Puluhan anak muda yang tergabung dalam komunitas aktivis lingkungan Maluku Utara akan dikumpulkan untuk diberi pemahaman menyangkut dampak perubahan iklim (climate change,red) yang saat ini melanda dunia. Pertemuan dalam bentuk Kelas Camp Kaum Muda Estuaria ini akan dilaksanakan selama 3 hari. Mereka akan diberi penyadaran dan pengetahuan terkait penyelamatan hutan tersisa di Maluku Utara.Sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim.
Direktur Kampanye Perubahan Iklim LSM PakaTiva Zafira Daeng Barang menjelaskan, kegiatan yang diinisiasi oleh PakaTiva dan didukung oleh Econusa Indonesia itu akan dilaksanakan pada 10 hingga 12 Februari mendatang.
“Setelah mengikuti camping kaum muda, mereka akan disatukan dalam wadah kelompok kerja, dengan agenda seperti aksi bersih pantai, penanaman mangrove, serta kampanye milenial untuk perubahan iklim wilayah kepulauan dan juga berkolaborasi dengan anak muda di wilayah lain, yang didukung oleh EcoNusa,”jelas Zafira DB.
Camping kaum muda yang melibatkan anak muda diseluruh Maluku Utara, diharapkan dapat menghadirkan kader anak muda yang progresif dan memiliki inisiatif serta tingkat kepedulian terhadap lingkungan di daerah masing-masing bisa terbangun.
Dia bilang lagi persoalan ekspansi modal terhadap bumi pulau pulau di Maluku dimulai dari imperialisme dan kolonialisasi barat sejak 1400 an hingga saat ini, dimulai dari rempah, ekspansi modal kemudian menyasar minyak bumi, lalu hutan serta hasil non kayu hingga tambang dan perkebunan skala massive. Dampaknya kemudian kehancuran tatanan sistim ekologi, hingga merembes pada rusaknya tatanan ekonomi, sosial hingga budaya masyarakat tempatan. Ini katanya yang mesti diberi penyadartahuan soal dampaknya terutama adanya dampak perubahan iklim akibat adanya eksploitasi dan deforestasi hutan Ketika adanya eksploitasi hutan.
“Luas wilayah 23,72% (45.069,66 Km2) sebagai daratan, dan sisanya 76,28% (100.731,44 Km2) adalah lautan, dengan panjang garis pantai 3104 Km2 memiliki kerentanan terhadap terjadinya bencana. Terutama bencana meteorologis akibat luas hutan di pulau-pulau yang semakin habis.
ujarnya.
Dia bilang lagi berada di wilayah Tropis, Maluku Utara memiliki Luas Hutan 2.519.623,91 Ha (Profil Kehutanan Maluku Utara 2012).
Terdiri dari Hutan Konservasi ± 218.499 Ha, Hutan Lindung; ± 584.058 Ha, danHutan Produksi; ± 1.712.663 Ha. Sementara, pada kawasan terdapat ijin pemanfaatan lahan yang terdiri dari; Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK – HA) 565.594 Ha. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman(IUPHHK – HT) 67.684 Ha. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK – HTR): 5.851 Ha, dan Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan, 76.800,51 Ha. Laporan WALHI Maluku Utara 2023 misalnya menyebutkan sudah 110 ijin usaha pertambangan (IUP). Selain pertambangan dan pemanfaatan hutan kayu, Maluku Utara yang merupakan wilayah pulau-pulau kecil, terdapat pula konsesi perkebunan monokultur, yakni sawit. Karena itu deforestasi serta degradasi lahan yang masif terjadi untuk perkebunan sawit, juga terjadi terutama wilayah Gane – Halmahera Selatan dengan total luasan konsesi 11.003,09 Ha. Industri perkebunan sawit milik PT. KORINDO Sempat mendapatkan penolakan warga tempatan, karena masuk wilayah perkebunan rakyat yang telah dikelola ratusan tahun. Namun perusahaan ini tetap beroperasi.
Ada juga PT. Budi Sula Intim (luas lahan 768,25 Ha) dan PT. Dede Gandasuling (luas lahan 19.808,30 Ha) serta PT. Manggala Rimba Sejahtera (luas lahan 11.404,20 Ha) yang beroperasi di Halmahera Tengah. Di Sula Kepulauan ada PT Ginangfohu Plantation (luas 8.486,72 Ha), serta beberapa perusahaan perkebunan monokultur lainnya yang berencana beroperasi mengubah bentang alam dan jenis tanaman multikultur menjadi monokultur di pulau pulau Maluku Utara. Total luas kawasan hutan yang dilepas untuk kepentingan seluruh perusahaan sebesar 59.949,14 Ha.
Pelepasan kawasan hutan ini tentu berdampak signifikan terhadap biodiversity di wilayah kepulauan Maluku Utara yang hanya memiliki 27,3 persen daratan dibanding lautan. Kehidupan masyarakat pulau, yang sangat bergantung pada sektor penghasilan darat kala musim laut tidak bersahabat.Realita penghancuran kawasan hutan, tentulah mengarahkan komunitasnya pada jeratan lingkaran kemiskinan mutlak. Kekeliruan dalam kebijakan oleh pemerintah, serta penerapannya oleh pihak perusahaan, jelas membawa daerah pada kehancuran sekaligus tata sistem kuasa, kelola, produksi dan konsumsi rakyatnya. “Cerita efek dampak perubahan iklim, nyata dan sangat berpengaruh terhadap wilayah pulau-pulau kecil di dunia, dimana Maluku Utara salah satunya. Menjadi rentan bencana perubahan iklim, mestinya kebijakan yang diambil tidak turut menjadi bagian yang menyumbang emisi karbon dengan pembongkaran lahan hutan seperti realita yang ada. Sebaliknya, harus menjadi garda terdepan dalam kancah global penyelamatan iklim,” tutupnya.
CEO Kabar Pulau