mengingat pulau Tulang juga menjadi salah satu destinasi wisata di Halmaahera  Utara, terutama warga Kota Tobelo. Dari pulau ini  warga biasa menikmati keindahan laut dan pantai.

Orang yang mengunjungi pulau ini juga bisa berenang atau snorkeling.  Keindahan  dan kenyamanan suasana pagi dan sore yang luar biasa terutama ketika matahari terbit dan tenggelam, menjadi pesona tersendiri. Dari pulau ini bisa menyaksikan dua moment. Yakni ketika  matahari menampakkan dirinya (sunrise)  dan ketika kembali ke peraduan (sunset).

 Karena itu tidak heran  setiap pagi dan sore pulau ini selalu didatangi  warga dari Tobelo. Tidak hanya berswa foto  tetapi juga  berenang di pantai.

Banyaknya warga yang datang ke pulau ini, membuat Fahri mau menjadikan ini sebagai wahana kampanye melindungi laut dan pulau dari sampah plastik serta  ancaman abrasi.  

“Misi yang diemban dari gerakan ini adalah setiap orang yang datang ke pulau ini bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan menyangkut bahaya sampah plastik  bagi kehidupan manusia. Tak hanya manusia, sampah plastik juga ikut mengancam  kehidupan biota  di laut dan pulau-pulau kecil,” ujarnya  akhir Agustus lalu.

Cara memberi pesan kepada pengunjung tentu melalui literature. Dari bahan bacan ini kemudian dibuatkan  tulisan tulisan di papan  atau plang informasi. Di depan rumah  botol plastic  misalnya, ada  tulisaan  bahaya  dan ancaman plastic yang  sulit terurai.  Tulisan  itu berdiri di tepi pantai yang kemudian bisa dibaca pengunjung ketika  datang ke pulau Tulang.  

“Meski mereka melihat sekilas tetapi sudah mendapatkan informasi. Misalnya umur sampah plastik bisa terurai sampai 400 tahun.  Sementara sampah styrofoam tidak bisa terurai. Atau  umur  terurainya puntung  rokok bisa sampai  200 tahun. Pesan pesan ini sangat berguna bagi pengunjung karena  menambah khasanah pengetahuan mereka,”tambahnya.  .

Setidaknya, ketika mereka membaca dan menyaksikan apa yang ada di pulau ini, ada sesuatu mereka dapatkan. “Ini menunjukan ada edukasi yang dilakukan,” kata  Fahri lagi. Selain pesan-pesan melindungi pulau dari sampah, yang paling penting adalah gerakan membumikan   perlindungan  lingkungan. 

Dalam gerakan semacam ini, Fahri tidak bisa bekerja sendiri.  Dia butuh bantuan teman-temannya mendukung  literasi lingkungan. Dia lantas menggerakan  generasi muda pulau Kumo dan Kakara, tak jauh dari Pulau Tulang. Di Desa Kumo selain menggerakan literasi juga mengadvokasi warga setempat menolak rencana reklamsai  kawasan pantai Dufa-dufa- Tanjung Pilawang yang rencana  direalisasikan tahun ini.

Kelompok literasi yang digerakan itu kini mulai bergerak. Selain memerangi sampah plastik yang singgah ke pulau Kakara, juga gencar mengadvokasi gerakan menolak reklamasi kawasan pantai Tobelo. Bagi mereka rencana reklamasi ini akan menyebabkan pulau-pulau di depan Tobelo menerima imbasnya.

Baca Juga  Jumlah Pulau di Maluku Utara Bertambah
menyaksikan sunset dari pulau Tulang

“Saat ini jika masuk ke pulau Kakara  ada sebuah spanduk besar terpampang di pelabuhan pulau ini tertulis jelas,  warga Kakara menolak reklamasi pantai Tobelo ,” ujar Fahri.

Selain memberi edukasi juga focus literasi. Fahry membangun  literasi bersama  antar pulau  tetangga. Caranya membangun rumah baca juga komunitas antar pulau. Membangun komunitas pemuda dan pelajar  untuk  menanam di beberapa pulau  sekitar. “Kenapa focus ke pulau pulau. Karena disadari bahwa literasi adalah bagian dari membuka cara berpikir pemuda. Sasaran ke  pulau karena ada ketakutan yang sangat besar   ketika pembangunan reklamasi   dijalankan  berdampak  ke pulau pulau,” jelasnya.

Dia  bilang, sebenarnya  awal  gerakan literasi ini   ingin concern isyu reklamasi. “Waktu dengar ada rencana tambahan reklamasi pantai Tobelo dari Dufa- dufa-Tanjug Pilawang, kami mulai gerakan ini. Memang agak bingung menyikapinya.  Kalau  aksi massa sudah umum dilakukan. Jika ingin mengajukan protes terhadap kebijakan reklamasi pantai, juga akan menghadapi tembok  tebal. Jadi lebih baik aksi  langsung ke tapak agar  mereka mengelola pulau sehingga  bisa mengkampanyekan  bahaya  reklamasi dan sampah,” jelasnya.

Jika nanti  orang bertanya  kenapa fokusnya ke pulau kecil, jawabannya  sederhana. Ingin menegaskan komitmen menjaga alam, laut dan pulau dari ancaman sampah plastik . Termasuk  penyelamatan  pulau pulau,  akibat reklamasi.

Sementara jika orang melihat rumah plastic yang dibangun, juga akan bertanya-tanya apa sebenarnya maksud di balik penggunaan botol plastic ini. Kenapa memilih botol?.  

Itu semua awalnya karena studi literatur tentang plastic dan jenis sampah lainnya. Dari studi literature  itu,  menemukan artikel yang menjelaskan jangka waktu sampah plastic  terurai dan  butuh waktu sangat panjang. Karena itu  disimpulkan perlu memanfaatkan sampah botol plastik dengan membuatnya menjadi dinding rumah. Ini upaya menghindarkan sampah plastic terbuang percuma lalu memenuhi  permukaan laut dan pulau. Maka itu sampah plastik perlu dimanfaatkan. Jika dibiarkan, berbahaya bagi lingkungan  terutama biota laut.

“Kenapa rumah plastic? Untuk memberi eduksi langsung kepada warga, terutama  mereka yang datang berwisata  ke Pulau Tulang.  Botol plastic cukup banyak karena itu ketika ke pulau ini  bisa juga berdonasi botol,” kata Fahri.

Sebelumnya, donasi botol sudah dilakukan pelajar maupun  mahasiswa di Ternate. Pemuda dari Pulau Kumo di Halut juga menyumbang botol. Ini secara tidak langsung sudah menyelamatkan pulau dari sampah. Untuk membangun rumah, Fahri butuh 5800 botol plastic. Ada sumbangan botol dari pemuda Tobelo dan  warung -warung kopi yang sering didatangi ayah Fahri.

Pulau Tulang foto Faris Bobero

Dia juga bercerita, ayahnya kurang percaya, kalau ada rumah bisa dibangun dari botol plastik. Tetapi setelah di-browsing  di youtube,  baru percaya. Fahri juga percaya reklmasi berdampak langsung.  Misalnya  dulu pulau Tulang  pantainya berpasir. Setelah reklamasi di kawasan pelabuhan Tobelo, pasir  di  pulau Tulang hilang tak berbekas.  

Apakah aktivitasnya selama ini mendapat perhatian pemerintah? Soal ini Fahri bilang  mau bekerja sendiri. Saya masih bisa bekerja sendiri untuk menggerakan penyelamatan pulau dan pantai melalui gerakan literasi. 

Setiap hari  Pulau Tulang  dikunjungi  10 sampai 20 orang. Sementara di hari libur ada ratusan pengunjung  yang datang. Fahri tak menarik pungutan atau tariff  bagi pengunjung.   “Kerelaan saja. Kalau ada pengunjung  mau berdonasi botol  juga silakan untuk menambah bahan membangun rumah  botol plastik.  Pagi dan sore juga bersih sampah. Tiap pagi ditemukan sampah plastik termasuk botol bekas minuman air mineral,  terdampar di pulau Tulang. Di Pulau  ini juga orang datang untuk mancing. Karena itu rencana akan dikembangkan dengan kafe dan menjadi eko resort  untuk nginap.Ini adalah modal besar berkampanye soal dampak sampah plastic dan ancaman akibat reklamasi,” katanya.(*)   

Share :

Baca Juga

Kabar Kampung

Ini Potret Desa Sumber Pangan di Pulau Morotai

Kabar Kampung

Serunya Kegiatan Halmahera Overland 4×4

Kabar Kampung

Tugu Kenari dan Diaspora Minang di Makean

Kabar Kampung

Produksi Sagu Melimpah, Butuh Bantuan Pemasaran

Kabar Kampung

Sungai Sagea Nasibmu Kini, Keruh Belum Usai   
Nelayan tidak melaut sehingga perahu mereka harus lego sauh

Kabar Kampung

Nelayan Tuna Morotai Terpukul Covid- 19

Kabar Kampung

Warga Protes Pembangunan Jetty di Lalubi Gane

Kabar Kampung

Tanam Mangrove agar “Merdeka” dari Abrasi